Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua tubuh manusia berbalut kain rebah di lantai tanah. Di sekelilingnya hanya ada dinding batu, rumput kering, dan ranting mati. Warna cokelat dan hitam mendominasi. Tapi, perlahan, keduanya menggeliat. Saling menghampiri, menindih, dan berinteraksi dalam pertautan yang sangat primata dan embrionik—bak jabang bayi dalam rahim: ada lelaki, ada perempuan yang hidup kembali dan saling mengisi.
Gerak-gerik lambat manusia sebagai makhluk primata terlahir kembali itu akan menjadi bagian dari Hunger of the Land, pertunjukan Eiko dan Koma, yang tampil perdana di Indonesia pada Sabtu dan Minggu, 11-12 Juli, di Teater Salihara, Jakarta, sekaligus mengadakan workshop dengan publik umum. Mereka adalah salah satu nomor pembuka Festival Salihara yang akan berlangsung hingga Agustus.
Eiko, 57 tahun, dan Koma, 61 tahun, berangkat dari tradisi butoh yang dilahirkan guru mereka, seniman pertunjukan Tatsumi Hijikata. Hijikata adalah inovator dalam teknik gerakan yang memaksimalkan eksplorasi tubuh dalam gerakan lambat yang sangat terkontrol. Imaji yang ditampilkannya bisa keseharian, bisa juga bawah sadar yang bukan riil: kadang ringan dan maya, tapi kadang juga berat seperti mimpi buruk yang mengimpit dalam bayang-bayang kegelapan. ”Eiko dan Koma seniman butoh generasi pertama yang sangat unik,” kata kurator Tony Prabowo.
Hunger of the Land adalah reproduksi dari Land, koreografi Eiko dan Koma pada 1991, yang berkolaborasi dengan Robert Mirabal, pemusik keturunan suku Indian. Mirabal lahir dan besar bersama tradisi etnis Taos Pueblo, penduduk asli sebagian wilayah Negara Bagian New Mexico. Tapi, ironisnya, di wilayah itu pula pemerintah Amerika menguji coba nuklir sebelum menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Eiko dan Koma datang ke Hiroshima saat membuat Land. Dalam Hunger of the Land, mereka ingin menunjukkan bagaimana bumi dan manusia yang hancur dan lapar kemudian menari bersama untuk bangkit dari luka. ”Kesakitan adalah bagian dari kemuliaan kita, seperti juga cinta dan kesenangan,” Eiko menulis dalam situsnya.
Pada 1971, ketika keduanya masih mahasiswa hukum dan ilmu politik di Jepang, mereka bertemu dengan kelompok Tatsumi Hijikata. Setahun kemudian, mereka mulai bekerja bersama dan berguru pada Kazuo Ohno, yang bersama Hijikata dianggap sebagai dua tokoh sentral gerakan teatrikal avant-garde pada 1960-an. Mereka kemudian pergi ke Hannover, Jerman, dan belajar bersama Manja Chmiel, pengikut Mary Wigman, tokoh dansa kontemporer Jerman.
Semenjak 1976, menikah dan menetap di Manhattan, New York, Eiko dan Koma telah menampilkan karyanya di teater, universitas, museum, galeri, dan festival seni di seluruh dunia, termasuk sebagai seniman reguler di Festival Tari Amerika, menghabiskan lima musim di Akademi Musik Brooklyn di New York dalam Festival New Wave, dan sebulan penuh beraksi menjadi instalasi ”hidup” di Museum Seni Amerika. Sejumlah penghargaan pernah mereka raih, antara lain Simon Guggenheim pada 1984 dan MacArthur Award pada 1996.
Yang khas dari mereka adalah koreografi yang selalu berinteraksi dengan alam, semisal hutan, pantai, dan sungai. Kostum dan setting sedapat mungkin berasal dari hal-hal yang sangat alamiah, dan dibuat bak instalasi. Ketika mereka menerima penghargaan Samuel H. Scripps pada festival tari Amerika 2004 senilai US$ 35 ribu atas pengabdian seumur hidup terhadap tradisi butoh, gerakan tubuh duo Eiko dan Koma disebut merefleksikan ”siklus musim dan ritmik bumi”.
The New York Times melaporkan, Chmiel, yang sudah 82 tahun, malam itu hadir melihat Eiko dan Koma menerima penghargaan. Koma mengatakan ia ingat pernah berkata kepada Chmiel, ia tidak percaya diri tampil tunggal. ”Kalau begitu, jangan lepas dari Eiko,” Chmiel menasihati waktu itu. Menuruti pesan itu, kini genap 38 tahun sudah duo Eiko dan Koma tampil bersama.
Selain Eiko dan Koma, seniman mancanegara yang akan tampil dalam Festival Salihara antara lain Christian Utz dan ensemble on_line dari Austria, Timetable Percussion Trio dari New York, Dieter Mack dan Selisih Ensemble dari Jerman, puisi jazz Denise Jannah, kelahiran Belanda-Suriname, dan monolog Tolstoy’s Wife oleh Jennifer Claire dari Australia. Ada pula kuliah umum oleh Amina Wadud, profesor studi Islam dari Amerika Serikat, yang akan berbicara tentang keindahan feminin keilahian.
Kurie Suditomo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo