Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Antara Museum dan Masyarakat Jepang

21 Desember 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di kawasan Hakataku Fukuoka, Jepang, ada sebuah pembangunan proyek raksasa bernama "Museum Seni Asia Fukuoka", yang ternyata tak terpatahkan oleh hantaman krisis ekonomi. Dengan ruang pameran seluas 10 ribu meter persegi dan gedung yang menyatu dengan pusat perbelanjaan, restoran, perkantoran, dan hotel, museum yang tersebar di delapan kawasan kota itu melangsungkan pameran internasional "1st Fukuoka Triennale", menyajikan karya seni kontemporer 21 negara Asia. Dua perupa Indonesia, Krisna Murti dan Chusin Setyadirkara, lolos dalam seleksi pameran yang sangat ketat itu.

Museum Seni Asia Fukuoka hanyalah salah satu cerita menarik mengenai museum di Jepang. Di kota seperti Tokyo, Hiroshima, Kyoto, Osaka, masih tersebar sejumlah museum lagi dengan pameran bertaraf internasional. "Jumlah museum di seluruh Jepang ada sekitar 1.000 lebih," ujar Toshio Shimizu, seorang kurator independen terkemuka di Tokyo.

Suburnya museum di Jepang, seperti diutarakan Shimizu, merupakan titik temu antara keinginan menyejajarkan pertumbuhan ekonomi, budaya, dan kebutuhan masyarakat modern terhadap simbol dan aktualisasi diri sebagian besar pengunjung museum, yang terdiri dari kelas menengah--kelompok yang tak terlalu kaya dan juga tidak miskin--yang populasinya paling besar di Jepang.

Kelompok inilah yang pada November lalu terlihat antri untuk mendapatkan tiket guna menyaksikan "Pameran Hasil Kompetisi Pelukis Muda Jepang" di Tokyo Metropolitan Art Museum. Dengan ringan mereka mengeluarkan uang 700-1.200 yen (sekitar 50-90 ribu rupiah) untuk melihat sebuah pameran lukisan (satu museum kadang-kadang bisa menyelenggarakan tiga pameran sekaligus).

Maka, adalah soal biasa bagi Jepang bila museum selalu kelihatan ramai. Museum Seni Kontemporer Hiroshima, yang mengoleksi karya pematung Inggris terkemuka Henry Moore dan "sang Pemikir"-nya Rodin--pematung Prancis--setiap tahun dikunjungi tak kurang dari 200 ribu orang. Padahal, letaknya sedikit jauh dari pusat kota. Bandingkan dengan museum seni rupa kita di Jakarta yang setiap tahun hanya dikunjungi sekitar lima ribu orang.

Persoalannya, seni rupa dibutuhkan oleh bangsa Jepang. Karena itu, infrastrukturnya dibangun dengan sepenuh hati, sebagaimana dulu mereka pernah berteguh hati membangun kuil emas dan membuat 10.001 patung Buddha. Di museum masa kini, di tengah karya berbagai seniman dari segala penjuru dunia, mereka bisa menangkap pelajaran dan perenungan di dalamnya. Karya Vincent Van Gogh, Andy Warhol--yang di banyak negara Asia hanya menjadi perbincangan--bisa dilihat dari dekat di museum Jepang.

Keseriusan Jepang menata infrastruktur seni rupa tidak saja terlihat pada program pameran yang digarap para kurator, tapi juga pada besarnya anggaran yang dialirkan pemerintah. Untuk menyokong kegiatan pameran seni rupa saja, misalnya, The Japan Foundation menyalurkan 500 juta yen (sekitar 40 miliar rupiah) setiap tahun.

Belum lagi dukungan dari pihak swasta. Perusahaan surat kabar terbesar Asahi Shimbun punya anggaran tetap dan memiliki kurator untuk menangani masalah seni rupa. Museum Seni Kontemporer TOBU yang sangat terkenal, milik perusahaan kereta api dan supermarket, membiayai program pameran di museum itu sepenuhnya. Begitu pula Inter-Communication Center (ICC), museum milik perusahaan telkom NTT, mengeluarkan anggaran yang sangat besar. Tahun lalu, museum yang terletak satu gedung dengan kantor pusat NTT di Tokyo ini menyelenggarakan "Biennale ICC", mengundang para perupa dari sejumlah negara yang menekuni seni rupa video atau karya yang berkaitan dengan elektronika. Karya dari Indonesia, Gamelan of Nommunication kreasi Heri Dono, telah dikoleksi oleh museum ini. Persaingan program pameran di antara museum ikut menyemarakkan kehidupan seni rupa Jepang. The Ginza Art Space Shiseido, museum milik perusahaan kosmetika terkenal itu, baru saja memamerkan karya kontemporer Inggris yang berkaitan dengan i su gender dan kehidupan Eropa.**

Asikin Hasan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus