Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Rumah sakit, baik di Jawa maupun luar Jawa, mulai kehabisan persediaan obat terapi Covid-19.
Stok obat di sejumlah rumah sakit diperkirakan hanya dapat bertahan selama sepekan.
Dokter menyiasati dengan mengubah protokol dalam meresepkan obat.
SEJAK virus corona varian delta menerjang, Paulus Wisnu Kuncoromurti kerap kelabakan. Ketua tim dokter penanganan Covid-19 di Rumah Sakit Umum Daerah Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, ini tak hanya menghadapi krisis ranjang rumah sakit, juga tak adanya obat terapi virus corona. Hampir dua bulan, mulai awal Juni lalu, rumah sakit itu kerap kehabisan obat Covid-19.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dokter di RSUD Wonosari biasanya meresepkan remdesivir, favipiravir, atau oseltamivir berdasarkan tingkat keparahan gejala pasien. Berfungsi sebagai antivirus, stok tiga remedi itu bergantian kosong. “Remdesivir sudah habis sejak dua pekan terakhir,” ujar Wisnu saat dihubungi pada Jumat, 30 Juli lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wisnu pun mengubah protokol pemberian obat. Sebelum meresepkan obat, dokter harus memastikan stoknya. Gudang farmasi juga diminta melaporkan cadangan obat yang tersisa setiap hari pada pukul sepuluh pagi. Sebelumnya, petugas farmasi membuat rekapitulasi persediaan obat setiap triwulan. Pemberian obat juga diatur. Jika salah satu antivirus habis, dokter diminta memberikan jenis obat berselang-seling mengikuti stok yang tersedia.
Baca: Dusta Angka Corona
Mengakali kelangkaan itu, rumah sakit juga mengurangi jatah obat untuk pasien di ruang rawat. Wisnu mencontohkan, semula penderita Covid-19 bergejala berat memperoleh dua antibiotik. Namun kini hanya satu jenis dan ditambahkan dengan kombinasi vitamin. Begitu pula vitamin yang semula dikonsumsi selama sepuluh hari kini hanya tinggal separuhnya. Wisnu menyebutkan perubahan protokol pemberian obat itu tetap terukur dan dipantau oleh tim dokter.
Betapapun berusaha menjaga persediaan obat, Wisnu pernah kehabisan obat saat pasien isolasi membeludak. Waktu itu dia sempai harus meminjam obat kepada vendor. Jumlah tablet yang dipinjam biasanya langsung dipotong dari pesanan rumah sakit ke vendor tersebut. Meski demikian, penyedia obat tak begitu saja memberikan stok kepada RSUD Wonosari karena mereka perlu memeriksa cadangan di gudang. “Saat ini kami paling sering meminjam obat antivirus,” ucap dokter spesialis paru tersebut.
Stok obat di Rumah Sakit Umum Daerah KRMT Wongsonegoro, Semarang, juga menipis pada pertengahan Juli lalu. Wakil Direktur Pelayanan RSUD Wongsonegoro, Lia Sasdesi Mangiri, menyebutkan sejumlah obat sulit diperoleh dan terlambat dikirim oleh distributor. Padahal rumah sakit tersebut merawat 500 pasien Covid-19.
Baca: Lobi-lobi dan Persaingan Bisnis Mengegolkan Ivermectin Sebagai Obat Covid
Lia mencontohkan salah satu jenis obat yang langka adalah remdesivir, yang diimpor dari India. Rumah sakit belakangan menerima bantuan dari Dinas Kesehatan Semarang dan Jawa Tengah. Kiriman obat itu diperkirakan cukup untuk persediaan beberapa hari saja.
Rumah Sakit Umum Pusat Dr Hasan Sadikin, Bandung, juga melaporkan kehabisan obat actemra untuk pasien Covid-19. Selain meminta kepada Kementerian Kesehatan, manajemen Rumah Sakit Hasan Sadikin mencari sendiri di pasar.“Actemra tidak ada, kami sedang meminta ke Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan,” kata pelaksana tugas Direktur Utama Rumah Sakit Hasan Sadikin, Irayanti.
Kepala Dinas Kesehatan Jawa Barat Nina Susana Dewi mengakui menipisnya cadangan sejumlah obat terapi Covid-19. Ia sudah meminta kiriman obat antivirus dari Kementerian Kesehatan pada 23 Juli lalu, tapi tak kunjung diterima. Memeriksa stok di sejumlah apotek, Dinas Kesehatan pun menemukan stok obat tersebut kosong. Nina menyebutkan persediaan obat Covid-19 di Jawa Barat hanya dapat bertahan seminggu seiring dengan meningkatnya jumlah pasien yang dirawat. Berdasarkan data Pusat Informasi dan Koordinasi Covid-19 Jawa Barat, ada lebih dari 126 ribu pasien dirawat di rumah sakit ataupun menjalani isolasi mandiri di rumah.
Kelangkaan obat Covid-19 juga terjadi di sejumlah rumah sakit dan apotek di luar Pulau Jawa. Stok di Rumah Sakit Umum Daerah Raja Ahmad Tabib, Tanjungpinang, Kepulauan Riau, diperkirakan hanya bertahan paling lama sebulan. Pelaksana tugas Direktur RSUD Raja Ahmad Tabib, Elfiani Sandri, menyatakan sudah memberi tahu Dinas Kesehatan Tanjungpinang soal sisa stok obat. Distributor obat pun dihubungi, tapi pesanan baru akan tiba sebulan lagi karena ada beberapa jenis obat yang hanya dikuasai satu distributor. “Adanya pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM membuat pengiriman paket bertambah lama,” tutur Elfiani.
Baca: Pengakuan WNI Dikarantina di Hotel, Mendadak Positif dan Wajib Membayar Belasan Juta Rupiah
Menurut Elfiani, rumah sakit hanya bisa menunggu pasokan obat. Berkali-kali mendesak distributor untuk mempercepat pengiriman, permintaan Elfiani tak bersambut. Distributor menyebutkan stok di gudang mereka juga kosong. Sedangkan pabrik lamban mengirimkan produknya karena kapasitas perusahaan terbatas dan ketergantungan pada impor bahan baku.
Di Pontianak, obat terapi virus corona jenis oseltamivir dan favipiravir sudah lenyap di toko-toko farmasi sejak awal Juli. Kepala Dinas Kesehatan Pontianak Sidig Handanu Widoyono mengatakan stok yang tersisa di gudang penyimpanan tinggal obat jenis favipiravir sebanyak 5.000 butir. Dengan perhitungan seorang pasien Covid-19 membutuhkan sedikitnya 40 tablet, cadangan obat itu hanya cukup untuk 125 pasien.
Menurut Sidig, Dinas sekarang mengirimkan antivirus favipiravir hanya untuk rumah sakit pemerintah dan pasien isolasi mandiri di Rumah Susun Sederhana Sewa Nipah Kuning. Sejumlah pusat kesehatan masyarakat pun belum mendapat jatah obat tersebut karena stoknya cepat tandas diburu masyarakat. Persediaan obat yang menipis ini menyebabkan puskesmas tak optimal menangani warga yang menjalani isolasi mandiri di rumah. “Ibarat perang, kami tak diberi peluru,” kata Sidig.
Dinas Kesehatan Pontianak telah bersurat kepada pemerintah pusat untuk meminta tambahan antivirus. Menerima dua kali paket berjumlah 8.000 tablet, obat itu hanya cukup untuk sekitar 200 pasien Covid-19. Padahal, menurut data Satuan Tugas Covid-19 Pontianak pada 30 Juli lalu, sebanyak 1.123 orang menjalani opname dan isolasi mandiri. Sidig juga sudah memesan tambahan obat kepada produsen senilai Rp 600 juta, tapi order itu diperkirakan baru tiba pada pertengahan Agustus nanti.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan jumlah kebutuhan obat Covid-19 melonjak 12 kali lipat sejak varian delta virus corona menerjang Indonesia. Dia menyebutkan banyak orang membeli remedi untuk dijadikan stok di rumah. Padahal beberapa jenis panasea, termasuk oseltamivir dan favipiravir, hanya dapat diperoleh dengan resep dokter. Akibatnya, kelangkaan obat tak terbendung. “Tolong obat-obatan itu dipakai sesuai dengan prosedur dan hanya bisa diberikan di rumah sakit,” ujar Budi.
PITO AGUSTIN RUDIANA (YOGYAKARTA), YOGI EKA (BATAM), JAMAL A. NASHR (SEMARANG), ANWAR SISWADI (BANDUNG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo