Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PECAHAN kaca bening seberat setengah ton menancap di atas hamparan pasir. Benda berkilau hijau itu menyilaukan mata seperti lautan disinari matahari. Lampu-lampu kristal bercahaya bergelantungan di langit-langit. Satu set lampu menerangi permadani di ruangan yang seluruh permukaan lantainya penuh gundukan pasir. Piano berbahan kayu hancur teronggok tertimpa seperangkat lampu kristal. Empat lampu panjang menembus tubuh patung anjing berkepala tengkorak. Suara musik di ruangan itu menyayat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seni instalasi berjudul Love Is a Many Splendored Thing ciptaan perupa Jompet Kuswidananto itu menjadi karya paling menonjol dalam pameran seni kontemporer ArtJog, 8 Juli-31 Agustus 2021, di Jogja National Museum, Yogyakarta. Semula ArtJog hendak memajang karya seni instalasi Jompet Kuswidananto sebagai salah satu karya proyek khusus Artjog pada 23 Juli-30 Agustus 2020. Tapi pandemi Covid-19 membuyarkan rencana itu. Panitia membatalkan Artjog bertema “Time (to) Wonder” dan menggantinya dengan tema “Resilience” dalam situasi krisis karena pagebluk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ArtJog bertema “Waktu untuk Keajaiban” akhirnya digelar secara luring dan daring selama masa pandemi Covid-19. Ada 41 karya seni berupa lukisan dan seni instalasi. Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM darurat di Yogyakarta membuat pengunjung belum bisa datang langsung. Instalasi Jompet tak menjauhi konteks sosial-politik Indonesia, seperti karakter karya dia sebelumnya. Obyek yang dia garap semarak dan masif.
Kali ini dia menyuguhkan semangat romantisme dan politik nostalgia dalam penulisan sejarah. Kilau cerita kemenangan yang membutakan menyisakan sejarah yang belum selesai. “Tentang imaji pertarungan, kekerasan, dan puing-puing yang dimegahkan,” ujar Jompet. Judul karya enam instalasi itu Jompet pinjam dari judul lagu penyanyi Amerika Serikat, Andy Williams. Sebuah lagu yang memberikan penghormatan atau glorifikasi pada cinta sebagai sesuatu yang mulia dan megah. Nostalgia romantisme itulah yang mewakili gagasan instalasinya.
Dongo Dinongo Reactor karya Sirin Farid Stevy dalam pameran ArtJog 2021 di Jogja National Museum, 30 Juli 2021./Tempo/Shinta Maharani
Dia menggunakan pengalamannya bersama cerita perjuangan dan kemenangan yang melahirkan negara. Penghormatan terhadap cerita itu berupa upacara, hymne, lagu-lagu pujian, dan panji-panji perjuangan. Instalasi utama berupa lanskap pantai yang terbuat dari hamparan pecahan kaca dan pasir itu Jompet kerjakan selama lima bulan. Pecahan kaca itu dia dapatkan dari pabrik kaca di Jakarta yang menyumbang limbah.
Sejarah kekerasan politik yang menyisakan luka juga muncul pada instalasi berjudul Dongo Dinongo Reactor karya Sirin Farid Stevy. Sirin berkolaborasi dengan ayahnya, Asto Puaso, menelusuri lokasi makam kakeknya, Sirin, hingga ke Gua Grubug di Kecamatan Semanu, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Gua ini menjadi lokasi eksekusi orang-orang yang dicurigai terlibat dengan Partai Komunis Indonesia.
Sebanyak 65 tangga bambu bertulisan kisah sedih penyintas tragedi 1965 memenuhi ruangan. Sebagian bambu itu memayungi televisi hitam-putih bersama ceret dan gelas. Bambu itu berasal dari keluarga, kerabat, penyintas 1965, dan orang-orang yang peduli pada rekonsiliasi 1965. Farid melengkapinya dengan lukisan, gambar, dan catatan. Ada juga video yang menggambarkan perjalanannya bersama keluarga saat nyekar ke Gua Grubug. Di ruangan itu aroma bunga menguar, membawa suasana ziarah. “Restorasi sejarah Sirin ini sebagai upaya rekonsiliasi kecil,” tutur Farid. Sejak 2006, keluarga Farid mencari kuburan kakeknya yang hilang saat peristiwa berdarah itu terjadi. Kakek Sirin adalah seorang carik atau Sekretaris Desa Plembutan, Playen, Gunungkidul.
Nasib penyintas 1965 juga tergambar dalam karya Agung Kurniawan. Sukarelawan di lembaga penyintas 65 itu membuat lampu gantung atau chandelier. Empat lampu gantung itu dikitari baju bekas para penyintas. Melayang-layang dalam ruangan berdinding merah darah, baju itu di antaranya berwujud kebaya, batik, rok, dan kutang. Agung memberi judul karya itu Maukah Engkau Menari denganku Sekali Ini Saja? Lampu gantung dari baju bekas ini, menurut Agung, mewakili orang-orang yang dilupakan, ditinggalkan, dan menjadi kambing hitam dalam kondisi yang berulang-ulang. Lampu gantung umumnya mewakili kemewahan, kejayaan, dan kemapanan. Biasanya lampu ini digantung di pendapa, ruang tamu rumah raja, adipati, dan orang kaya.
Tapi dalam pameran ini lampu itu digantung di pojok dengan kerlip lampu redup. Seperti genosida 1965, lampu redup ini menjelaskan harapan. “Berharap diakui sebagai korban genosida atau jadi kambing hitam selamanya,” kata Agung. Potret sejarah kelam yang menimpa perempuan tergambar dalam instalasi karya Nadiah Bamadhaj kolaborasi dengan kelompok musik Senyawa. Bunyi musik Senyawa terdengar mentur eror. Kelompok musik ini dikenal mencampur musik cadas heavy metal, elektrik, dan tradisi.
Karya berjudul The Reckoning itu berobyek vagina berwajah perempuan sepuh. Muka nenek penuh kutil dan kerutan. Karya itu terinspirasi legenda dan kisah semisejarah, Calon Arang. Cerita tentang janda sakti di zaman kekuasaan Raja Airlangga di Kediri, Jawa Timur. Dia dikenal sebagai tokoh yang menyebarkan teluh sebuah ilmu hitam. Calon Arang merupakan janda dari Desa Dirah yang berang karena anaknya, Ratna Manggali, tidak laku dikawin lelaki. Orang-orang takut ilmu hitam yang dimiliki Calon Arang menurun kepada putrinya. Lalu, dengan kesaktiannya, ia menenung seluruh desa pesisir dan menyebarkan wabah penyakit.
Maukah Engkau Menari Denganku Sekali Ini Saja? karya perupa Agung Kurniawan 30 Juli 2021./TEMPO/Shinta Maharani
Bagi Nadiah, Calon Arang perwujudan seksisme di masa lampau. Jika ada seorang janda karena tidak suci, sudah lanjut usia, ia dituding sebagai penyihir. Dia menjadi pertanda kekacauan tatanan sosial. Karya ini menentang standar ganda seksis patriarki. Kurator ArtJog, Agung Hujatnikajennong, menyebutkan karya-karya yang dipajang itu mengangkat tema waktu dalam spektrum yang luas melalui perspektif dan praktik artistik seniman. Panitia mengundang secara khusus seniman melalui panggilan secara terbuka dan seleksi kuratorial. Sebagian besar seniman, menurut dia, cenderung menghubungkan waktu dengan masa lalu. Tafsir tentang waktu yang dominan adalah ingatan, sejarah, dan monumen. “Seniman seperti lebih dikendalikan warisan masa lalu ketimbang proyeksi masa depan,” ucap Agung.
Kali ini karya-karya yang terpajang terlihat lebih beragam dan tertata rapi. Tahun lalu, karya tak banyak ragamnya dan ArtJog minim sponsor. Pendiri ArtJog, Heri Pemad, menghitung kebutuhan duit untuk membiayai pameran tahun ini sebesar Rp 4 miliar lebih. Adapun tahun lalu kurang dari separuhnya. “ArtJog kali ini gas pol,” kata Pemad. Dia berutang sana-sini untuk mewujudkan pameran, bahkan dia juga menggadaikan sepeda motornya. Dana dukungan dari pemerintah pusat—Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif—menurut dia, hanya sebesar Rp 450 juta.
Sejak setahun lalu Pemad menyiapkan “Time (to) Wonder”. Dia tak menyangka wabah semakin ganas dengan penularan virus varian baru yang lebih cepat. Kali ini dia bersiap rugi besar-besaran karena panitia belum bisa memperoleh pemasukan dari penjualan tiket. Pemerintah belum mengeluarkan aturan untuk kunjungan pameran seni selama PPKM darurat. Pemad dan tim tak mau mundur di tengah situasi yang sulit karena wabah. Alasannya, mereka ingin terus membawa harapan untuk kehidupan seni di tengah impitan wabah. “Warna-warni badai ArtJog,” ujar Pemad.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo