"ORANG Bali percaya, ketinggian diperuntukkan bagi Dewata," tulis Miguel Covarrubias tiga dasawarsa lalu dalam bukunya, Island of Bali. Eksotisme Bali memang berasal dari paradoks: sebuah pulau yang rakyatnya memunggungi pesisir untuk berpaling ke dalam, ke tempat yang mereka sebut "pasak bumi" di Gunung Agung. Samudera, sampai kedatangan orang kulit putih dan wisatawan, merupakan benteng alam orang Bali. Sebaliknya, isolasi di pedalaman menjelma sebagai puisi pada sekian generasi seniman dan petualang. Tentang sawah-sawah Bali, dalam sebuah laporan tahun 1850, ahli ilmu alam Inggris, Alfred Russel Wallace, menyebutnya "sistem penanaman yang terindah di dunia." Foto-foto Rio Helmi dan Leonard Lueras dalam Bali High: Paradise from the Air membuktikan kemudian bahwa puisi itu bukan sekadar kepekaan orang Bali terhadap seni dan lingkungan yang asri. Ia juga upaya manusia untuk mengundang roh dan para dewata agar sudi menjadikan tanah, air, dan udara sebagai singgasana bersama. Bagi orang Bali, sawah di Bugbug (halaman 14) mungkin pemandangan sehari-hari. Dari awang-awang, pemandangan padi-padi menunggu panen tampak seperti kue talam yang lezat. Itu memang salah satu keistimewaan Bali High. Buku setebal 128 halaman dengan harga Rp 54.000 per eksemplar ini -- diterbitkan oleh Times Editions dalam dua edisi (bahasa In- ggris dan Prancis) awal 1990 -- bukan sekadar brosur pariwisata dengan kemasan mewah. Pengalaman Leonard Lueras, fotografer asal New Mexico, merekam keindahan alam Indonesia dari angkasa lewat pembuatan buku Indonesia from the Air, dan pengetahuannya tentang Bali sewaktu membuat buku Bali, the Ultimate Island, ternyata tak sia-sia. Lueras yang bekerja sama dengan fotografer terkemuka Indonesia, Rio Helmi, yang karya- karyanya tampil dalam Thailand: Seven Days in the Kingdom, menjelajahi Bali selama satu minggu untuk pembuatan Bali High. Terkadang mereka, seperti ketika memotret puncak Gunung Agung (3.142 meter di atas permukaan laut), hanya punya waktu beberapa detik untuk mengabadikan keindahan yang tersembunyi selama berabad-abad di Pulau Dewata tersebut. Toh hasil pemotretan mereka tetap menakjubkan. Ada kalanya perjalanan mereka merupakan tamasya yang mengasyikkan. Sewaktu mereka terbang di atas Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan, rekaman lensa Rio Helmi cukup menggoda orang untuk mereguk jernihnya air selat (halaman 10-11). Sementara itu, di tangan Lueras, alam yang sama bisa berbeda. Keteduhan kawasan rumput laut Nusa Lembongan yang dipotretnya mengacu pada "petak-petak warna Paul Klee" (halaman 68-69). Di pantai Kuta, Rio Helmi merekam dua pemain selancar menerobos ruang dan waktu. Ada yang membuat kita merenung melihat foto ini: ada jeritan yang tak terdengar, atau mung- kin semacam ketidakyakinan terhadap upaya manusia modern dalam menaklukkan alam (halaman 97). Sayang, tidak semua foto dalam Bali High (sebanyak 91 foto) mencapai taraf puisi. Foto-foto yang dibagi berdasarkan tema -- Kaja, Kelod, Sawah, Urban Bali dan Lombok -- terjebak oleh metode dan, mungkin, pertimbangan ekonomis Rio dan Lueras. Sungguhpun memotret dari helikopter memberikan wawasan baru, ada kalanya gerak kedua fotografer menjadi terbatas. Sering, Bali yang tampil adalah Bali sesuai dengan khayalan (calon) pelancong. Fotografi kemudian berfungsi sebagai instrumen topografi: di sini, pura dan gapura menjulang di atas bukit di sana, pantai dengan pasir berkelok-kelok dan di balik hutan itu, ada berpetak-petak sawah. Mungkin waktu sepekan belum cukup untuk mengenali seluruh Bali. Esai "In High Places" oleh Leonard Lueras enak dibaca dan didukung oleh kepustakaan yang cukup. Begitu pula teks pendamping foto, sering dibuat puitis dan penuh humor. Maka, kita harus bersyukur bahwa telah terbit buku semacam Bali High. Kendati terlintas pertanyaan apakah buku ini merupakan karya "seni" atau sesuatu yang harus dinikmati begitu saja, kehadirannya memperkaya sanubari. Rio dan Lueras telah membawa kita ke alam yang lain. Untuk sesaat, melalui mata dan kamera kedua fotografer ini, kita mendapat kesempatan istimewa melongok Bali dari kaca mata dewata. Acungan jempol bagi Times Editions yang berbeda dengan penerbit buku sejenis, kali ini mempercayakan seorang Indonesia untuk mengupas keindahan negerinya sendiri. Yudhi Soerjoatmodjo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini