Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertengahan Maret pernah jadi sebuah hari yang menentukan. Orang Inggris menyebutnya "the ides of March". Di hari itu, 44 Sebelum Masehi, Julius Caesar dibunuh sekelompok tokoh politik Romawi; ia ditikam di tangga Senat dan tewas dengan 23 luka.
Shakespeare menulis tragedi Julius Caesar di tahun 1599 (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Muhammad Yamin di tahun 1920-an). Di babak kedua lakon yang termasyhur ini tampak adegan di kamar istana, tatkala malam berderak-derak oleh petir. Caesar, penguasa Roma itu, dalam baju tidur, mendengarkan ketakutan istrinya, Calpurnia.
Perempuan itu bermimpi tentang patung suaminya yang memancurkan darah. Orang-orang Roma yang perkasa datang mencuci tangan mereka ke sana, sambil tersenyum.
Calpurnia biasanya tak percaya kepada mimpi, tapi kali ini ia takut. Sebab ia juga mendengar orang istana melihat tanda-tanda: seekor singa betina melahirkan di jalan-jalan, kuburan memuntahkan mayat, kesatria-kesatria berperang sengit di angkasa, dan darah mengucur bagaikan hujan di atas Gedung Kapitol. "Bising pertempuran menggemparkan udara, kuda-kuda meringkik, orang sekarat mengaduh, dan jin-jin memekik…."
Ia minta agar suaminya jangan ke luar rumah. Caesar mengabaikannya.
"Pengecut mati berkali-kali sebelum napas penghabisan, pemberani mati hanya satu kali," katanya.
Pemberanikah dia hingga tak mengacuhkan isyarat gelap dari yang gaib? Bukan. Caesar tetap membuka kuping untuk peramal dan perantara dewa-dewa. Ia menyuruh pelayan mengadakan persembahan dan menunggu apa pesan dari langit. Ia bukannya tak percaya kepada mimpi dan pesan itu, tapi tafsirnya berbeda.
Ia lebih memilih tafsir yang dikemukakan Decius, yang sebenarnya menjebaknya: patung yang memancurkan darah yang ditampung orang-orang Roma itu menandai bahwa mereka mendapatkan sumber hidup dari Caesar; mereka datang menunjukkan takzim.
Mudah membayangkan Caesar, panglima perang dan penakluk benua, sebagai pemberani. Tapi Shakespeare menggambarkan sosoknya lebih kompleks. Ada fatalisme dalam sikapnya menghadapi Maut. "Bagaimana sesuatu yang telah dewa-dewa rancang akan bisa dihindarkan?" katanya.
Tapi dalam pada itu, Caesar, dengan kata-kata yang berderet, meletakkan diri di atas manusia lain, di atas apa pun, bahkan di atas Bahaya. Ia lahir bersama Bahaya, katanya, tapi ia lebih tua dan lebih mengerikan. Di depan orang yang memohon belas kasihnya ia bandingkan dirinya dengan Bintang Utara di langit: konstan, teguh, bukan seperti ribuan bintang lain. Ia Gunung Olympus yang tak bisa digeser, apalagi tergerak oleh tangis dan sikap yang meminta-minta.
Itu sebabnya, tafsir yang dipilihnya dari mimpi Calpurnia adalah tafsir yang menggelembungkan dirinya. Ia mengabaikan kemungkinan bahwa Decius memberikan tafsir yang salah—bahkan menyesatkan.
Saya tak akan mengatakan Caesar orang yang benar-benar berani. Ia malu kelihatan lemah. "Aku malu menyerah kepada ketakutanmu, Calpurnia," katanya sebelum melangkah ke luar. Keputusannya untuk berangkat ke Senat bukan merupakan perlawanan terhadap bahaya yang menakutkan, sebab ia, seperti sudah disebut tadi, menganggap diri di atas bahaya. "Danger knows full well/That Caesar is more dangerous than he," katanya membusungkan dada.
Bagaimana ia bisa disebut berani bila berani adalah lawan dari ketakutan? Keberanian hanya punya makna jika ketakutan hendak mengalahkannya.
Saya ingat novel Mochtar Lubis yang sangat bagus, Jalan Tak Ada Ujung. Guru Isa hidup penuh ketakutan di hari-hari ketika tentara Belanda menduduki Jakarta dan perlawanan dari bawah tanah anak-anak muda berlanjut. Ia begitu takut hingga ia impoten. Tapi akhirnya, setelah ia ditangkap dan disiksa pasukan pendudukan, guru itu menerima ketakutannya dengan mudah; ia melampaui itu. Ia melampaui keteguhan Hazil, pemuda yang tak kenal takut itu, yang justru tak kuat dipukuli serdadu musuh. Guru Isa bermula dari ketakutan; bukan ketakaburan.
Caesar lain. Benar, akhirnya ia hanya mati satu kali, tapi dengan sikapnya di pucuk kekuasaan itu ia juga hanya hidup satu kali.
Kita ingat adegan di babak ketiga. Para senator berhasil membunuhnya: mereka yang membencinya, yang mendendam kepadanya, dan yang, seperti Brutus, hendak mencegahnya jadi maharaja yang berkuasa mutlak atas Republik. Saat yang tragis di adegan ini ialah ketika ia melihat Brutus termasuk orang yang ikut menghunjamkan pisau. Brutus, orang yang paling tak punya pamrih, bahkan tak punya kebencian, ternyata hendak membinasakannya juga. Caesar pun berseru: "Dan kau juga, Brutus! Maka jatuhlah Caesar!"
Ia jatuh bukan karena tubuhnya tertikam dan kehabisan darah. Ia jatuh karena akhirnya ia tahu ia sendirian; ia tak punya lagi Brutus, tak punya lagi orang lain yang jadi penopang legitimasi.
Kita ingat kata-kata Chairil Anwar untuk Diponegoro di medan perang, "Sekali berarti/Sudah itu mati." Tapi "arti" yang diperoleh Caesar, nilai yang mendorongnya untuk maju, adalah keagungan diri—bukan untuk orang lain. Sebab, bagi Caesar, orang lain hanya ada untuk mengukuhkan keunggulan dirinya dan kekuasaannya.
Itu sebabnya, bila ada keberanian dalam sikapnya di pertengahan Maret 44 SM itu, sikap itu tak punya momen yang patah. Pilihan tindakannya bukan terpaut dengan pengorbanan untuk sesuatu yang lebih luhur ketimbang dirinya sendiri—keberanian untuk memutuskan diri dari keadaan yang terbatas karena terpanggil oleh sesuatu yang tak terbatas, yang mutlak. Keberaniannya bukan keberanian seorang martir yang mati hanya satu kali tapi hidup kembali berkali-kali.
Tragedi Julius Caesar: pada usia 55 tahun, ia mati sendirian.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo