Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anda tahu mengapa dulu saya menolak datang ke Indonesia? Karena di sini terjadi pembunuhan massal pada 1965," kata Tariq Ali, cendekiawan Inggris kelahiran Lahore, Pakistan, saat memberikan ceramah bertema "Benturan Antarfundamentalisme" di Komunitas Salihara, Jakarta, Selasa pekan lalu. Lelaki berusia 68 tahun itu mengharapkan kaum muda Indonesia tetap selalu ingat akan peristiwa itu dan bertanggung jawab agar hal itu tidak terulang.
Ali adalah novelis, aktivis, sejarawan, dan pembuat film yang juga menjadi anggota dewan redaksi New Left Review. Sebagai sastrawan, dia telah menulis seri novel sejarah pertemuan Islam dan budaya Barat, seperti The Book of Saladin, The Stone WoÂman, dan A Sultan in Palermo. Novel-novel itu menggambarkan keterbukaan Islam pada abad ke-12 di berbagai negara Eropa, seperti Spanyol, Italia, dan Dinasti Ottoman. "Pada abad itu Islam jauh lebih terbuka, lebih beragam, dan berdampingan dengan agama lain. Novel ini membuka wajah Islam sebenarnya," katanya.
Menurut dia, Islam ini tidak seragam, tapi media tidak pernah mengangkat keragaman ini. "Islam di Barat lahir dengan cara yang sangat berbeda. Di Arab menciptakan Wahabi untuk memerangi komunis. Indonesia juga menjadi bagiannya. Di India, Islam tumbuh bersama Hindu, Yahudi, dan Kristen," kata dia.
Lulusan Universitas Oxford ini terkenal sebagai tokoh kiri sejak 1960-an dan turut berdemonstrasi menentang Perang Vietnam di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat di London, Inggris, pada 1968. Dia bersahabat dengan John Lennon, Yoko Ono, dan Malcolm X. Ketokohannya telah mengilhami Mick Jagger menciptakan lagu Street Fighting Man untuk Rolling Stones.
Akan halnya John Lennon, ia menggubah lagu Power to People setelah diilhami wawancara Ali di majalah Red Mole. Ali menuturkan John meneleponnya dan memintanya mendengarkan lirik lagu itu sehari setelah majalah itu terbit. Dia juga menjadi saksi sikap John yang kian radikal. Sebelum John hijrah ke Amerika Serikat, dia sempat mengingatkan akan banyaknya orang sinting yang berbahaya bagi kehidupan John di negara itu.
Ali mengkritik tesis benturan peradaban yang diajukan Samuel Huntington dan mengajukan tesis benturan antarfundamentalisme, yang diuraikannya dalam Clash of Fundamentalisms: Crusades, Jihad, and Modernity. Fundamentalisme itu baginya bukan hanya fundamentalisme agama—yakni sekelompok orang yang mengklaim tafsirnya atas kitab suci sebagai satu-satunya kebenaran—tapi juga fundamentalisme ekonomi dan politik, ketika suatu negara bertindak mengatasnamakan kepentingan dunia, seperti yang dilakukan Amerika Serikat.
Fundamentalisme, kata dia, berakar dari pikiran irasional. "Untuk melawannya, kita harus selalu berpikiran terbuka, kritis, rasional, dan meragukan segala sesuatu, termasuk diri kita sendiri," kata Ali, yang juga menjadi tamu di Ubud Writers & Reader Festival di Ubud, Bali, Ahad dua pekan lalu.
Dia mengaku memahami Indonesia melalui Benedict Anderson, indonesianis dari Cornell University, sehingga dia mengenal karya sastra Indonesia, seperti karya Pramoedya Ananta Toer, yang disebutnya layak mendapat Nobel Sastra. Namun dia menyayangkan minimnya karya penerjemahan sastra Indonesia, sehingga kurang dikenal luas di luar negeri. Kondisi itu, menurut dia, hampir sama dengan di Pakistan, yang punya banyak penulis lokal berkualitas tapi menulis dalam bahasa daerahnya. "Pemerintah seharusnya mengerjakan hal ini. Ini tanggung jawab Menteri Kebudayaan," katanya.
Dian Yuliastuti, Rofiqi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo