Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LAKI-LAKI itu seperti asyik dengan dirinya sendiri. Tubuhnya yang cokelat hanya dibalut celana hitam. Rambut kepalanya tandas dicukur crew cut. Pada telinga kanannya terselip alat pendengar yang disambungkan dengan mikrofon kecil di dekat mulutnya. Kadang bibirnya bergerak bak orang sedang berbicara. Tapi tak terdengar suara keluar dari mulut itu.
Dia duduk di atas bangku dengan posisi yang tampak tak nyaman. Cahaya lampu dari atas menyiram tubuhnya, mirip suasana di panggung pertunjukan. Di hadapannya duduk seorang laki-laki mengenakan jas dengan kaki dibalut blue jeans. Jari tangannya sibuk menekan dan memetik senar gitar elektrik. Juga tak terdengar suara apa pun.
Keduanya seperti terasing dari keramaian pengunjung Rumah Seni Cemeti pada pembukaan pameran seni rupa Java’s Machine: Phantasmogoria karya Jompet Kuswidananto, Senin malam pekan lalu. Tapi di dekat lelaki pemetik gitar itu ada tiga pengunjung pameran dengan alat pendengar di telinga. Mata mereka nanar menatap laki-laki tak berbaju tadi. Dengan alat pendengar itulah dunia dua orang tersebut tersambung dengan dunia di luar mereka.
Telinga lelaki itu diteror suara rekaman seorang laki-laki yang terus-menerus menguras ingatannya tentang peristiwa berabad-abad lalu di bumi Nusantara ini: ”Ingatkah kau pada 1629 Sultan Agung mengirim kembali tentaranya ke Batavia?” Saat lain suara itu mengingatkan, pada 1006 tentara Sriwijaya menghancurkan Mataram, atau pada 1603 VOC mendirikan pos pertamanya di Jawa. Suara itu seperti teror.
Kadang lelaki yang diperankan aktor Teater Garasi, Bahrul Ulum, itu seperti tersiksa mendengarkan narasi yang sarat gelora penaklukan militer tersebut. ”Aku ingat. Tidak… tidak, tidak,” katanya dengan mimik wajah orang yang sedang panik. Tapi saat lain wajahnya sumringah sembari terkekeh, atau ia melantunkan tembang Jawa yang menyayat. Jompet, 32 tahun, memberi judul karya seni pergelaran (performance art) ini War of Java: Do you remember? #4.
Dalam pameran ini, perupa yang tak pernah mengenyam pendidikan seni rupa secara akademis itu menggali sejarah Jawa lewat simbol mesin, baik mesin perang berupa prajurit maupun mesin penggiling tebu di pabrik gula, dari hasil risetnya tentang kebudayaan Jawa, terutama pada masa kolonial. Keraton Jawa sebagai penguasa tradisional terlibat perebutan pengaruh politik dan wilayah dengan penguasa kolonial dengan melibatkan mesin perang masing-masing.
Pada War of Java: Do you remember? #5, ingatan masa lalu itu muncul lewat tayangan rekaman video atas teks buku klasik History of Java karya Stamford Raffles yang disemburkan ke atas citraan tiga sosok prajurit keraton yang mengenakan seragam gabungan korps prajurit Patangpuluh dan Surokarso. Sosok prajurit tanpa wajah itu diam membeku dengan separuh kaki bak terbenam dalam teks Raffles yang bergerak kalimat demi kalimat, halaman demi halaman.
Jompet menghilangkan pernik pakaian seragam yang melilit citraan raga prajurit pada karya bertajuk War of Java: Do you remember? #3. Ia hanya menyisakan topi, drum, sepatu bot hitam, dan senapan dalam struktur yang memaksa penonton membangun imajinasi visual yang lebih utuh tentang sosok prajurit itu. Jompet memang tidak terjerembap pada penggambaran patung prajurit keraton yang turistik.
Pada karya ini, Jompet mengeksplorasi elemen kinetik dengan menampilkan sosok korps musik yang mengenakan atribut prajurit Ketanggung. Ada empat prajurit membawa drum dan dua prajurit membawa senapan. Suara ritmis drum yang ditabuh menggambarkan aktivitas militer sedang berlangsung. Tongkat penabuh drum itu digerakkan sirkuit elektronik bersamaan dengan citraan video di dinding berupa siluet seorang laki-laki mengayunkan pecut dengan gerakan tari rakyat.
Aktivitas militer Keraton Jawa juga ia munculkan lewat karya War of Java: Do you remember? #1, yang menampilkan deretan lima prajurit Lombok Abang yang hanya diwakili topi merah, senapan, dan sepatu bot putih, dilengkapi rekaman suara dalam berbagai bahasa berupa pengumuman utusan keraton yang datang ke desa-desa meminta penduduk siap mempertahankan Jawa dari serangan musuh: ”We declare war!”
Perang lain dibangun Jompet di tengah pengapnya pabrik gula lewat tayangan video bertajuk War of Java: Do you remember? #2. Industri gula pada pertengahan abad XIX menjadi mesin uang Kerajaan Belanda. Untuk itu pula petani Jawa dipaksa menanam tebu. Seorang laki-laki bertelanjang dada menggerakkan pecutnya di tengah gerak ritmis mesin penggiling.
Satu pertunjukan lengkap masa lalu yang dikurasi Agung Hujatnikajennong tanpa perlu cat minyak di atas kanvas.
Raihul Fadjri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo