INI cerita pertemuan tahunan yang ke-16 antara pengusaha Jepang dan ASEAN, akhir bulan lalu di Fukuoda. Peserta dari Jepang datang dari Keizai Doyukai, suatu asosiasi eksekutif yang setelah Perang Dunia Kedua melansir gerakan untuk memodernkan bisnis di Jepang. Waktu itu anggotanya masih muda-muda. Sekarang banyak yang sudah tua, tapi semangat pembaruannya masih ada. Keidanren lebih terkenal, lebih besar, dan lebih berpengaruh, tetapi Keidanren lebih mewakili kepentingan industri dan bisnis besar. Keizai Doyukai menyadari pentingnya ASEAN sesudah yang akhir ini didirikan dan mulai mensponsori pertemuan tahunan dengan kalangan bisnis dari ASEAN. Mulanya pertemuan tahunan sekadar tukar-menukar informasi dan pikiran. Jepang menggambarkan jalan perkembangan ekonominya dan begitu pula para delegasi ASEAN, plus mengimbau Jepang mengadakan investasi. Sebagai pertemuan yang bisa menghasilkan bisnis, forum bilateral dengan Keidanren lebih penting. Keizai Doyukai di Tokyo berfungsi sebagai grup lobi terhadap pemerintahnya untuk menyesuaikan atau merombak beleid agar lebih sesuai dengan keperluan zaman. Keidanren juga berfungsi sama, tetapi Keizai Doyukai terkenal lebih "progresif", juga mempunyai minat besar terhadap pertumbuhan negara berkembang. Mereka lebih mementingkan kelompok ASEAN daripada negara anggotanya masing-masing karena ASEAN mencerminkan keadaan umum negeri berkembang di Asia Tenggara. Tahun ini pertemuan punya makna khusus. Negara ASEAN sudah jauh lebih maju ekonominya dibanding 20 tahun lalu. Satu negara sudah tergolong NIC (negara setengah industri), yakni Singapura dengan pendapatan per kapita mendekati US$ 10.000 setahun. Malaysia dan Muangthai sering disebut sebagai negara bakal-NIC karena tingkat industrialisasinya sudah cukup maju (20% lebih dari PDB-nya), dan laju pertumbuhan ekonominya mendekati 10% setahun. Indonesia sejak melakukan deregulasi 1983 dan 1986 dikagumi karena kemajuannya tampak lebih cepat, lagi pula tak bergantung lagi pada kekayaan alam minyak bumi. Walaupun pendapatan per kapita Indonesia (sekitar US$ 500 setahun) yang paling rendah dan tingkat industrialisasinya masih dalam tahap permulaan (sumbangan sektor 18% dari PDB), orang luar tetap angkat topi pada Indonesia karena potensinya terbesar di ASEAN. Sejak awal tahun 80-an terjadi perubahan struktur ekonomi di Asia Timur. Pertama, ada dampak dari apresiasi yen yang menyebabkan biaya berbagai industri naik di Jepang. Timbul relokasi gelombang pertama beberapa industri ke NIC's, yakni Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, dan Singapura. Ini membantu NIC's mencapai kemajuan ekonomi yang tinggi, dan laju pertumbuhannya mencapai atau melebihi 10% setahun. Lalu mereka ini didesak oleh AS untuk lebih membuka ekonominya (artinya mengurangi proteksi), dan mengapresiasi mata uangnya. Sebagai akibatnya, negara-negara ini juga menjadi mahal bagi berbagai industri yang padat karya. Timbul relokasi industri gelombang kedua yang masuk Asia Tenggara. Yang paling memanfaatkan kesempatan adalah Muangthai dan Malaysia karena ekonominya sangat stabil dan politik ekonominya cukup terbuka. Indonesia ketinggalan karena masih terlalu proteksionistis dan mata uangnya tidak stabil. Namun, sejak 1983 dan lebih-lebih sejak 1986 Indonesia menjadi lebih menarik. Kini ada kejenuhan di Muangthai, sedangkan upah buruh di Indonesia jauh lebih rendah dari Malaysia. Maka, mulai 1988 dan 1989 Indonesia pun menjadi populer di antara investor dari Jepang, Korea, Taiwan, Hong Kong, dan Singapura. Lihat saja penuhnya pesawat terbang dari negara-negara itu. Dalam lima tahun yang akan datang orang Jepang memperkirakan Indonesia akan lebih menarik. Semua ini menimbulkan masalah baru untuk seluruh ASEAN. Selama ini investasi dari Jepang sangat menonjol, tapi mitra usahanya sering mengeluh bahwa justru perusahaan Jepang kikir dan lamban dalam pelimpahan teknologi dan otonomi kepada perusahaan patungan. Sentralisasi dari Tokyo dan Osaka terlalu kuat. Perusahaan Amerika dan Eropa lebih akomodatif. Mereka, misalnya, suka bekerja dengan manual yang dapat menuntun personel Indonesia. Pengiriman ke luar negeri untuk latihan dan rotasi kerja juga lebih banyak. Jepang punya kultur perusahaan yang lain, yang promosinya sangat lamban karena menunggu karyawannya menjadi "matang" sekali. Para manajer Jepang juga berkomunikasi dalam bahasa Jepang saja hingga kurang "terbuka" bagi personel Indonesia. Bahkan pemuda ASEAN yang lulus dari universitas di Jepang konon tak betah bekerja lama di perusahaan Jepang karena merasa kurang dimanfaatkan hingga akhirnya banyak pindah ke perusahaan asing lain dan lebih lekas naik pangkat. Semua ini dibicarakan terbuka selama pertemuan di Fukuoka. Sebuah survei oleh Keizai Doyukai juga mengungkapkan masalah-masalah ini. Tokoh-tokoh Keizei Doyukai, yang banyak menjadi presiden dan ketua perusahaan besar, mengakui Jepang harus menyesuaikan diri. Mulai tampak beberapa kemajuan. Tapi pelan. Semboyan populer mereka: Roma pun tak dibangun dalam sehari! Ini memancing komentar seorang tokoh usahawan Indonesia: "Jepang suka lip service, tapi prakteknya lain." Mungkin demikian. Namun, dengan Jepang orang memang harus lebih sabar, sambil tiap kali mengimbau dan menggebrak, seperti dilakukan oleh AS. Hanya Amerika punya tongkat besar. ASEAN pun punya senjata penangkis: persaingan internasional. Usahakanlah agar perusahaan Jepang selalu disaingi oleh perusahaan Amerika, Eropa, dan NIC's.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini