Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia membawa koper menuju stasiun kereta. Ia seorang pemuda yang mengantar perempuan yang dicintainya. Ketika kereta tiba, ia menatap mata sang perempuan. Kesepian merenggutnya. Perempuan itu pergi. Semua sia-sia.
It's hard to tell..., all my love's in vain.
Blues itu dilantunkan dari pinggiran Mississippi, dengan gitar akustik biasa. Rekamannya seperti menangkap suara sang penyanyi dari kejauhan. Seperti menangkap sari-sari kepedihan. Robert Johnson di kala umur 20-an yang menyenandungkan itu. Dan ia meninggal pada usia 27 tahun pada 1938. Seseorang mengatakan ia diracun oleh lelaki pencemburu yang istrinya jatuh hati pada Johnson. November 1936, Johnson sempat merekam lagu-lagunya di Gunter Hotel di San Antonio, Texas, Amerika Serikat. Kelak pada 1961, muncul album kompilasi lagu-lagunya yang diberi judul King of the Delta Blues ÂSingers.
Baik Eric Clapton maupun The Rolling Stones adalah pengagum Johnson. Dengarlah bagaimana Love in Vain disuarakan Johnson. Lalu bandingkan dengan cara Clapton dan Mick Jagger menghayatinya. Ini adalah dua tafsir berbeda. Clapton menyanyikan halus, tenang, dengan kelokan syahdu. Sedangkan Jagger lebih impresif, menyayat.
Dalam otobiografinya, Clapton menyebut Johnson sebagai bluesman yang mampu mengekspresikan tangisan, kesakitan, dan keperihan apa adanya. Secara personal, ia bahkan melihat sifat soliter dirinya juga ada dalam Johnson. "Saya baca di sampul pelat, saat Johnson melakukan rekaman di Santo Antonio, ia memainkan gitarnya dengan senantiasa melihat pojok ruangan. Ia seorang pemalu. Saya segera mengidentifikasikan diri dengannya," tulis Clapton.
Love in Vain dimunculkan Stones pada album Let it Bleed (1969). Melodi utama dibuat gitaris Mick Taylor. Pada Juni 1969, Taylor dipilih Jagger dan gitaris Keith Richards menggantikan Brian Jones, yang mengalami overdosis (sebulan kemudian Jones tewas mengambang di kolam renangnya di Cotchford Farm). Usianya saat itu 27 tahun, seumur kematian Johnson. "Cara baca Mick atas Love in Vain, sentuhan melodinya, emosinya, mengesankan saya," tutur Richards dalam otobiografinya.
Richards menyebut Johnson sebagai peletak dasar blues. Pertama kali ia mendengar lagu Johnson berkat Brian Jones. Richards mengakui Jones adalah tutor yang memperkaya wawasan blues-nya. Jones juga yang mengajari Jagger bermain harmonika. Suatu hari di flat Jones, yang temboknya berjamur, Jones memutar pelat Johnson. "Siapa saja yang bermain bersamanya?" Richards bertanya, mengira lagu itu dibawakan oleh grup karena ia mendengar ada dua gitar dimainkan. "Ternyata Robert Johnson hanya bermain seorang diri. Ia orkestra dalam dirinya sendiri," tulis Richards.
Blues semenjak awal adalah sensibilitas Clapton dan anggota Stones. Clapton dalam otobiografinya mengungkap bagaimana sepanjang kariernya, dari The Yardbirds, John Mayall & The Bluesbreakers, Cream, Blind Faith, sampai karier solo, ia tak bisa dipisahkan dari blues. Pada usia 16 tahun, ia masuk jurusan desain grafis Kingston School of Art. Tapi blues tak menjadikannya seorang perupa.
Semasa sekolah, ia memburu pelat Âblues di lapak-lapak. Ia bergaul dengan para fanatik blues. "Saya mulai mencari-cari orang yang tahu banyak mengenai Muddy Waters dan Howlin' Wolf." Ia berteman dengan seorang kolektor pelat bernama ÂClive Blewchamp. Bersama Blewchamp, ia kerap blusukan di London menyambangi klub blues dan "bunker" piringan hitam, seperti Imhoff's di New Oxford Street dan Dobell's di Shaftesbury Avenue.
Sepanjang hari, jam-jam Clapton dihabiskan untuk mendengarkan piringan hitam dan menirukan permainan para jagoan blues. "Saya tahu saya tak akan bisa menyamai standar blues asli," tulisnya. Ia berusaha mencampur gaya John Lee Hooker, Muddy Waters, dan sebagainya seraya mencari gaya tersendiri. Pada 1963, Clapton bergabung dengan The Yardbirds. Ia menganggap band ini menghormati tradisi blues. Bersama mereka, ia pada mulanya memainkan ulang lagu seperti Good Morning Little School Girl karya Sonny Boy Williamson dan Smokestack Lightning ciptaan Howlin' Wolf.
Ia meninggalkan The Yardbirds setelah mencetak hit For Your Love. Pada April 1965, ia menerima tawaran John Mayall bergabung dengan The Bluesbreakers. Mayall 12 tahun lebih tua darinya. Tatkala grup ini membawakan Ramblin' on My Mind ciptaan Johnson, Mayall meminta Clapton yang menyanyikannya. Mayall sendiri, menurut Clapton, adalah kolektor piringan hitam luar biasa. "Koleksi pelat blues-nya dahsyat, bukan hanya album, melainkan single yang langka." Mayall, menurut Clapton, secara khusus mengorder pelat dari majalah Blues Unlimited.
Tiap hari Clapton belajar kepekaan di "perpustakaan blues" milik Mayall. Di situlah ia mengenal modern Chicago blues. "Modern Chicago blues, dengan penyanyi bergitar elektrik seperti Otish Rush, Buddy Guy, Elmore James, dan sebagainya, menjadi Mekah baru saya," tulisnya. Ia paham, di London, ia tidak sendirian kesengsem blues." Saya tahu di Crawdady Club, Old Station Hotel di Richmond, awalnya Rolling Stones tiap Sabtu hanya main Âblues, tak ada yang lain."
Memburu piringan hitam blues juga dilakukan Keith Richards pada masa-masa pencariannya. Di Cup Art College, tempat ia sekolah, terdapat perpustakaan musik lumayan. Richards ingat ia meminjam pelat Rhythm & Blues Volume 1 dan sebuah lagu karya Buddy Guy, First Time I Met The Blues. Ia mengenang pertama kali bertemu Jagger pada 1961 di stasiun kereta Dartford. "Mick saat itu menenteng dua pelat Rockin' at the Hops-nya Chuck Berry dan The Best of Muddy Waters."
Menurut Richards, ia dan Jagger betul-betul haus blues. Mereka keluyuran di kios-kios piringan hitam. "Kami tak punya uang untuk membeli. Tapi Mick selalu memiliki blues contact." Maksudnya, Jagger selalu punya kenalan yang memperoleh pelat blues terbaru dari Amerika sebelum orang lain punya. Richards dalam biografinya mengingat ia membenci pop, jazz, dan musik ballroom. Hidupnya diisi terus-menerus untuk belajar Jimmy Reed, Muddy Waters, dan Howlin' Wolf. Ia mempersembahkan setiap waktu untuk Âblues. "Mengalokasikan waktu bukan untuk Âblues adalah suatu dosa," kata Richards. Blues bukan hanya musik, melainkan suatu sikap. "Kami ingin menjadi band blues terbaik di London," tulisnya.
Clapton kemudian dijuluki Slowhand, karena kemampuannya memainkan Âblues dengan tenang, jernih, halus, dengan timing yang akurat. Di tembok stasiun Islington, London, seorang penggemar pernah menorehkan grafiti "Clapton is God". Tapi Clapton selalu rendah hati. "Saya tergetar melihat Buddy Guy. Hanya didampingi pemain bas dan drum, energinya sudah luar biasa." Guy menginspirasinya untuk membuat trio Cream bersama Jack Bruce (bas) dan Ginger Baker (drum). Dengan hanya bertiga, Clapton mampu menumpahkan pencarian berbagai kemungkinan suara yang sulit. Dengan Cream, ia juga memainkan ulang lagu Albert King, Born Under The Bad Sign. Tak ketinggalan Croosroad-nya Robert Johnson.
Stones juga selalu kembali ke blues. Setelah serangkaian rock and roll yang ingar-bingar, mereka senantiasa kembali ke blues yang liat. Seolah-olah ingin kembali ke dasar. Dengarlah Little Red Rooster, No Expectations, sampai Prodigal Son. Sering bahkan Stones memberi judul Âblues pada lagu-lagunya: I've Got the Blues, Fancy Man Blues, Cook Cook Blues, dan Ventilator Blues. Saat mengarang lagu, Richards mengaku sering begitu saja masuk ke suasana blues. "Midnight Rambler, misalnya, akor-akornya tidak blues. Tapi sound-nya sangat Chicago blues," tulisnya.
Hengkang dari Cream, Clapton bersama gitaris Steve Winwood, yang baru keluar dari Traffic, membentuk grup Blind Faith. Mereka tampil di Hyde Park, London, pada 7 Juni 1969. Itulah pentas pertama grup band di Hyde Park. Sebanyak 10 ribu orang menonton. Setelah Blind Faith bubar, Clapton sempat mengalami tahun-tahun yang disebutnya lost years. Ia kemudian berkarier solo dan pada 1974 mengeluarkan album 461 Ocean Boulevard, yang terkenal dengan aransemen ulang I Shot the Sheriff, lagu reggae milik Bob Marley. Dan kariernya bertahan sampai kini.
Stones juga demikian. Menurut Richards, selera Jagger pernah menurun, ikut-ikutan menyukai disko dalam album Emotional Rescue. "Padahal kami pernah menciptakan Miss You. Itu adalah lagu disko terbaik." Tapi kemudian mereka kembali lagi ke jalur jiwa blues dan soul.
Blues adalah puing-puing sejarah sosial. Sang Serigala Melolong alias Howlin' Wolf, misalnya, pernah diusir ibunya karena dianggap menjadi pengikut "devil music". Minuman, perempuan, keretakan keluarga, dan kekecewaan selalu membayangi blues. Baik Clapton maupun Stones kerap memainkan lagu blues yang sama. Selain Love in Vain, karya Johnson yang mereka nyanyikan adalah Stop Breaking Down. Clapton dan Richards bahkan pernah bersama-sama menggarap lagu Howlin' Wolf, Spoonful. "Blues itu universal," kata Richards. "Mendengar John Lee Hooker bersenandung, suara tak hanya keluar dari dasar hati, tapi juga usus," ujar Richards.
Clapton sampai kini sering memberi penghormatan kepada para pelopor blues. Ia pernah ke Hotel San Antonio, tempat Johnson melakukan rekaman. Bersama Steve Gadd (drum) dan Billy Preston (organ Hammond), ia memproduksi album Me and Mr Johnson. Pada 2004, Session for Robert J. melakukan rekaman latihan dan penampilan di beberapa tempat dengan lagu-lagu dari album itu diedarkan dalam bentuk DVD. Ia juga menggelar konser untuk Muddy Waters sebelum Waters meninggal. "Muddy menganggap diriku sebagai anak blues-nya."
Bahkan, dengan hanya tiupan harmonika, blues bisa membuat kita tersayat. Jagger dalam sebuah wawancara dengan Rolling Stone pernah diminta menyebutkan 10 lagu blues yang paling ia sukai. Empat teratas: I Got to Go dari Little Walter, First Time I Met the Blues dari Buddy Guy, 40 Days and 40 Nights dari Muddy Waters, dan Stones in My Passway dari Robert Johnson. Dengarkan bagaimana harmonika merintih di mulut Little Walter:
Leavin' in the mornin', baby you know I got to go, you say you don't love me….
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo