Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arif Yudistira
Ketua Sarekat Taman Pustaka Muhammadiyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tubuh puisi sering tak bisa lepas dari tubuh penyair. Ada tautan antara keseharian raga dan keseharian penyair dengan puisinya. Biografi setidaknya ikut mempengaruhi bagaimana kemudian puisi-puisi diciptakan. Kita bisa menemukan lacakan bagaimana puisi Sapardi ketika di Solo dengan saat berdomisili di Jakarta. Kita bakal menemukan beda ketika Afrizal Malna hidup di Yogyakarta, Solo, atau Jakarta. Tubuh membentuk bahasa pada puisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam buku puisi Kau Berhasil Jadi Peluru (2018), kita bakal menemukan relasi antara biografi sang bapak dan biografi anak. Ada hubungan intim antara judul puisi yang ditulis Widji Thukul, Aku Ingin Jadi Peluru (2000), dan puisi Fitri Nganthi Wani, Kau Berhasil Jadi Peluru (2018). Ada harapan serta keberhasilan. Ada pertanyaan dan jawaban. Kedua buku puisi yang ditulis oleh bapak dan anak ini seolah-olah tak dapat dipisahkan.
Bila kita menyimak liputan khusus majalah Tempo edisi khusus Widji Thukul, kita bisa menelisik riwayat kepenyairan Thukul. Ia dibesarkan oleh kekuasaan yang tiran, rezim penindas yang kejam, juga pemerintahan militeristik yang bengis. Namun, kita tak boleh lupa, Thukul adalah seorang aktivis PRD yang juga mengenyam pendidikan, meski tak tamat sekolah tinggi seni di Surakarta. Ia adalah seorang yang rakus terhadap buku bacaan. Kita tahu buku-bukunya dibaca dari Halim H.D. dan aktivis PRD lainnya. Melalui bacaan-bacaan itu Thukul tumbuh dengan perlawanan terhadap ketidakadilan. Thukul memilih jalan literer dan jalan kebudayaan. Ia manggung dengan puisi-puisinya serta bersuara lewat tulisan-tulisannya.
Seorang temannya pernah memberi peringatan kepada Thukul untuk berhenti menulis puisi yang dianggap mengganggu Orde Baru di kala itu. Namun jawaban Thukul tetap tidak, ia tak mau berhenti, ia terus menulis. Kita bisa menyimak pula lewat penggalan puisinya: Jika tak ada tinta hitam/aku akan menulis dengan darah. Hal itu pula yang menyebabkan sebelah matanya dipopor senjata oleh tentara waktu demo bersama buruh Sritex.
Peristiwa itu tak berhenti, sampai 1997 menjelang reformasi. Thukul menghilang sampai sekarang. Kepergian Thukul tak hanya membawa trauma bagi istrinya, Sipon, tapi juga anak-anaknya, termasuk Fitri dan Fajar Merah.
Dua anak inilah yang kelak memiliki bakat yang berbeda tapi senapas dengan bapaknya. Fajar memilih menyalurkan kemarahan, kekecewaan, serta menyembuhkan diri dari luka masa lalu melalui musik, sedangkan Wani berpuisi. Kita mengenali Wani semenjak kepergian bapaknya, di setiap peringatan pencarian bapak, Wani menulis puisi dan membacakannya di hadapan siapa saja. Puisi di sini bisa dilihat sebagai sebuah kesaksian sekaligus suara dan jerit hati seorang anak yang kehilangan bapak yang tak jelas rimbanya.
Pada 2009, ia menjadi saksi bagi terbitnya buku puisi pertamanya, Selepas Bapakku Hilang, yang diluncurkan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Kini, pada tahun ini, kita bisa menyimak nyanyian pilu itu kembali. Jerit hati seorang anak yang telah besar, kian besar tapi menyimpan museum sekaligus monumen untuk mengenang bapaknya. Di tengah rimba kesepian ini/hatiku ramai oleh orkestra tanya/Kau ada di mana? (Untuk Bapak).
Pertanyaan Kau ada di mana? Bukan sekadar tanya yang diajukan atas nama seorang anak, tapi juga pertanyaan yang diajukan kepada kita semua. Perasaan penyair tak dibahasakan dengan bahasa meliak-liuk, tapi lugas dan gamblang. Widji dan Wani seolah-olah memiliki gaya bahasa yang sama dalam puisi. Kita bisa menengok dari pengakuan Wani saat mengartikan puisi, Kalimat-kalimatku bukanlah senjata/puisi-puisiku bukanlah pelarian/Menulis adalah pulang (Sebuah Pulang). Bagi Wani, puisi adalah jalan untuk pulang, jalan menjadi manusia yang utuh, manusia yang bisa keluar dari jerat masa lalu. Manusia yang merindukan kepastian keberadaan bapaknya, yang berarti kepastian akan identitas, jejak dan juga biografinya.
Ada kaitan puisi Widji Thukul sebagai inspirasi sekaligus sebagai jalan pengingat agar kelak Widji Thukul (ayah) penyair bisa ditemukan. Puisi-puisiku terinspirasi darimu/puisi-puisiku semakin banyak/Puisi-puisiku menarik perhatian orang Karena bapak/Karena aku anak bapak/….. hanya bapak yang kuharapkan ada/lalu kuajak pulang (Selalu Bapak).
Hampir di sebagian besar puisi di buku Wani, kita bakal menemui puisi ditulis dalam cerita, kemarahan, sekaligus pengingat. Fitri ingin membangun monumen tapi selalu rapuh. Ia tak ingin secepat itu membangun monumen, meski ia tahu bahwa kenyataan sampai saat ini negara masih kalah. Kita bisa menyimak saat Wani menulis puisi bertajuk Terkenang Simbah: Joko ora iso nulungi, Mbah/Joko, ora iso nggoleki Wiji (Joko tidak bisa menolong, Mbah/Joko tidak bisa mencari Wiji). Ada kemarahan yang hendak ditulis di puisi ini. Kemarahan pada seorang pemimpin negara yang ingkar janji.
Puisi, bagi Wani, adalah medium untuk bercakap, menyalurkan rindu, menyimpan kenangan, dan upaya untuk menyembuhkan jiwa yang tak utuh. Jiwa yang kehilangan bapak. Puisi di sini bisa sebagai terapi. Namun di sisi lain, kita bakal menemukan bagaimana di bait-bait Wani juga menyisipkan kemarahan, protes sekaligus rasa tak terima pada negara, pada realitas bahwa bapaknya tak tentu rimbanya.
Mari menyimak betapa marahnya Fitri di puisi-puisinya. Aku rangkaian bait yang tak pernah diam/Lahir dari rahim pertiwi yang diperkosa Suharto/Mulutku sumpah serapah untuk Orde Baru/Karena aku bayi yang belajar berjalan sendiri (Aku Rangkaian Bait Yang Tak Pernah Diam). Mereka tak pernah tahu/Akan cerita mata indahmu (Apa Yang Bisa Dilakukan Penyair Miskin Ini Untukmu Ibu?). Penguasa, negara, dan Orde Baru, adalah rangkaian kekecewaan yang mendekam di bait puisi Wani. Bila nanti penguasa bertanya/ketika aku tak butuh lagi jawaban/Maka katakanlah/Aku baik-baik saja (Bulan Bulat Di Langit Desember).
Wani, kini memang tak lagi anak-anak. Ia sudah menjadi ibu, seperti pengakuannya, puisi adalah terapi untuk menggali jati diri. Di buku puisi Kau Berhasil Jadi Peluru (2018), ada metafor perlawanan, sekaligus upaya yang terus diusahakan bahwa di tengah kehidupannya yang tumbuh tanpa ayah, ia masih merindukan kedamaian dan kebahagiaan. Melalui puisi, ia pun kelak berharap bisa membagi cinta di dadanya. Cinta yang tumbuh dari seorang bapak pada anak, cinta yang tumbuh pula dari seorang anak kepada bapaknya.
Judul: Kau Berhasil Jadi Peluru
Penulis: Fitri Nganthi Wani
Tahun: Mei 2018
Halaman: 113 Halaman
Penerbit: Warning Books
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo