GOLONGAN ETNIS TIONGHOA Dl INDONESIA
Editor: Mely G. Tan. Ph.D.
Diterbitkan oleh P.T. Gramedia
Jakarta, 1979 untuk Leknas-LlPI dan Yayasan Obor Indonesia
Tebal xx 99 halaman, 21 x 14 cm
BUKU kecil Dr. Mely G. Tan ini mencoba mengajak kita berkenalan
dengan 'masalah Tionghoa'. Buku ini berisi tiga karangan. Kata
pengantar oleh editor h. vii-xx yang saya kira sangat padat,
tetapi justru karena itu terlalu singkat dan kurang cukup untuk
mengantarkan kita kepada persoalannya.
Bab I Golongan Minoritas Tionghoa oleh peneliti berkebangsaan
Amerika Dr. G.W. Skinner h. 1-29. Bab Il Peranan Orang Tionghoa
dalam Perdagangan oleh bekas menteri keuangan R. I. Dr. Ong Eng
Die, yang diangkat dari disertasinya Chineezen in
Nederlandseh-lndie (1943) (h. 30-73). Bab III studi mengenai
Kewiraswastaan di Negara-negara Sedang Berkemban: Kisah Sebuah
Perusahaan Tionghoa di Indonesia (h. 74-94). Karangan ini
ditulis oleh Dr. J. Panglaykim dan Dr. I. Palmer, diangkat dari
Journal of South East Asian Studies IV:I (Maret 1970). Judul bab
terakhir ini saya kira terlalu panjang. Bukankah yang
dibicarakan hanya Oei Tiong Ham Concern di Semarang?
Kata pengantar editor dan karangan Dr. Skinner cukup aktual,
tapi pemuatan bab dari karangan Dr. Ong Eng Die, sekalipun
sangat berharga sebagai bahan keterangan latar belakang, namun
dilihat dari aktualitasnya perlu dipertanyakan apakah mengena
(relevan)? Bab III cukup menarik hati dan bagian akhirnya
aktual, tapi tidak merupakan tipikalitas perusahaan-perusahaan
Tionghoa di Indonesia pada umumnya. Oei Tiong Ham Concern
merupakan keistimewaan dan kecualian .
Hal-hal lain yang secara hakiki perlu dipertimbangkan adalah
tepat tidaknya menggabungkan orang-orang Tionghoa asing (RRT
atau Taiwan) dengan WNI, sekalipun berdasarkan kesamaan
ethnisitas? Orang-orang asing merupakan tamu yang orientasinya
kepada negaranya, padahal warganegara memilih pemukiman
turun-temurun di Indonesia sebagai sesama tuan-rumah. Orang
asing dapat diusir secara sederhana dengan mencabut atau tak
memperpanjang visanya. Warganegara di dalam keadaan bagaimana
pun akan tetap di Indonesia, tak dapat dan tak boleh diusir.
Mereka ikut memiliki negara ini dengan segala konskuensinya.
Mereka terikat oleh kesetiaan kepada Undang-undang Dasar. Mereka
wajib memikul senjata di dalam pertahanan negara sebagai
kewajiban, tapi juga sebagai hak.
Mengenai merekalah berlangsungnya polemik panjang tentang
integrasi atau asimilasi sebagai cara membina kesatuan bangsa.
Yang pertama menganggap "Apakah di dalam nama, kalau mawar tetap
harum semerbak sebagai sediakala juga dengan nama lain?"
(William Shakespeare). Yang kedua menganggap "Telur sepetarangan
jangan sampai ada yang warnanya lain-lain." Persoalan ini tak
ada di dalam hal orang-orang asing.
Emosional?
Komposisi penyumbang-penyumbang dapat dimaklumi terdiri dari
tiga peranakan Tionghoa (satu dari Jabar dan dua dari Jateng)
serta dua orang kulit putih. Sumbangan-sumbangan memang
menghindari soal-soal politik yang kontroversial, bertolak dari
sudut sosiologi dan politik. Para penyumbang terdiri dari tiga
ekonomis dan dua sosiologis. Mengapa tak ada sumbangan dari
golongan mayoritas? Takut terlalu emosional? Banyak yang dapat
diharapkan mampu menghindari emosionalitas.
Saya ingin menyarankan untuk pada kemungkinan cetak ulang
mengikut sertakan seorang dari mayoritas di dalam dialog
mengenai golongan keturunan Tionghoa ini, karena kaitan
persoalan minoritas ini dengan politik. Hingga ke manakah
berhasilnya pemecahan masalah ini gemantung kepada penerapan
suatu kebijaksanaan politik yang arif dan berwawasan luas
berdasar landasan kepentingan nasional.
Mengapa minoritas? Karena itu realitas sejarah dan sosial.
Apakah minoritas itu kelak akan mengakhiri eksistensi diri
sebagai- minoritas adalah hak mereka. Mungkin ada yang
menganggap sebagai idel hapusnya minoritas. Sebaiknya kita
serahkan saja kepada jalannya sejarah.
Namun sekurang-kurangnya wajib kita hapuskan persoalannya, yakni
persoalan minoritas. Persoalan itu tentu akan terhapus kalau
kelak tak ada lagi ganjalan emosional golongan di dalam
interaksi kehidupan nasional. Antara lain berupa penyatuan tata
hukum dan penghapusan jurang-jurang sosial. Dan kalau iklim
kejiwaan dan budaya telah berakar kuat atas landasan persamaan
hukum bagi semua warganegara.
Si Anak Hilang
Ketentuan seperti Keppres no. 14/1979 perlu dijuruskan kepada
perkembangan produksi dan pemerataan distribusi barang dan jasa.
Pertumbuhan sehat golongan menengah Indonesia pada akhirnya akan
ditentukan oleh perlombaan sehat dan adil tanpa terlalu
membebani keuangan negara. Namun perubahan struktural masyarakat
Indonesia tak memungkinkan kedudukan monopoli sesuatu golongan
di bidang perdagangan. Ini diakui Ong Eng Die dalam karangannya
(Mely G. Tan, 1979, h. 42).
Dalam pada itu kepada saudara-saudara kita warganegara Indonesia
keturunan Tionghoa bolehlah kiranya disampaikan, bahwa hanyalah
apabila mereka memberi secara maksimal kepada nusa dan bangsa,
mereka akan memperoleh simpati maksimal bagi tuntutan mengenai
hak mereka sebagai anggota-anggota suatu keluarga besar. Perlu
kiranya mereka hindari sikap Si Anak Hilang yang ingin diberi
lebih banyak ketimbang saudara-saudara mereka. Dari mereka
dituntut kemampuan menyesuaikan diri secara kreatif pada masa
peralihan ini.
Tiada alasan sah bagi suatu kecemasan golongan, karena di
samping bidang perdagangan pun masih tersedia cukup tempat untuk
mengabdi kepada nusa dan bangsa yang senantiasa memerlukan
ketrampilan teknikal dan kemahiran tatalaksana. Keberhasilan
mereka untuk sebagian besar akan ditentukan oleh keikhlasan dan
kemampuan mereka melintasi masa peralihan sekarang.
S.I. Poeradisastra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini