Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Antigone dan Tembak-Menembak di Kuburan

Di Gedung Kesenian Jakarta, Rangga Riantiarno menyuguhkan tafsir baru atas kisah Antigone. Cukup berhasil meski rasa tragedinya kurang.

17 Oktober 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Klara berteriak histeris menyaksikan kuburan adiknya porak-poranda. Pemain Teater Koma, Tuti Hartati, mengungkapkan kegalauan Klara itu dengan ekspresi panik. Inilah debut awal Rangga Riantiarno menyutradarai Teater Koma. Putra pasangan Nano dan Ratna Riantiarno ini dengan berani menyajikan Antigone Now, tafsir masa kini Evald Flisar, dramawan asal Slovenia, atas karya klasik teaterawan Yunani, Sophocles. Ini kisah tentang seorang perempuan yang berkeras mempertahankan keberadaan makam adiknya dan menolak keinginan pemerintah kota menjadikan lahan pekuburan sebagai lapangan golf.

Tantangan terbesar Rangga, ia harus mampu menyajikan sikap Klara itu masuk akal. Mengapa Klara sampai sedemikian keras kepala? Mengapa ia demikian menyayangi Andrew? Apakah pilihannya menunggu kuburan adalah tindakan wajar dan bukan sinting pada zaman seperti ini? Pertaruhan Rangga adalah ia harus bisa menyodorkan secara rasional ke penonton debat-debat Klara dengan siapa saja yang mengunjunginya di pekuburan.

Drama ini menceritakan satu per satu orang datang membujuk Klara. Mereka, antara lain, Wali Kota yang tak lain pamannya (Riantiarno), Sabina kakak perempuannya (Sriyatun Arifin), Peter sang wartawan yang kawan masa kecilnya (Adri Prasetyo), dan Philip mantan pacarnya (Pandoyo Adi Nugroho). Hampir semua orang di atas berpendapat pilihan Klara salah.

Peter mengatakan lapangan golf akan membuka lapangan pekerjaan. Wali Kota membeberkan argumentasi yang menohok. Menurut dia, yang ada di dalam kuburan bukan tulang-belulang Andrew, tapi Alan, saudara kembar Andrew yang justru dibenci Klara. Keduanya mati dalam sebuah tabrakan. Wali Kota menginformasikan, ternyata Andrew memiliki surat, apabila mati ia mendonorkan tubuhnya ke rumah sakit. Semua memojokkan Klara, kecuali Pak Guido, lelaki buta, bekas guru. Pak Guido datang ke kuburan dan menenangkan Klara. Permainan Budi Ros sebagai penyeimbang di sisi Klara cukup pas.

Lebih dari dua jam, para pemain berdialog di atas set yang tak berubah. Set berupa sebuah kuburan tak terurus yang penuh patung-patung roboh. Skenografer Taufan S. Chandra dan pembangun set Yestha Nandanaguptha mampu mengandaikan makam itu letaknya di ketinggian dan lokasinya dekat kapel, yang dentang loncengnya selalu rutin terdengar warga kota. Set kawasan kuburan arahan Taufan itu juga mampu mengimajinasikan sebagai kawasan tempat gelandangan dan bajingan bertemu. Strategi perpindahan babak yang ditempuh Rangga sendiri adalah tiap pergantian babak selalu didahului tiga aktor memainkan dua gelandangan dan pemain akordeon berpenampilan grotesk melintasi kuburan itu.

Mudah dibayangkan naskah ini secara nyata bisa terjadi di berbagai sudut dunia. Bisa jadi ada sosok seperti Klara di mana pun. Struktur naskah sendiri pada bagian awal banyak menampilkan porsi dua pembunuh (dimainkan Cornelia Agatha dan Dudung Hadi). Dua pembunuh ini kejam dan bisa menembak mati siapa saja. Di pemakaman itu mereka menembak seorang penggali kubur. Kuburan itu artinya bukan hanya dihuni oleh mayat-mayat lama.

Yang jadi soal, penanganan karakter dua pembunuh itu cenderung dibebaskan untuk berlagak konyol, sehingga membuat suasana kota yang penuh kekerasan tak terasa. Cornelia didan­dani bagai seorang punk rock yang kesasar. Bolehlah bahwa banyolan adalah karakter Teater Koma. Dan Dudung Hadi memang terbiasa dengan akting kebadut-badutan. Namun, khusus untuk naskah yang suram ini, seharusnya Rangga mempertimbangkan karakter mereka lebih bengis dan realis.

Walhasil, karena karakter pembunuh yang kurang sangar, baru ketika Wali Kota muncul, problem terasa muncul. Pada titik ini dramaturgi seolah baru panas. Di pertengahan ini kita melihat Evald juga menyodorkan kemungkinan terbuka. Kedua pembunuh itu menemukan foto Klara dan Andrew telanjang, sehingga membuka kemungkinan bahwa keduanya pernah melakukan inses.

Rangga sebelumnya menerjemahkan naskah Evald: Kenapa Leonardo? Hal ini membuatnya paham dengan kecenderungan tokoh-tokoh Evald yang memiliki dimensi psikologis kompleks. Tapi toh tak semuanya bisa terlaksana cemerlang. Misalnya tatkala dikabarkan pada akhirnya Klara dirawat di rumah sakit jiwa dan kemudian ia bunuh diri. Seharusnya adegan itu mampu membangkitkan fantasi kita, apakah benar begitu adanya atau Klara dibunuh. Juga di saat akhir pertunjukan ketika dua pembunuh itu terlibat baku tembak dengan satpam, seharusnya penonton menikmati sebuah klimaks yang mencekam. Tapi itu tak terjadi.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus