Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MUSEUM yang menjadi tempat pameran komik Indonesia di Brussels, Belgia, adalah museum yang berselera unik. Namanya Bibliotheca Wittockiana. Lokasinya di 23 rue de Bemelstraat, Brussels. Museum ini didirikan oleh pencinta buku tua bernama Michel Wittock. Bagaimana tidak? Di era buku digital ini, ia malah mengkhususkan museumnya menjadi museum book binding.
Di bagian depan perpustakaan, dia memiliki koleksi buku kuno tebal yang umurnya ada yang sekitar 500 tahun. Dari yang paling penting, ia memiliki edisi asli Ensiklopedi susunan filsuf Prancis, Diderot (1713-1784).
Di ruang belakang museum, dia mengumpulkan peralatan tua manual untuk memotong kertas dan mengepres buku. "Ini dari abad XIX," kata Patrice Godin, dari bagian komunikasi museum, menunjuk sebuah alat pres jadul dari besi hitam. Sore itu, ia mengantar berkeliling. "Di sini rutin diadakan workshop book binding," ujarnya.
Pameran komik Indonesia bertema "Equatorial Imagination". Kurator Hikmat Darmawan membawa berbagai contoh komik dari zaman Kho Wan Gie, Abdus Salam, Taguan Hardjo, Jan Mintaraga, sampai generasi 1990-an, seperti Athonk dan Daging Tumbuh. Beberapa original artwok disajikan. Penataan ekshibisi lumayan apik. Beberapa sampul dan adegan komik diperbesar, juga digantung-gantung. "Saya juga bawa komik langka Hardjo Tani Robinhood Indonesia karya Moh. Radjien, yang dibuat pada 1958," kata Hikmat.
Memamerkan komik Indonesia di Belgia seperti memasuki sarang macan. Belgia adalah negeri komikus. Hampir setiap toko buku di Brussels menjual aneka komik. Brussels, misalnya, memiliki Museum Komik Belgia (The Belgian Comic Strip Center). Di situ, kita bisa belajar mengenai sejarah komik-komik Belgia dan komikusnya. Dari Smurf sampai Lucky Luke. Dari kartunis Peyo sampai penulis komik Zidrou (Benoit Droise). Apalagi kalau kita ke Kota Louvain La Neveu mengunjungi Museum Tintin. Dokumentasi video Herge sampai miniatur kapal selam buatan Profesor Calculus di Rahasia Kapal Unicorn dipajang.
Menurut Hikmat, para pengunjung Eropa rata-rata tak memiliki bayangan tentang komik Indonesia. "Mereka kaget menyaksikan komik Indonesia memiliki sejarah yang panjang. Cerita silat bisa berjilid-jilid. Juga cerita wayang. Kalau zaman sekarang ini namanya novel grafis." Pameran sempat dikunjungi peneliti komik terkenal dari London, Inggris, Paul Gravett. Dia penulis buku luks Mangasia, The Definitive Guide to Asian Comics. Di dalam bukunya itu, ada sedikit bagian tentang komik Indonesia. Sampul komik Wayang Purwa karya Adi Soma, misalnya, dimuat. "Saya yang mengirimi Paul Gravett materi bahan komik Indonesia. Tapi belum pernah ketemu. Baru saat dia datang ke pameran di Brussels ini ketemu," ujar Hikmat. Para pengunjung bahkan ada yang suka melihat umbul seri wayang. "Saya jelaskan umbul itu untuk dimainkan anak-anak."
Di samping Bibliotheca Wittockiana, pameran komik Indonesia diadakan di Cultuurcentrum Strombeek dan Muntpunt, perpustakaan umum Brussels. Di Strombeek, Yudha Sandhy membuat mural di depan bar kafe. Gambarnya dibuat dari guntingan kertas yang saat ditempel memiliki efek seperti karya cukilan kayu. Ia menampilkan adegan dari bukunya, Atom Jardin. Kisah chaos seorang anak muda pascareformasi yang mendapat Kosasih Award 2015.
Akan halnya komikus Prihatmoko Moki menggarap kaca lantai bawah perpustakaan Muntpunt. Di atas kaca itu, ia membuat gambar-gambar dengan judul Soldier Loose without King. Ini tentang para prajurit keraton yang mengembara setelah kehilangan raja. Kita melihat siluet sosok-sosok memakai blangkon, udheng, dan songkok panjang sultan sepanjang kaca lantai bawah sebelah kiri.
Tapi secara umum gambaran komik Indonesia ada di Wittockiana. "Sejarah komik kita saya hidangkan secara periodisasi," ucap Hikmat. Ada empat periodisasi menurut Hikmat, yaitu pionir (1929-1952), komikus awal (1953-1966), generasi kedua (1967-1980-an), generasi DIY (do-it-yourself), dan digital (1993-2017). Di Wittockiana, ia juga membandingkan suasana Jakarta dalam dua komik. Suasana Jakarta zaman Batavia yang digambar komikus Belanda, Peter van Dongen, dan suasana Kota Tua masa kini yang digambar komikus Sheila Rooswita.
Pak Wittock, 81 tahun, tampaknya antusias. Pada pembukaan, ia ikut menikmati nasi tumpeng. Ia bangga berdiri di depan poster besar Sri Asih, komik superhero perempuan karya R.A. Kosasih. Klik.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo