BISMA, WARRIOR PRIEST OF THE MAHABHARATA Judul asli: Resi Bisma Dewabrata Karya: Satyagraha Hoerip Alih bahasa: David Irvine Penerbit: Pustaka Sinar Harapan, 1990, Jakarta, 106 halaman "KETIKA kedua-duanya menembus dada bidang Bisma, meledaklah angkasa bagai disambar sejuta guntur. Banteng kesatria Mayapada Resi Bisma pun terbanting rebah ke tanah, ditinggalkan kereta perangnya yang dilarikan oleh kuda-kudanya tanpa tujuan ...." Sungguh, adegan yang mencekam sekaligus mengharukan dari episode Bharatayudha. Bisma Dewabrata, kesatria Hastinapura itu, tumbang oleh panah Srikandi dan Arjuna -- meski ia masih boleh memilih hari kematiannya. Dan sang penulis, Satyagraha Hoerip, memilih tokoh ini sebagai peran utama novelnya -- ditulis 28 tahun yang lalu -- karena "Bisma adalah tokoh yang konsekuen dengan apa yang dikatakannya." Menurut Oyik -- nama panggilan Satyagraha Hoerip -- novel ini ditulisnya berdasarkan berbagai pertunjukan wayang kulit yang ditontonnya dalam rentang waktu 15 tahun. "Katakanlah saya editor dari pertunjukan wayang Bismaparwa dari berbagai versi ki dalang. Termasuk Ki Suratman dari Kediri dan Ki Gito Sewoko," ujar Oyik, 56 tahun, yang baru saja kembali dari Jepang atas undangan Universitas Kyoto. Gito Sewoko adalah dalang wayang kulit RRI Jakarta yang sangat mahir hingga menjadi favorit Bung Karno. Penulis mengaku jatuh cinta pada tokoh Bisma sejak berusia 10 tahun karena "ia bertahan pada sumpahnya untuk tidak merasakan kenikmatan duniawi serta membela negerinya, Hastinapura." Novel Resi Bisma Dewabrata setebal 167 halaman itu diterbitkan pertama kali oleh PT Aryaduta. Dan tujuh tahun kemudian PT Kinta menerbitkan kembali, tapi, kata Oyik, "saya belum pernah mendapatkan honornya." Kini novel tersebut juga bisa dinikmati dalam bahasa Inggris dengan judul Bisma, Warrior Priest of the Mahabharata. Versi bahasa Inggris ini diterjemahkan oleh David Irvine selama dua tahun. Tetapi diplomat Australia yang pernah ditugaskan di Indonesia pada 1976 ini sudah membaca buku Oyik tersebut sejak 1978. Ketertarikannya terhadap kebudayaan dan sastra Indonesialah yang membuat Irvine, 43 tahun, ingin menerjemahkan Resi Bisma. "Saya sudah membaca beberapa versi, termasuk versi India. Tapi perkenalan saya pertama kali dengan Mahabharata adalah yang versi Jawa," kata lulusan University of Western Australia itu. Ia menganggap terjemahannya ini adalah sebuah bentuk perkenalan bagi masyarakat Barat terhadap kisah-kisah wayang. Menurut dia, saat ini orang-orang Barat lebih mengenal cerita wayang dalam bentuk seni pertunjukan, sementara biasanya mereka tak terlalu mengenal cerita-cerita wayang. "Harapan saya, setelah membaca terjemahan ini, orang Barat tertarik mencari sumber-sumber yang membahas Mahabharata secara lengkap dan mendalam." Itulah sebabnya Irvine membuat beberapa keterangan tambahan dalam karya terjemahannya. Misalnya, setiap kali ada tokoh baru yang muncul, Irvine menambah sedikit keterangan mengenai hubungan si tokoh dengan tokoh yang sudah dikenal pembaca sebelumnya. "Kita harus mengasumsikan bahwa pembaca terjemahan Resi Bisma ini adalah masyarakat Barat yang awam dengan wayang," katanya. Irvine mengaku, terkadang ia menemui kesulitan. Misalnya, dalam dialog antara Dewi Gangga, istri Prabu Santanu, dan suaminya sendiri. "This is your son, Ganggadata, whom your slave took from you on the very morning his birth .... I, your humble slave, have brought him back that Your Majesty might see him at last." (hlm. 17) Kalimat ini adalah terjemahan dari "... tetapi inilah dia, putera Paduka sendiri, Ganggadata, yang dulu hamba bawa pergi itu .... Sore ini sengaja dia hamba pamerkan di sini agar terlihat oleh Paduka." Slave secara harfiah berarti budak. Dan dalam konsep Timur maupun Barat, budak biasa diartikan sebagai pekerja atau hamba sahaya yang tenaganya dibayar -- meski tak harus dengan mata uang. Alasan Irvine menggunakan kata your slave adalah untuk menunjukkan status Prabu Sentanu. "Soalnya, bahasa Inggris tidak memiliki tingkatan seperti bahasa Jawa. Bahkan bahasa Indonesia pun masih bisa menggunakan hamba untuk memperlihatkan perbedaan status tersebut," katanya. Tetapi menggunakan kata your slave mungkin akan membikin pembaca (Indonesia maupun Barat) mengerutkan kening. Irvine juga terkadang masih terjebak pada kejanggalan penggunaan kata husband atau wife, ketika ia menerjemahkan kata "wahai suamiku" atau "hai istriku". Bahkan yayi (panggilan sayang untuk istri atau adik) diterjemahkan sebagai little sister. Namun, kejanggalan kecil ini toh bisa dilupakan. Secara keseluruhan, Irvine mencoba mencapai tingkat keindahan dan kehalusan bahasa sebagaimana gaya Oyik. Buku ini, seperti yang dikatakan Irvine, memang melihat Mahabharata dari sat sisi, yakni dari mata Bisma Dewabrata. Jadi, pembaca awam yang tak tahu tentang Mahabharata bisa mengenal Bisma sebagai tokoh sentral, sementara yang lain kelihatan periferal. Dan semoga, sesudah membaca buku ini, mereka berminat mengetahui lebih jauh tokoh-tokoh penting lainnya dalam Mahabharata seperti Kresna, Karna, atau Arjuna. Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini