Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Tukang Kepruk di Senayan

17 Oktober 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dodi Ambardi*

USUL pembubaran Komisi Pemberantasan Korupsi yang disorongkan Fahri Hamzah beberapa saat lalu menuai kontroversi. Fraksi Partai Keadilan Sejahtera segera merasa perlu meredam pernyataan itu dengan mengatakan itu pernyataan pribadi yang tak mewakili pandangan Fraksi atau PKS.

Kalau kita buka arsip lama, kita banyak menemukan kasus serupa. Bambang Soesatyo dari Fraksi Partai Golkar pernah berinisiatif menggalang tanda tangan di DPR untuk mendorong DPR memberi pernyataan pendapat tentang cara penanganan pemerintah dalam penyelesaian kasus Bank Century. Belakangan, Fraksi Golkar menganulir langkah itu. Ketidakcocokan antara anggota DPR dan partainya juga terjadi atas Ruhut Sitompul dengan Partai Demokrat, Pius Lustrilanang dengan Gerindra, Maruarar Sirait dengan PDIP, Irgan Chairul Mahfiz dengan PPP, dan seterusnya.

Dalih bahwa sikap atau pernyataan anggota tidak mewakili pandangan fraksi atau partai adalah dalih umum. Tapi mengapa kasus semacam ini sering terjadi? Tampaknya ada yang tak beres dalam mode berpolitik jenis ini. Kalau kasus serupa banyak jumlahnya, implikasi politiknya perlu kita perhitungkan.

Basis Representasi

Justifikasi yang diajukan para anggota DPR ataupun petinggi partai adalah hak individu anggota DPR untuk berpendapat. Lebih spesifik lagi, anggota DPR mewakili konstituen mereka di setiap daerah pemilihan, dan karena itu anggota Dewan memiliki hak mengeluarkan pendapat individu demi kepentingan konstituen. Pembenaran ini masuk akal, tapi lemah.

Politik representasi di Indonesia tidak berbasis aktor individu, melainkan aktor kolektif. Paket undang-undang politik menegaskan bahwa unit politik terpenting adalah partai politik. Dalam kompetisi politik, aktor yang diutamakan atau dianakemaskan adalah partai politik.

Undang-Undang tentang Pemilu, misalnya. Undang-undang ini menyatakan hanya partai politik yang menjadi aktor sah sebagai peserta pemilu. Kemungkinan calon perseorangan berlaga di pemilu legislatif adalah nol. Tidak ada celah hukum yang bisa diotak-atik untuk mengajukan calon independen—kecuali dilakukan revisi radikal terhadap aturan ini. Anggota DPD memang berbasis perorangan, tapi peran lembaga ini dan anggotanya dalam politik di Indonesia adalah peran anak bawang.

Demikian juga Undang-Undang tentang Pemilihan Presiden. Tidak ada pasal yang membuka kemungkinan calon presiden independen—yakni yang bukan dari partai politik—bisa mencalonkan diri. Kemungkinan ini ditutup oleh pasal-pasal yang menyatakan calon presiden didaftarkan oleh partai politik.

Yang sedikit membuka peluang adalah Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah, yang juga mengatur pemilihan kepala daerah. Calon independen diberi pintu masuk. Hanya, pintu masuk itu sedemikian sempit, karena syarat administratif yang wajib dipenuhi seorang calon independen begitu menyulitkan sehingga kita jarang sekali mendengar calon independen berlaga di pemilu daerah—apalagi menang.

Pendeknya, politik di Indonesia adalah politik yang berbasis partai. Dengan demikian, kalau kita mendengar argumen politikus partai yang mengatakan anggota DPR memiliki kebebasan individual, sesungguhnya itu pernyataan kosong.

Representasi berbasis individu sejak dulu tidak pernah dilembagakan di DPR. Fasilitas kelembagaan yang memungkinkan pelacakan kinerja anggota DPR tidak ada. Lain halnya dengan politik berbasis individu, sebagaimana terjadi di Amerika Serikat. Di sana, calon partai dan calon independen mendapat hak setara untuk berkompetisi. Rekam jejak gerak-gerik politikus secara individual tercatat, yakni posisi dan dukungan mereka terhadap isu pokok undang-undang terekam dan bisa diakses oleh publik pemilih dari situs Kongres. Dan inisiatif undang-undang bisa datang dari individu. Karena itu, titel undang-undang biasanya diasosiasikan dengan nama inisiatornya.

Dalam kompetisi elektoral di Amerika, prestasi kerja individual menjadi pokok yang menentukan kemenangan seseorang. Pendeknya, representasi dan akuntabilitas politikus berada pada pundak individu politikus, dan partai politik bukanlah tempat persembunyian. Karena itu, individu politikus di sana kerap menyeberangi garis partai dengan pertanggungjawaban yang bersifat individual, dan dengan perhitungan integritas individual pula. Disiplin partai bukanlah isu penting agar fungsi representasi anggota Kongres bisa berjalan.

Tukang Kepruk

Jika semua tatanan kelembagaan tak memberikan peluang politik representasi yang berbasis individu, mengapa terjadi "pembangkangan" anggota DPR terhadap fraksi atau partai? Mengapa seorang politikus bertaruh mengeluarkan pernyataan kontroversial yang bisa merobek citranya?

Kita bisa mencari jawabannya dari strategi politik yang lazim digunakan partai. Partai politik gemar berstrategi dengan memelihara posisi ganda, bahkan posisi yang berlawanan. Strategi ganda ini dapat dilihat dari dua versi yang sedikit berbeda.

Yang lunak—ini versi pertama—adalah strategi berpolitik yang dikenal dengan istilah "mitra kritis pemerintah". Di kabinet, partai politik mengambil posisi sebagai bagian atau mitra pemerintah. Tapi, di DPR dan media massa, partai politik melalui anggotanya mengambil sikap kritis yang mirip oposisi terhadap pemerintah. Dalam situasi ini, mana posisi asli dari partai politik?

Kekaburan posisi partai tampaknya merupakan kesengajaan. Maka, dalam debat publik atau kampanye, partai politik akan memiliki dua persediaan argumen. Posisi mitra diambil jika itu dipandang menguntungkan secara politik—dan kelak dengan keuntungan yang lebih spesifik lagi, yakni keuntungan elektoral. Sebaliknya, posisi kritis atau "oposisional" dipakai jika posisi ini juga menjanjikan keuntungan yang sama. Di hadapan pemilih, dua posisi ini bisa dijual pada segmen yang berbeda untuk kepentingan elektoral. Ini sejenis "gico wolak-walik" di mana partai politik tak pernah bisa kalah dalam perdebatan karena mereka memegang posisi rangkap dalam berbagai isu. Karena itu, sebetulnya istilah "mitra kritis" lebih bermuatan kepentingan politis, bukan posisi etis.

Versi lainnya adalah versi yang lebih vulgar. Posisi rangkap itu merupakan bagian dari strategi negosiasi antar-elite. Dalam negosiasi, di tahap awal, posisi kedua belah pihak berada pada titik ekstrem. Setelah itu, masing-masing pihak, sembari memberikan konsesi sedikit demi sedikit, bergerak ke tengah sehingga mencapai keseimbangan yang diterima masing-masing pihak.

Dalam permainan semacam ini, partai politik memerlukan seorang negosiator tangguh dan seorang juru bicara yang bersuara lantang. Negosiator utama mungkin tak tampil di media atau di depan publik. Tapi juru bicara mengambil tempat di panggung untuk mengambil posisi awal seraya melakukan gertakan. Alhasil, juru bicara ini berfungsi mirip "tukang kepruk" yang bercokol di Senayan. Mereka mesti lihai berakrobat di hadapan publik, banyak dalih, dan lihai beretorika. Ini diperlukan untuk menaikkan posisi tawar atau memobilisasi opini publik, dan menghancurkan kredibilitas lawan. Dalam prakteknya, fungsi tukang kepruk ini bisa meluas. Sebagian akademisi, pekerja media, dan aktivis LSM bisa dan ada yang mau menjadi tukang kepruk.

Implikasi

Usul pembubaran KPK yang dilontarkan Fahri karena itu bisa dilihat sebagai strategi tawar-menawar. Itu adalah upaya memberikan sebuah ekstremitas, sebuah posisi awal, tapi bukan posisi final. Dan karena itu Fraksi PKS pun segera menganulirnya. Terlepas dari tidak populernya posisi itu, isu ini telah memobilisasi dukungan publik meskipun kecil saja.

Konsistensi dan konsekuensi dari pernyataan itu tidak begitu penting. Serangan Fahri atas kredibilitas KPK dan dakwaannya atas minimnya prestasi KPK juga bisa berlaku pada DPR. Level kepuasan publik terhadap kinerja DPR dan partai dalam berbagai survei tercatat paling rendah—lebih rendah daripada KPK dan institusi negara lainnya. Kalau ingin konsisten mengikuti logika Fahri, misalnya, mestinya DPR juga dibubarkan.

Gaya berpolitik yang memanfaatkan tukang kepruk tak akan hilang. Ini adalah gejala pinggiran sebagai ekses demokrasi yang harus diterima. Apalagi gaya ini cocok untuk konsumsi media. Tentu implikasinya tidak menguntungkan perkembangan demokrasi. Gaya semacam ini menyodorkan politik semata sebagai seni negosiasi dan mobilisasi, bukan politik sebagai upaya mencari dan menawarkan alternatif solusi kebijakan yang argumentatif dan koheren.

Kalau mayoritas politikus partai pada akhirnya memakai gaya berpolitik yang mirip satu sama lain dengan memfungsikan tukang kepruk, celakalah nasib demokrasi kita. Struktur kompetisi dan pilihan politik menjadi kabur, dan publik akan mengalami kesulitan menjadi pemilih rasional. Revisi radikal atas paket undang-undang politik bisa menjadi pintu perbaikan. Calon independen mesti diberi ruang, dan tanggung jawab individual politikus dilembagakan, sehingga sanksi dan ganjaran elektoral pada tingkat individual politikus bisa bekerja secara maksimal. Aktor kolektif di DPR diimbangi dengan kehadiran aktor individual. Dengan demikian, dua jenis aktor ini bisa saling mengoreksi dan berkompetisi di arena pemilu. Namun, dugaan saya, usul sejenis ini pasti akan dikepruk juga.

*) Dosen Fisipol UGM, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus