Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ARCA Prajnaparamita dari Candi Singosari itu duduk dengan anggun di sebuah pedestal kotak putih. Brussels sudah memasuki musim dingin, sebulan lalu. Cahaya yang dibuat temaram di ruang pamer Palais de Beaux-Arts (Paleis voor Schone Kunsten), atau yang dikenal publik sebagai Bozar, membuat arca seperti menampilkan aura magis. Arca yang sehari-hari berada di Museum Nasional Jakarta itu diletakkan tak jauh dari pasangan arca Kertarajasa, pendiri Majapahit, dan permaisurinya, Tribhuwana Tunggadewi. Kertarajasa dipatungkan mengambil bentuk Harihara, simbol penyatuan Siwa dan Wisnu. Arca ini ditemukan di reruntuhan Candi Simping, Sumberjati, Blitar, Jawa Timur. Akan halnya arca Tribhuwana didapatkan di Candi Rimbi, Jombang.
Sementara itu, di Kota Liege, sekitar 90 kilometer dari Brussels, Belgia, di Museum La Boverie, arca Ganesha yang ditemukan di situs bata sebuah candi Hindu (telah musnah) yang disebut Candi Banon, di Desa Jligudan, di dekat tepi Kali Progo, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, menyita perhatian pengunjung. Arca itu besar sekali. Beratnya 1,3 ton. Selain Ganesha dari Candi Banon, arca Prajnaparamita yang kepalanya putus membetot mata. Prajnaparamita ditemukan di Candi Gumpung, Muarajambi, dan sehari-hari biasanya berada di Museum Situs Muarajambi.
Lima arca itu termasuk masterpiece kekayaan purbakala Indonesia. "Mereka" berada di Belgia sejak Oktober 2017. Masih ada puluhan arca serta ratusan artefak langka negeri kita yang disajikan di Brussels dan Liege. Di Bozar, pameran diberi judul "Ancestors and Rituals". Sedangkan di Museum La Boverie berjudul "Les Royaumes de la Mer: Archipel" (Kingdoms of the Sea: Archipelagos). Sampai pertengahan Januari 2018, kedua ekshibisi itu di Belgia menjadi pameran utama festival besar: Europalia Indonesia.
Di Bozar, sesuai dengan tema pameran, selain arca, disajikan berbagai benda ritual kematian sampai upacara kesuburan. Dari sarkofagus asal Bangli, Bali, sampai batu megalitik ibu menggendong anak dari Pagaralam, Sumatera Selatan. Ada pula aneka regalia, nisan, jimat, tongkat magis, perahu arwah, benda-benda kubur, serta topeng dan patung suci kayu leluhur dari Kepulauan Babar dan Tanimbar Maluku, Nias, Toba, Jayapura, sampai Minahasa.
Pengunjung bisa tercenung lama di depan korwar, tengkorak leluhur dari Teluk Cenderawasih; tau-tau dari Toraja; atau sigale-gale dari Samosir. Tau-tau adalah patung setinggi manusia yang merupakan personifikasi bagi orang mati. Patung yang wajahnya dibuat menyerupai orang yang hendak dikubur itu didandani dengan sarung, kemeja, dan jas. Akan halnya sigale-gale adalah boneka setinggi manusia yang bisa digerak-gerakkan menari tortor mengenakan baju hitam, sarung, ikat kepala, dan selendang. Dulu, syahdan sigale-gale bisa menari-nari sendiri saat dimasuki roh.
Di Museum La Boverie, kita bisa menyaksikan patung perak Manjusri yang ditemukan di Ngemplak, Semarang. Patung itu diperkirakan dari abad IX. Posisi duduknya lalitasana-kaki kanan bersila dan kaki kiri menggantung. Artefak ini amat langka karena, dari periode Hindu-Buddha kita, jarang ditemukan patung perak. Selain itu, berbagai prasasti dihadirkan, seperti Inskripsi Canggu, Inskripsi Lobu Tua, dan Inskripsi Kedukan Bukit.
Yang spektakuler adalah dipamerkannya perahu padewakang dari Sulawesi secara utuh. Perahu dari Makassar ini khusus dibuat di Bulukumba untuk Europalia. Dulu, sejak abad XVII sampai awal abad XX, perahu jenis ini sering digunakan pedagang Makassar ke Batavia, Malaka, Penang, bahkan ke Australia untuk mencari teripang. Sekarang sudah tak ada. Dokumentasi proses pembuatan perahu itu dari penebangan pohon sampai ritual selamatan dan pendarasan barzanji disajikan. Dari Sulawesi, bilah-bilah kayu perahu dipak, diterbangkan ke Belgia, kemudian rekonstruksinya dilakukan di La Boverie. Beberapa pengunjung museum dengan penuh rasa ingin tahu mendekat ke lambung kapal memeriksa bagaimana perahu tradisional itu bisa kokoh meski sambungan antarkayunya sama sekali tanpa paku.
Europalia adalah pesta kebudayaan dua tahunan yang berpusat di Brussels. Tahun ini menghadirkan kebudayaan Indonesia. Pada 2015, kebudayaan Turki yang dipamerkan. Bukan hanya pameran arkeologi yang disajikan di Europalia, tapi juga pertunjukan tari, musik, pameran seni rupa kontemporer, sastra, dan film. "Dibanding milik Turki, jumlah venue untuk tari dan musik Indonesia jauh lebih banyak. Pertunjukan sampai ke Prancis, Jerman, dan Belanda," kata Dirk Vermaelen, Direktur Artistik Europalia.
Dua tahun lalu, pameran arkeologi Turki berjudul "Anatolia: Home of Eternity" menyajikan kurang-lebih 200 benda arkeologi Anatolia kuno-dari zaman Yunani, Katolik, sampai Islam. Tidak mau kalah, agaknya pemerintah Indonesia mati-matian mempersiapkan pameran "Ancestors and Rituals" dan "Archipel". Khusus pelaksana teknis pameran adalah Museum Nasional. "Ini adalah pameran benda purbakala kita ke luar negeri terbesar yang pernah diadakan," kata Drs Siswanto, MA, Kepala Museum Nasional. Denyut promosi pameran ini terasa di beberapa sudut Brussels. Poster resmi Europalia Indonesia bergambar pasangan jimat kayu Ana Deo dari Flores, Nusa Tenggara Timur, direklamekan besar di stasiun utama Brussels Grand Central, halte-halte trem, dan galeri sekitar Rue Ravensteinstraat. "Semua benda yang kami tampilkan asli. Tidak ada barang replika atau tiruan," ucap Siswanto.
Tak mudah untuk memboyong benda-benda purbakala ke Belgia. Dibutuhkan biaya tinggi dan sebuah kerja kuratorial yang solid. "Kami menggunakan standar kerja museum internasional," ujar Siswanto. Terselenggaranya Europalia Indonesia diawali dengan penandatanganan nota kesepahaman (MOU) oleh Kementerian Luar Negeri Indonesia dan pihak Belgia pada 2015. "Duta Besar Indonesia untuk Belgia sebelumnya, Arif Havas Oegroseno, sangat berperan dalam ide mengadakan Europalia Indonesia," ujar Dirk Vermaelen, Direktur Artistik Europalia.
Pada 2015 itu, tim Europalia Indonesia yang ditunjuk Kementerian Kebudayaan mulai memilih calon kurator. Untuk pameran arkeologi, terpilih Dr Daud Aris Tanudirjo, arkeolog Universitas Gadjah Mada, yang menawarkan konsep ancestor and ritual. Adapun untuk seni pertunjukan, ada Sal Murgiyanto, Nyak Ina Raseuki, dan Afrizal Malna, sedangkan seni rupa diisi Alia Swastika dan Riksa Afiaty. "Juni 2016, kami melihat showcase para seniman di Solo, Yogya, Padang, dan Bali," kata Dirk Vermaelen.
Vermaelen bersama Daud Aris dan tim Museum Nasional melakukan observasi ke balai pelestarian cagar budaya, balai arkeologi, dinas pariwisata, dan museum arkeologi di daerah-daerah. Antara lain Ambon, Palembang, Bali, Papua, Kalimantan Barat, Yogyakarta, dan Lampung. "Setelah survei di daerah, kami mulai memilih artefak sesuai dengan skema Pak Daud," ujar anggota staf Museum Nasional, Ni Luh Putu Candra Dewi, yang menangani pemilihan koleksi.
Daud memilih pameran diawali dengan migrasi bangsa Austronesia dari Taiwan ke Nusantara sekitar 5.000 tahun lalu. "Saya tidak menampilkan pameran dari zaman Pithecanthropus erectus, Homo soloensis, atau Homo sapiens. Sebab, kalau bicara mengenai pemujaan leluhur, kultur Austronesia yang sangat mempengaruhi kita," ucapnya. Menurut Daud, kultur Austronesia selanjutnya berbaur dengan kebudayaan yang datang ke Nusantara berikutnya, seperti kebudayaan Dongson, Hindu-Buddha, serta Islam dan Katolik. Tapi kepercayaan kepada leluhur dan ritualnya tak pernah hilang. "Kepercayaan terhadap leluhur terus berlangsung sampai zaman kini," ucapnya.
Akhirnya ditetapkan ada 141 artefak yang dibawa ke Bozar. "Sebanyak 112 koleksi Museum Nasional dan 29 koleksi dari berbagai museum daerah," tutur Desrika Retno Widyastuti, anggota staf Museum Nasional bagian koleksi. Sampai pertengahan 2016 itu, masih belum ada rencana pameran selain di Bozar. Tapi kemudian Kementerian Kebudayaan menginginkan pameran yang menonjolkan khazanah maritim Nusantara. Pihak Museum Nasional lalu menghubungi Museum La Boverie di Kota Liege, yang juga biasa menjadi tempat penyelenggaraan Europalia. "September 2016, tim Museum Nasional berangkat ke Belgia melihat lokasi La Boverie. Perjanjian ditandatangani di La Boverie. Ini kerja sama museum to museum," ujar Dedah Rufaedah Sri Handari, anggota staf Museum Nasional dari bagian kemitraan.
Museum Nasional lalu membentuk tim ahli para pakar maritim khusus untuk pameran di La Boverie. Di antaranya sejarawan maritim Profesor Singgih Tri Sulistyono, Profesor Gusti Asnan, dan arkeolog Bambang Budi Utomo. La Boverie sendiri juga membentuk tim ahli: Pierre Yves Manguin, Catherin Noppe, dan Alexis Sonnete. Mulailah kemudian intensif pemilihan materi. Pihak La Boverie menginginkan ada obyek pameran yang besar-besar lantaran mereka memiliki ruang pamer baru yang sangat luas.
Museum Nasional mulanya menetapkan sekitar 160 koleksi untuk mengisi La Boverie. "Tapi pihak La Boverie masih menginginkan tambahan koleksi agar ruang bisa terisi. Kami kan tidak bisa mengosongkan pameran reguler Museum Nasional. Kami kemudian negosiasi," ucap Dyah Sulistyani, anggota staf Museum Nasional bagian registrasi koleksi. "Kemudian ada ide dari Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid kenapa kita tidak menampilkan perahu tradisional Indonesia," kata Desrika. Tim ahli Indonesia selanjutnya mengusulkan agar dibuat perahu padewakang, perahu asli Makassar sebelum pinisi. Akhirnya ditetapkan 241 koleksi museum nasional dan 7 koleksi museum daerah diboyong ke La Boverie.
"Awalnya kita ingin memamerkan dua perahu. Satu diletakkan di museum, satu lagi ditaruh di sungai agar bisa dicoba pengunjung," ujar Ni Luh Putu Candra Dewi. Untuk menuju museum dari Stasiun Liege, kita memang harus melewati jembatan yang di bawahnya mengalir Meuse River-sungai besar yang membelah Kota Liege. "Kita berencana membawa perahu sandeq dari Mandar yang bisa digunakan di sungai. Tapi batal karena mempertimbangkan musim dingin."
HARUS diakui, baik untuk Bozar maupun La Boverie, pemilihan berlangsung alot. "Tim artistik dari Belgia kadang-kadang menginginkan koleksi yang dari sisi kami tidak memungkinkan," kata Desrika Retno Widyastuti. Misalnya ketika tim Europalia Belgia ikut berkunjung ke Sumatera Utara. Mereka tertarik pada batu megalitik berbentuk seperti orang naik kuda. Mereka meminta itu ikut dipamerkan. Namun pihak Museum Nasional melihat batu tersebut retak-retak. "Tetap dikirim ke Jakarta. Tapi, sampai Jakarta, kami amati lagi patahan-patahannya. Amat berisiko, maka kami putuskan tidak diberangkatkan," ujar Desrika.
Tatkala ke Waruga, Minahasa, Sulawesi Utara, mereka juga menginginkan kubur batu. Tentu akan eksotik sekali apabila kubur batu itu dihadirkan di Brussels. "Namun itu tak mungkin. Karena berat sekali dan tingginya 2,1 meter," kata Ni Luh Putu Candra Dewi. Juga saat mereka menyaksikan arca megalitik Watu Gajah di Museum Balaputra Dewa, Palembang. Jelas susah diangkut ke Brussels karena arca megalitik asal Pasemah itu beratnya 3 ton lebih. Sebaliknya, ada yang bisa dibawa, tapi urung. "Misalnya ketika di Ambon mereka melihat ada patung-patung kecil seperti jimat. Tapi ternyata itu hanya replika. Kami mendapat informasi dari seorang antropolog yang mengajar di Universitas Pattimura. Maka akhirnya kami batalkan," ujar Siswanto, Kepala Museum Nasional.
Beberapa pengiriman dari daerah ke Jakarta pun sudah memiliki kesulitan tersendiri. "Pengiriman dari Palembang, misalnya, hanya bisa dengan pesawat kecil Boeing 737. Jadi patung megalitik 1 ton melalui jalan darat," ucap Gunawan, yang mengurusi masalah pengiriman. Menurut dia, ada beberapa benda yang memerlukan ritual tertentu saat pengangkatan. Misalnya sarkofagus yang terdapat di Balai Pelestarian Cagar Budaya, Gianyar, Bali. "Sesuai dengan tradisi Bali, diperlukan hari baik agar bisa diangkat ke Jakarta, terus ke Brussels," tuturnya.
Koleksi terpilih yang sudah berada di Museum Nasional pun tidak bisa sekali angkat. "Arca Harihara dan Tribhuwana Tunggadewi, misalnya, perlu waktu dua minggu. Dilepaskan dulu dudukan semennya," kata Ita Yulita. Museum Nasional sangat ketat melihat kondisi barang-barang yang akan dikirim. "Beberapa artefak direstorasi di laboratorium kami dulu," ujar Dyah Sulistyani, anggota staf Museum Nasional bagian registrasi koleksi.
Prasasti Lobu Tua, misalnya, direstorasi agar tulisannya yang kabur bisa muncul. Adapun koleksi patung kayu Nyi Roro Kidul menunggang kuda bersayap, yang akan dibawa ke La Boverie, sayapnya lepas serta tubuhnya rapuh dan keropos. "Itu harus kami tambal dulu. Kain Nyi Roro Kidul yang jamuran juga kami ganti," kata Dian Novita Lestari dari bagian restorasi. Tim juga mempersiapkan agar barang-barang bisa dibawa dalam perjalanan jauh. "Barang-barang ringkih seperti patung-patung kayu paling rentan," ucap Dra Ekowati Sundari, arkeolog yang juga anggota staf Museum Nasional. Perahu arwah tradisi Batak kuno, misalnya, memiliki aksesori bulu-bulu yang bisa rontok.
Bila ditotal, nilai keseluruhan koleksi itu sangat tinggi. Maka hal yang sulit adalah saat menentukan asuransi. Museum Nasional menggunakan perusahaan Lloyd dari Inggris untuk menakar asuransi. "Standar aturan perhitungan barang koleksi belum ada yang baku. Kami menetapkan nilai asuransi berdasarkan kelangkaan, usia, orisinalitas, dan memiliki sejarah tertentu," kata Ni Luh Putu Candra Dewi. Koleksi yang sering dipamerkan di luar negeri, seperti Prajnaparamita, tentu nilainya lebih tinggi dibanding karya yang belum pernah dipamerkan. "Asuransi ada dua, asuransi koleksi dan asuransi perjalanan. Total asuransi kira-kira Rp 1,8 triliun."
Dan tibalah saat pemberangkatan. Pesawat Singapore Airlines Boeing 787 seri 800 itu hanya berisi dua pilot dan tiga penumpang dari Museum Nasional dan Galeri Nasional. Selebihnya pesawat dipenuhi arca dan benda purbakala Nusantara, yang keseluruhan bobotnya 110 ton. Termasuk patung yang tingginya lebih dari 4 meter. Patung setinggi itu tentu tidak bisa masuk pesawat biasa.
Untuk pengiriman ke Brussels, Museum Nasional, dengan bimbingan Bea-Cukai dan Kejaksaan, bekerja sama dengan perusahaan pengiriman internasional DB Schenker. Awalnya ada 10 kandidat perusahaan multinasional jasa pengiriman. Termasuk DHK, Panalpina, dan Garuda. "Yang terpilih DB Schenker. Garuda tidak memiliki pesawat kargo yang bisa membawa tonase besar dan tidak punya penerbangan langsung ke Brussels," kata Gunawan.
Pengepakan dilakukan di Museum Nasional. Semua ukuran barang didata. Dari koin yang kecil sampai Ganesha raksasa ditimbang. "Bahkan untuk beberapa barang diperlukan lolos sertifikat Kementerian Kehutanan. Misalnya koleksi keris-keris berhulu gading gajah. Itu harus lolos sertifikat internasional yang menyatakan bahwa gading tersebut bukan barang curian," ucap Gunawan.
Semua kayu pengepakan harus difumigasi. "Kalau tidak difumigasi, tidak akan lolos imigrasi," kata Drs Widodo, kolega Gunawan. Menurut Widodo, pengepakan untuk perjalanan jauh tidak sembarangan. "Jangan sampai, ketika pesawat terkena turbulensi, prasasti tergesek-gesek. Tulisan bisa hilang," ucapnya. Kotak arca dan batu megalitik di pesawat harus berdiri, tidak bisa ditidurkan.
Begitu banyaknya barang dari Museum Nasional dibawa ke Bandar Udara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, hingga diperlukan 15 truk konvoi. Ada koleksi yang bahkan untuk keluar lewat pintu kaca Gedung B Museum Nasional saja sulit. "Saya merinding saat pelepasan arca-arca itu. Begitu forklift bisa memasukkan kotak ke truk, kami sampai berpelukan. Menangis," kata Ita Yulita, anggota staf Museum Nasional.
Begitu tiba di Brussels dan truk dibuka, memang ada beberapa barang yang sedikit boyak. Miniatur rumah adat Toraja, misalnya, atap ijuknya lepas. "Itu langsung kami restorasi di Brussels. Tak jadi masalah," kata Gunawan. Setelah itu, dilakukan pengecekan iklim. Kondisi iklim di Brussels sangat berbeda dengan di Indonesia, yang kelembapannya tinggi. Benda-benda perlu penyesuaian. "Kami berdiskusi. Akhirnya barang-barang disimpan di vitrin atau lemari kaca pajangan dan kita pasangi bahan kelembapan udara yang tingkat humidity-nya 40 persen RH. Biasanya humidity kami di 80 persen," ujar Nusi Lisabilla Estudiantin, yang bertanggung jawab di bagian penginstalan.
Semua barang kiriman dari Indonesia itu awalnya diletakkan di ruang karantina Bozar. Dipisahkan antara yang hendak dipasang di Bozar dan di La Boverie. Yang menarik adalah ketika ada materi yang bagus, sempat terjadi "perebutan" antara pihak Bozar dan La Boverie. Terutama saat dua nekara perunggu koleksi Museum Nasional dari Pulau Sangeang, Nusa Tenggara Barat, terlihat. Di Museum Nasional, tiap nekara itu diberi nomor 3364 dan 3365. Yang nomor 3364, meski agak bolong, memiliki hiasan patung kodok kecil di kulit timpaniumnya. Bozar, yang lebih dulu menyeleksi, memilih nekara nomor 3365 untuk dipamerkan. Maka nekara bernomor 3364 diambil La Boverie. "Tapi, sampai di sana, pihak Bozar minta tukeran. Mereka minta yang nomor 3364. Pihak La Boverie tidak mau," kata Desrika Retno Widyastuti.
Untuk desain pemasangan, yang menentukan artistiknya adalah tim Belgia. Mereka meletakkan arca di atas landasan konstruksi besi yang dipasangi gedek sehingga mirip kaki-kaki panggung bilik bambu. Sesuai dengan tema ancestor, pencahayaannya remang-remang. Mereka ingin menonjolkan shadow agar muncul suasana kuat dari arca-arca.
"Yang agak sulit adalah menginstal batu megalitik berbentuk ibu menggendong anak dan sarkofagus. Memakan waktu tiga hari," ujar Nusi. Saat Pustaka Laklak-naskah kuno dari Karo yang ditulis di lembaran kayu ulin di lemari kaca-ditempatkan, misalnya, terjadi adu argumentasi. "Mereka posisinya mau didirikan. Tapi kami melihat buku itu rapuh. Kami ngotot posisi tidur saja. Kami merasa lebih tahu kondisi karena koleksi kami," kata Ni Luh Putu Candra Dewi.
DAN hasil kerja keras Museum Nasional cukup memuaskan. Di Bozar, dari bagian depan, kita melihat batu megalitik ibu dan anak seolah-olah masih memiliki daya mistis tertentu. Sedangkan di La Boverie, Liege, tak jauh dari Ganesha, kita melihat arca perunggu Buddha Dipankara-yang ditemukan di Desa Sikendeng, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat. Ini salah satu patung Buddha tertua di Nusantara karena diperkirakan berasal dari abad V Masehi. Buddha Dipankara adalah Buddha masa silam yang dianggap sebagai pelindung pelaut dan nelayan dari keganasan samudra. Di bagian mitologi laut, patung kayu Nyi Roro Kidul menaiki makhluk bermoncong naga bertubuh kuda, yang didudukkan di atas kotak bermotif genderuwo, tampak gagah dan sehat. Makhluk itu mengangkat kaki kirinya. Sayapnya mengembang magis.
"Museum La Boverie sampai membiayai lima orang dari Museum Nasional selama sebulan untuk persiapan pameran," kata Budiman, anggota staf Museum Nasional. Sementara itu, di Bozar, tim Museum Nasional memberi masukan saat tim Belgia menempatkan artefak. "Mulanya arca Prajnaparamita tidak ada dudukannya sehingga kurang tinggi. Padahal matanya harus ketemu dengan mata pengunjung. Kalau pengunjung melihat sambil menunduk tidak menarik," ujar Desrika Retno Widyastuti.
Di La Boverie, selain tim Museum Nasional, hadir rombongan tim Padewakang dari Sulawesi. Mereka mengkonstruksi perahu padewakang selama sekitar dua minggu. Juga hadir tim perupa Tita Rubi, seniman kontemporer yang membuat instalasi perahu Banten. Di atas perahu itu, berdiri patung-patung berjubah emas. Tita membuat karya yang mengkritik kolonialisme Eropa, yang mampu membangun kapitalisme dari merampok rempah-rempah Nusantara.
Di Bozar, pameran juga berdampingan dengan pameran seni rupa kontemporer "Power & Other Things (Indonesia Art 1835-Now)" yang dikuratori Riksa Afiaty dan Charles Eche. Pameran diawali dari karya Raden Saleh, lalu sketsa-sketsa Sudjojono tentang penyerangan Sultan Agung di Batavia. Memasuki ruangan "Power & Other Things" setelah menonton "Ancestors and Rituals", terasa ada benang merah halus. Selanjutnya. karya-karya di "Power & Other Things" menyuarakan kritik sosial. Agung Kurniawan, misalnya, menembakkan video ibu-ibu yang pernah disekap di kamp Plantungan, Ambarawa, Jawa Tengah, pada zaman 1965, di baju-baju tahanan. Ada pula Antariksa, yang risetnya tentang kegiatan seni di zaman pendudukan Jepang luar biasa; serta Octora, yang menggunakan potret-potret perempuan Bali era 1910-1930 untuk membaca persepsi kolonialisme. Adapun Tom Nicholson, dari risetnya terhadap para pengungsi Timur Tengah di Cisarua, Bogor, Jawa Barat, membuat sebuah meja diorama sangat panjang. Pada diorama tersebut, ada puluhan patung kecil yang menampilkan berbagai ekspresi pencari suaka di Australia, yang beberapa di antaranya lahir di Indonesia.
Sampai selesai pada Januari 2018, pihak Museum Nasional akan secara reguler mengirim tim monitoring ke dua pameran itu. "Tim ini untuk mengecek apakah ada barang yang miring, cahayanya kurang pas, dan sebagainya," kata Sri Suharni, anggota tim monitoring. Saat ia ke Bozar tiga minggu lalu, misalnya, pihaknya meminta ada tambahan lampu ditembakkan ke lantai agar tidak terlalu gelap. Pekerjaan belum selesai. Setelah Januari nanti, Ganesha, Manjusri, Prajnaparamita, sigale-gale, tau-tau, Dipankara, dan kawan-kawan akan pamit pulang dari "tugas negara" di Eropa. Tentu ini butuh kontrol lagi. "Pengembalian koleksi ke Indonesia semoga lancar," ujar Ita Yulita.
Seno Joko Suyono (brussels-liege)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo