Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Menyusuri Museum di Indonesia

Bayangkanlah jika seorang turis yang mencoba mempelajari museum kita. Apa yang akan ditemukan selain masalah kekurangan dana?

21 Desember 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Katakanlah seorang turis Inggris rekaan bernama Mary McDougal ingin menyusuri Indonesia. Dengan sebuah brosur yang diterbitkan Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta di tangan, ia memulai langkahnya dengan ringan ke Museum Tekstil di kawasan Jakarta Pusat.

Dengan menggunakan taksi, tentu saja ia terjebak dalam keruwetan Pasar Tanahabang. Maklum, museum yang dibangun abad ke-19 ini hanya 100 meter jaraknya dari pusat perdagangan itu. Tetapi, ya namanya turis, riuh-rendah itu akan ditontonnya dengan penuh kenikmatan, meski sang sopir taksi harus bolak-balik menanyakan bangunan tua yang terletak di jalan K.S. Tubun ini—museum tempat menyimpan kain-kain klasik yang harganya tak ternilai itu--yang letaknya tersembunyi di balik kios pedagang barang bekas.

Nah, sampailah Mary di halaman sebuah gedung tua abad ke-19, yang di negaranya di Inggris sono no, pasti sudah dimasukkan ke dalam kategori gedung yang dilindungi oleh pemerintah dan tak boleh diratakan dengan tanah. Mary terkesiap melihat gedung tua yang indah dengan arsitektur kolonial itu. Ia melangkah masuk ke taman berupa hamparan rumput dan pepohonan rindang yang cukup menyejukkan. Namun, ah, ia mulai merasa tidak nyaman. Meski terasa embusan angin di antara gerahnya udara Jakarta yang terkirim melalui jendela, kakinya menapaki lantai yang retak di sana-sini; kaca jendela yang pecah dan cat dinding terkelupas.

Mary McDougal dari Inggris terdiam. Sungguh sayang gedung seindah ini penuh bopeng. Tapi, ah sudahlah, yang penting barang-barangnya. Ketika ia memasuki ruang pameran tengah yang menyimpan sekitar 1.000 tekstil langka dari 27 provinsi, suasana suram segera menyergapnya. Lampu antik berbentuk bunga di langit-langit hanya menyisakan seberkas cahaya. Ia semakin terpana melihat selembar kain songket Bengkulu yang dipajang dalam sebuah vitrin sudah diselimuti jaring laba-laba. Jangan tanya yang lain. Kondisinya tak jauh berbeda. "Kami tak memiliki dana pemeliharaan," demikiran keluhan Puspitasari, Kepala Museum Tekstil. Untuk biaya rutin, museum ini hanya kecipratan Rp 1,1 juta per bulan. Akibatnya, sudah empat tahun belakangan ini Museum Tekstil tak mengadakan aktivitas di luar kegiatan rutin, karena semua proposal yang diajukan ditolak. Meski demikian, masih ada lima hingga enam pengunjung yang datang per hari. Dan Mary adalah salah satu di antara lima pengunjung hari itu.

Mary bergegas ke Museum Wayang. Sebab, semua museum milik pemerintah hanya melayani pengunjung hingga pukul dua siang. Pintu museum itu langsung berbatasan dengan jalan raya. Gedung museum berasitektur kolonial ini menyimpan berbagai jenis wayang dari Jawa. Pengunjungnya? Ternyata sama saja dengan jumlah pengunjung Museum Tekstil, hanya lima hingga delapan orang per hari. Lebih kaget lagi ketika Mary memergoki seorang dari enam karyawan museum itu yang terlelap tidur di bangku panjang karena sepi pengunjung. Dengan hati-hati, Mary dan para pengunjung lain memanjat tangga kayu yang kusam dan rapuh. Relief dari kayu berserakan di lantai kayu yang juga kusam.

Wajah museum tampak semakin sunyi dan temaram ketika sudah setahun ini tak ada lagi pementasan wayang kulit. Padahal biasanya, di masa lalu, pertunjukan semacam itu bisa berlangsung tiga bulan sekali. "Dana terbatas sekali," ujar Rini Hariyani, Kepala Museum Wayang. Mary tercenung. Dia mulai putus asa. Di negaranya Inggris sono no, selain pertunjukan rutin, museum wajib mengadakan kegiatan diskusi atau pertunjukan sesuai dengan fitrah museum masing-masing, sehingga museum tidak identik dengan gudang penyimpanan barang.

Akhirnya, sesuai dengan brosur di tangan, dia meminta sopir taksi ke Museum Nasional. Mary McDougal agak berharap dengan museum yang satu ini, karena namanya sudah dikenal di negaranya dan, paling tidak, lokasinya bertetangga dengan Istana Negara. Jadi akan keterlaluan sekali jika ia berjumpa dengan jaring laba-laba di sana. Dan tentu ia takjub karena sang patung gajah dari perunggu, hadiah Raja Culalongkorn dari Thailand, segera menyambutnya di halaman museum. Sesuai dengan buku panduan museum yang dibelinya, patung itu semula berwarna hijau, tapi alam sudah menyulapnya menjadi seperti kulit macan tutul.

Di dalam museum ini, lagi-lagi menurut buku panduan, sebenarnya Mary bisa mengobok-obok sejarah kebudayaan Indonesia dari zaman prasejarah hingga era Hindia Belanda lewat sekitar 100 ribu koleksi museum ini. Tapi, "Sekali kita melihat museum, seperti Museum Nasional, kita langsung bosan," ujar Aji Damais, pengamat museum.

Terbetik berita, tahun 1996, koleksi museum itu berupa lukisan karya Raden Saleh, Affandi, dan Basuki Abdullah nyelonong ke balai lelang Christie's di Singapura. Selain karya lukis para empu itu, masih ada 12 lukisan koleksi museum yang juga dinyatakan raib. Ketika kasus ini sedang ramai dibicarakan, banyak lukisan berharga hanya tertumpuk di gudang berselimut debu. Mary mulai menggaruk kepalanya. Jangan-jangan pelengelolaan museum di luar Jakarta lebih baik.

Dia memesan tiket dan terbang ke Bali, sekaligus menghilangkan mumet di kepalanya di Kuta. Dia mengunjungi Museum Negeri Provinsi Bali di Denpasar. Duh, ternyata koleksi museum berupa benda prasejarah itu sudah banyak yang rusak karena minimnya dana. Ni Nyoman Rapini, kepala museum, pernah melahirkan ide yang mengejutkan. "Daripada rusak tidak terurus, sebaiknya koleksi museum dititipkan saja di museum luar negeri". Kenapa tidak?

Ide ini sudah dilakukan Museum Sonobudoyo Yogyakarta, meski dengan cara agak berbeda. Tahun 1990 hingga 1993 Museum Sonobudoyo memboyong koleksinya untuk dipamerkan di sejumlah museum di Amerika. Program ini berlanjut di Jerman tahun 1995. Kegiatan ini bisa terjadi berkat kerja sama dengan museum-museum itu. Meski dana dari pemerintah hanya Rp 12 juta hingga Rp 15 juta per tahun, Sonobudoyo mampu mewujudkan kegiatan di luar kegiatan rutin, yakni ceramah tentang koleksi museum, lomba karya tulis untuk siswa dan guru, pameran koleksi museum di kabupaten secara berkala, mengundang siswa ke museum sebagai kegiatan ekstrakurikuler, dan kerja sama dengan media massa sembari menyebarkan brosur dan katalog. Sonobudoyo masih bisa melakukan penelitian dan pengumpulan data koleksi. Tak mengherankan, meski saat ini turis sedang sepi, Sonobudoyo mampu menjaring 60 tamu per hari. Bandingkan dengan museum di Jakarta yang maksimal hanya mengail delapan pengunjung per hari dan sibuk berteriak soal minimnya dana.

Masalah dana memang jadi persoalan laten. Menurut Edy Sedyawati, Dirjen Kebudayaan, instansinya hanya menganggarkan Rp 7 miliar per tahun untuk 46 museum di lingkungan Departemen P & K. Dana inilah yang diperebutkan pengelola museum lewat proposal kegiatan tahunan. "Karena dananya terbatas, kita prioritaskan kegiatan yang dianggap sangat penting," kata Edy.

Namun, kalau mau jujur, akar pemasalahannya memang bukan hanya soal dana. Setidaknya Museum Sonobudoyo dengan segala kekurangannya sudah membuktikan, kalau mau kreatif, masalah suram itu bisa lebih diatasi, meski tidak menyeluruh. Paling tidak Mary McDougal puas ketika mengunjungi museum Sonobudoyo.

Persoalan lain, menurut Aji Damais, kebanyakan museum pemerintah kurang mendapat otonomi pengelolaan, sehingga tak leluasa bergerak. Misalnya, manajemen museum tak bisa menetapkan anggaran karena pemerintah menentukan anggaran. "Hal ini mengurangi kemampuan improvisasi pengelola," ujarnya. Berbeda dengan museum di luar negeri. "Meski milik pemerintah dan dibiayai pemerintah, pengelola museum punya otonomi membuat program dan mencari dana tambahan," ujar Yudhi Soerjoatmodjo, kurator Galeri Foto Antara yang baru saja meninjau museum di Amerika, Eropa, dan Jepang. Selain itu, katanya, museum seharusnya memiliki kurator yang tidak cuma sebagai "penjaga gudang".

Yudhi mungkin tak berlebihan. Sebab, kalau Mary, Anda, kita semua tetap berniat mengunjungi museum-museum tadi, mungkin tak lebih dari kunjungan ke gudang penyimpan benda kuno. Dan museum, seperti yang disarankan namanya, bukan sekadar gudang. Dia adalah sebuah tempat konservasi dan dipamerkan kepada masyarakat untuk dipelajari. Tetapi nilai lebih yang dimiliki museum-museum di negara Mary McDougal, mereka mampu membuat museum sebagai tempat yang menampilkan nilai hiburan sembari belajar.

Mary McDougal kembali ke Jakarta dan disergap kemacetan akibat demo. Dia mengusap keringatnya. Jika negara ini masih simpang-siur seperti ini, boro-boro mau memikirkan dana untuk museum, pikirnya dengan getir.

LSC, R. Fadjri, W. Manggut, M. Ismail, L.N. Idayanie, I G.N. Sugiharta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus