Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERNAHKAH Anda menonton film dokumenter hitam-putih Misere au Borinage karya sutradara Henri Storck? Henri Storck-bapak film Belgia-memproduksi film tersebut pada 1933. Dalam jagat film sosial, film itu dianggap sebagai film "kiri" yang mampu menyadarkan kekuatan mogok kaum buruh.
Film itu merekam pemogokan massal buruh batu bara di tambang dekat Kota Mons, Borinage, Belgia, pada Juni 1932. Tambang batu bara Mons saat itu merupakan tambang terbesar di Belgia. Produksinya diekspor sampai ke Prancis. Kamera menyorot stok batu bara menggunung. Namun kamera juga menampilkan potret kemelaratan dan kelaparan buruh. Demo dipicu dua orang pekerja yang mati kehabisan oksigen di dalam lorong bawah tanah.
Film itu dibuat Storck bersama sineas Belanda, Joris Ivens, aktivis sosialis yang mendukung gerakan antifasis. Ivens pun kelak dikenal mendukung kemerdekaan Indonesia. Pada 1946, di Australia, ia membuat film dokumentasi berjudul Indonesia Calling. Ia merekam bagaimana serikat pekerja pelaut dan buruh pelabuhan Sydney bersatu menolak melayani armada kapal Belanda yang tengah menuju Indonesia. Armada yang dikenal dengan nama Armada Hitam itu membawa senjata dan amunisi menyuplai tentara Belanda merebut kembali kemerdekaan Indonesia.
Duet Storck dan Ivens merekam suasana kota pertambangan di Belgia itu. Jalur kereta lori-lori batu bara tampak bercabang-cabang. Batu bara juga diangkut lewat peti-peti gantung. Storck dan Ivens secara sembunyi-sembunyi mengambil gambar. Termasuk saat polisi merepresi kerusuhan. Storck merekam rapat-rapat buruh pasca-kerusuhan. Juga saat para buruh pada 1933 berdemonstrasi keliling kota memperingati 50 tahun kematian Karl Marx. Sebermula Storck dan Ivens ingin meminta dramawan Jerman, Bertold Brecht, membuat teks prolog bagi film mereka, tapi urung lantaran minim bujet.
Kini bekas tambang itu menjadi sebuah kota mungil yang terlihat tenang. Tambang batu bara telah lama ditutup. Kalau Anda memasuki Grand-Hornu, bekas kompleks utama pertambangan, suasana deretan barak buruh dan gudang batu bata masih terasa. Kawasan Grand-Hornu sejak 1971 dibeli arsitek Henri Guchez dan mengalami renovasi. Pada 2002 dialihfungsikan menjadi Museum of Contemporary Arts (Mac’s) Hornu. Kemudian, pada 2012, Grand-Hornu terpilih menjadi salah satu situs warisan Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).
Sisi luar Museum Grand-Hornu mirip benteng. Cerobong asap masih dipertahankan. Kuburan Henri Degorge, pengusaha pemilik bekas tambang, berada di halaman belakang. "Terowongan batu bara yang dalamnya puluhan meter berada di dekat kuburan itu," ucap resepsionis museum. Di salah satu ruangan galeri-yang mungkin dulu menjadi tempat bekerja buruh-seniman Yogyakarta, Jompet Kuswidananto, menghadirkan karya On Paradise.
Begitu masuk, kita langsung bisa melihat sebidang lantai penuh serakan tumpukan lampu gantung antik Eropa. Lampu-lampu kristal (chandelier) yang tampak klasik dan aristokratik itu pecah dan saling tumpuk. Tapi semua tetap menyala. Ada juga yang masih menggantung. Di dinding kanan, terdapat video yang menampilkan semburan-semburan lumpur disertai nyanyian lirih ngelanggut. "Amerika dan Israel musuh. Mataku terpejam, terluka." Nyanyian itu mengatakan mati syahid akan bahagia di alam jannah. Kita menerka-nerka apa hubungannya antara reruntuhan lampu kristal dan harapan tentang surga itu.
Relasi tersebut baru muncul saat kita membuka-buka dua "buku tua bergambar" yang sampulnya berjudul Sunda Straits Miracles 1850-1888. Buku itu ditaruh di atas meja kecil. Kertas buku itu merupakan hasil daur ulang. Seolah-olah kitab perkamen kuno, untuk membolak-balik halamannya, kita diharuskan mengenakan sarung tangan.
Halaman buku itu menampilkan gambar-gambar sablon hitam mengenai tanda-tanda ketuhanan di sekitar Banten-Cilegon pada abad XIX. Gambar menara masjid roboh sendiri, ratusan burung aneh mengerumuni beringin besar di Banten, nisan kuburan terbakar, tulisan anonim berdarah di pintu rumah penduduk, dan Krakatau menyemburkan api. Halaman buku itu juga meramalkan kedatangan seorang kudus yang akan memimpin perlawanan terhadap penjajah.
Menyaksikan tema gambar-gambar ini segera mengingatkan kita pada disertasi Sartono Kartodirejo tentang pemberontakan petani Banten di akhir abad XIX. Dipimpin para ulama di sana, muncul gerakan ratu adil melawan kolonial. Di halaman buku, ada gambar rumah seorang Belanda dengan lampu-lampu kristal jatuh. Mengertilah kita bahwa instalasi kristal berserakan memetaforakan rumah-rumah orang Belanda yang hancur runtuh akibat serbuan massa.
Di buku itu, ada juga gambar lelaki berkuda beserta tulisan the great grandson’s war 2002. Lalu gambar Sari Club, Bali, dan sebuah sajak mengenai keindahan seorang martir. Segera, meskipun tanpa diinformasikan Jompet, kita meraba itu berkenaan dengan Imam Samudra, pengebom Bali yang berasal Serang.
Karya Jompet terasa tidak mentah. Antara video, instalasi, dan buku semula tampak berdiri sendiri-sendiri. Tapi, begitu kunci ditemukan, makna mengikat satu sama lain. Terasa konteks sosial yang kuat. Apalagi dipamerkan di sebuah situs yang dalam sejarahnya pernah terjadi pemogokan.
SENTRUM utama pameran seni rupa Europalia Indonesia adalah di Bozar: "Power and Other Things". Sebagaimana karya Jompet, karya di sana rata-rata bertolak dari riset. Tapi yang membedakan seniman satu dengan yang lain adalah kemampuan menciptakan kreasi dari data yang diperoleh. Di Bozar, peneliti seni Antariksa menyajikan risetnya atas masa pendudukan Jepang. Ternyata, di zaman represif Jepang, banyak seniman kita muncul. Daftar panjang seniman tersebut dipajang di dinding. Karya ini menarik. Tapi kekuatan karya ini bukan pada aspek seni rupanya, melainkan informasi arsip.
Selain di Bozar dan Grand-Hornu, pameran seni rupa Europalia Indonesia digelar di Kota Antwerp. Komunitas Life Patch berpameran di Museum of Contemporary Art (M. Hika) Antwerp dan arsitek Eko Prawoto di Museum aan de Stroom Antwerp. Kelompok Life Patch mengangkat tema "Sisingamangaraja XII". Adalah mengejutkan bahwa Kota Antwerp ternyata memiliki beberapa peninggalan Sisingamangaraja XII, seperti pedang.
Pedang itu koleksi perwira Belanda, Kapten Hans Christoffel. Christoffel-lah yang menginstruksikan pasukan Marsose memburu dan membunuh Sisingamangaraja XII. Setelah bertugas di Sumatera, ia pulang ke Belanda menikah dengan Adolphina van Rijswijck dan kemudian tinggal di Antwerp. Koleksi benda dari hasil jarahannya selama bertugas di Indonesia didonasikan ke Museum Etnografi Antwerp. Life Patch melakukan riset terhadap koleksi yang sekarang disimpan di Museum aan de Stroom Antwerp .
Tapi, yang jadi soal, koleksi itu "kurang diapa-apakan". Hanya tersaji barang-barang atau replika, foto-foto, surat-surat, telegram-telegram, dan peta-peta Hans Christoffel. Pameran ini lebih kuat sebagai pameran arsip. Padahal materinya sangat menarik digarap sebagai karya. Misalnya kisah Boru Lapian Sinambela, putri kesayangan Sisingamangaraja, yang ikut perang dan tewas.
Akan halnya Eko Prawoto berniat membuat Bale Kambang atau taman mengapung. Letak Museum aan de Stroom memang di pelabuhan. Kapal-kapal tertambat di situ. Ia membawa ribuan bambu dari Yogya. "Saya ingin membuat konstruksi ruang bambu mengapung di air, tempat orang bisa duduk-duduk, menikmati pementasan," tuturnya.
Tapi, masalahnya, ternyata itu tidak diizinkan Otoritas Pelabuhan Antwerp. "Mereka mempertimbangkan keamanan. Mereka tidak yakin konstruksi bambu kuat," ujar Eko. Dia menepis anggapan bahwa bambu yang dibawanya kurang panjang. "Panjang bambu 10 meter. Kedalaman air sekitar 6 meter," ucapnya. Tapi ia mengakui memang susah menghunjamkan bambu ke dasar laut.
"Sudah menggunakan crane, tapi kerap susah ditembuskan ke dasar. Saya usul memakai pemberat, tapi tidak diperbolehkan," katanya. Itulah sebabnya, konstruksinya kemudian dibuat sebagian di darat sebagian di laut. "Secara teknis, waktu pemasangan juga tidak cukup. Saya minta sebulan, tapi hanya dikasih 10 hari," katanya. Walhasil, konsep karyanya berubah. "Bukan Bale Kambang, tapi menjadi obyek saja."
Sementara itu, Di Cultuurcentrum Stoomberg, Brussels, fotografer Elizabeth Ida Mulyani menyajikan karya Saksi Bisu (Silent Witness). Di lantai ground yang digelapkan, dia menampilkan dua video suasana sebuah gua. "Itu Gua Grubug, Gunungkidul. Di sini pernah terjadi pembunuhan terhadap lebih dari 1.000 orang PKI (Partai Komunis Indonesia). Mata mereka ditutup, lalu disuruh berjalan dan berjatuhan sendiri. Saya turun ke gua itu bersama pencinta alam," ujar Ida. Yang jadi soal, tidak ada keterangan apa pun untuk karyanya. Penonton yang tak mengerti situasi 1965 hanya menyaksikan video air mengalir dan batu-batuan. "Pameran ini sedianya selesai pada November, tapi diperpanjang sampai Januari," kata Ida.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo