Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NOMOR pertunjukan pertama yang diberi judul Jangan Mati Sebelum Dia Tiba berlangsung dalam sebuah lorong sempit di Gedung Societeit. Bangunan peninggalan Belanda ini merupakan salah satu situs post-kolonial Kota Makassar. Tua, tidak terawat, dan memori waktu yang tercekik oleh perubahan kota. Lorong dengan ketinggian khas sebuah arsitektur yang memberi sirkulasi untuk jalannya udara, sebelum munculnya teknologi pengubah suhu udara dalam ruangan (sebelum AC).
Shinta Febriany, sutradara Kala Teater dalam pertunjukan ini, menyebut pertunjukannya sebagai proyek "kota dalam teater". Pertunjukan tersebut berlangsung di Gedung Kesenian Societeit De Harmonie, Makassar, 26-28 Desember 2017. Artistik digarap Iqbal Naspa, Ale Deep, dan Anggi Purnamasari. Tali gantungan berjejer di atas lorong itu, memunculkan kesan sebuah ruangan eksekusi massal. Sebuah lampu merah menyorot di ujung lorong, seolah-olah sebuah tatapan kekuasaan yang sedang menginterogasi penonton.
Pada nomor pertunjukan pertama itu, lima aktor (Meftahuddin Palannari, Nirwana Aprianty, Wiwin D., Nurhidayah, dan Arwan Irawan) mengenakan kostum hitam dengan desain berbeda. Mereka masuk dan berdiri menatap lampu merah, mengambil alih tatapan kekuasaan itu menjadi sebuah ruang baru tentang kematian melalui bunuh diri.
Kerja koreografi dimulai dengan gerak-gerak sederhana, seperti menghafal alfabet dalam tubuh. Masih berada dalam garis-garis lorong gedung yang membekap. Kemudian gerak tubuh mereka tumbuh lebih kompleks: gerak anatomi tubuh mengarah kepada gerakan yang menampilkan modus bunuh diri. Mereka melangkah maju ke depan dan ke belakang, melontarkan kalimat yang membuat teritori batas hidup yang sudah tidak bisa ditanggung oleh seseorang. Dan, akhirnya, adegan bunuh diri. Pertunjukan tumbuh sebagai sebuah fashion bunuh diri.
Dinding sebuah lorong lain di Societeit de Harmonie kanan-kirinya ditutup kain hitam. Sebuah bidang putih dengan pintu tertutup di bagian lorong ini dibiarkan menjadi tatapan penonton. Sementara bagian atas lorong pertunjukan Jangan Mati Sebelum Dia Tiba dipenuhi instalasi tali gantungan, lantai lorong yang menjadi pertunjukan Gila Orang Gila ini dipenuhi pakaian bekas tersusun rapi. Memori tentang tubuh terepresentasi sebagai "jiwa yang lepas" melalui penempatan susunan pakaian bekas di lantai.
Lima aktor masuk dengan kostum tubuh-urban sehari-hari, bergerak seperti sebuah adegan fashion dengan lantai catwalk yang justru dipenuhi oleh susunan pakaian bekas. Mereka menebar berbagai cara menggoda ke penonton. Tatapan genit, mengundang, atau tiba-tiba memutuskan tatapan dengan ketus. Perubahan karakter sedih, gembira, dan romantis sebagai denyut waktu. Sementara itu, tubuh para aktor tersebut kian terimpit oleh pakaian bekas di lantai yang satu per satu mulai dipindahkan ke tubuh mereka.
Penonton bisa mengamati tubuh mereka yang menjadi kacau (disorder) akibat efek-efek sivilisasi kota. Musik yang dalam nomor sebelumnya menggunakan musik digital yang ditata Uki Fathi, kini menggunakan kendang Bugis Makassar dengan tabuhan khas, dimainkan Andi Fadel Anugrah. Dalam nomor ini, penonton dibawa ke irisan latar bipolar antara kultur urban dan kultur lokal.
TEMA bunuh diri ataupun tema orang gila sama-sama provokatif. Tema ini sesungguhnya sudah dramatis sebelum dibawa ke panggung. Kerja penyutradaraan Shinta Febriany dan Kala Teater tampaknya cukup menyadari hal ini. Saat menampilkan dua nomor di atas, tampaknya Shinta berusaha keras untuk mencari celah koreografi yang bisa meredam efek provokatif kedua tema itu.
Pertunjukan ini berangkat dari riset. Shinta dan Kala Teater menggunakan 203 responden dalam riset untuk kedua tema ini, dan satu tema lagi sebagai penutup pertunjukan, Beri Aku Pantai yang Dulu. Shinta agaknya mengukur risiko-risiko verbal dari teater yang berangkat melalui riset. Pertunjukan juga mengkurasi beberapa puisi tentang kota karya Alfian Dippahatang, Faisal Oddang, Ibe Palogai, dan Mariati Afkah. Sajak mereka menjadi bagian dari kerja dramaturgi pertunjukan.
Nomor ketiga berangkat tentang isu reklamasi Pantai Losari di Makassar sebagai bagian dari tata kota yang bermasalah. Nomor ini berlangsung di Teater Arena. Penonton dalam beberapa menit dibiarkan menatap rekaman video tentang matahari tenggelam di Pantai Losari. Sudah ribuan tahun horizon matahari tenggelam itu biasa dihadapi masyarakat Makassar. Horizon ini kini tiba-tiba menghilang oleh sebuah rancangan kota yang tergesa-gesa menguburnya dan sedang berubah menjadi sebuah rangkaian kondominium.
"Kita terlalu melihat hidup dari sisi kita sebagai manusia. Kota menjadi mesin ekonomi yang sombong atas alam. Ekosistem laut rusak. Hak bumi atas karakter laut dengan teluk telah kita hancurkan. Mata kehidupan nelayan telah dirampas. Habitat mikro biologi di laut dan ikan-ikan telah kita rusak."
Begitu kira-kira bisa disimpulkan suara responden yang bertebaran melalui alat perekam suara, dan menjadi tokoh utama dalam nomor terakhir pertunjukan.
Betulkah bertambah banyaknya orang gila dan peristiwa bunuh diri dalam konteks Makassar akibat keinginan mengubah teluk menjadi kondominium? Pertanyaan ini membawa kerja performatif Shinta Febriany sebagai sebuah teater esai yang subversif atas performance ruang kota yang bekerja melalui arsitektur kekerasan.
Afrizal Malna, Pengamat Teater
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo