DALAM sebuah seminar perihal perkebunan dan pembangunan pedesaan yang dihadiri para ahli, seorang penanya nyeletuk: "Situasi yang buruk, jurang sosial yang lebar, suasana feodalistis dan otokratis pada perkebunan Sumatera Timur dewasa ini sama saja dengan pada zaman kolonial dulu. Yang lain adalah penguasanya. Dulu bangsa Belanda, sekarang bangsa sendiri." Maka, terciptalah suasana tanya jawab yang hangat dan meriah. Suasana glasnost. Sangatlah mengerikan jika kebrutalan terhadap kuli yang mi- rip perbudakan di zaman kolonial masih berkelanjutan di alam merdeka ini. Kekejaman-kekejaman di masa silam yang di luar batas-batas peri kemanusiaan dan berbagai penyimpangan peri laku -- termasuk peri laku seks dan pola perkawinan -- tidak berlaku lagi sekarang. Di Sumatera Timur tersedia tanah yang luas dan didatangkan buruh dengan upah yang rendah. Terciptalah sebuah daerah dolar bagi orang Belanda, yang merupakan salah satu sukses terbesar yang dialami orang Eropa di daerah tropis. Namun, sukses tersebut juga sering memerosotkan nilai-nilai kehidupan. Ketika harga hasil perkebunan terus naik, bonus yang diteri- ma employee juga membengkak. Mereka hidup bermewah-mewah. M.H. Szekely-Lulofs, yang bermukim di Deli pada 1918-1930 dan suaminya bekerja sebagai planter, dalam novelnya Berpacu Nasib di Kebun Karet (Pustaka Utama Grafiti, 1985) melukiskan situasi masa itu: "Setiap orang memiliki mobil yang termahal. Makanan mewah yang termahal menjadi makanan biasa sehari-hari. Kaum wanita bersaing mengenakan busana mode terakhir dan yang paling mewah .... Tak terdapat lagi kehidupan rumah tangga. Orang berburu menuju klub. Wanita pun merokok dan mabuk. Para employee terbenam dalam alkohol dan wanita." Sebaliknya, banyak penduduk setempat kehilangan tanah karena Sultan memberikan tanah dengan tak semena-mena (untuk 99 tahun dan kemudian konsesi 75 tahun) kepada perkebunan tanpa menghiraukan kepentingan rakyat. Kegetiran mereka melahirkan Perang Sunggal (1872-1895) -- saat orang Melayu dan Karo bahu-membahu menentang Belanda, antara lain dengan membakari bangsal-bangsal tembakau. Mudah dibayangkan bahwa pribumi akhirnya kalah, walau Belanda mengalami banyak kerugian. Pada periode 1881-1902 proporsi terbesar dari kuli adalah orang Cina yang didatangkan dari Tiongkok, Penang, dan Si- ngapura. Orang Jawa adalah kelompok pribumi terbesar. Juga ada orang India yang disebut Keling. Untuk mendapatkan kuli yang diperlukan, dilakukan berbagai tipu daya terhadap mere- ka, dan mentalnya dirusak supaya tetap bertahan di perkebun- an. Sangat merepotkan bagi perkebunan untuk mencari peng- gantinya kalau kuli pulang ke Jawa untuk selamanya tiap kali kontrak habis sesudah tiga tahun. Di pedesaan Jawa, calo yang mencari kuli untuk Sumatera Timur menebarkan rayuan yang menggiurkan: ". . . yang ikut ke tanah baru ... Deli ... dapat membeli banyak emas. Sebab, di sana emas murah. Dan banyak perempuan muda yang cantik! Dan boleh berjudi, lagi!" (Szekely-Lulofs, Kuli, terbitan Pustaka Utama Grafiti, 1985). Ternyata kemudian, kalau si kuli sudah menginjakkan kaki di Sumatera Timur, untuk mendapatkan istri, luar biasa susahnya karena yang didatangkan umumnya laki-laki. Dilukiskan Szekely-Lulofs dalam buku Kuli, Ruki, anak lugu dari pedesaan Jawa Barat, menjadi protagonis. Dalam perjalanan ke Deli, dia sudah diperlakukan sebagai budak belian. Dia jatuh hati kepada gadis mungil Karminah, kawannya sekapal yang juga mendapat perlakuan tidak senonoh. Tiap kali rombongan kuli baru datang, kuli-kuli lama minta istri kepada Mandor Besar. Karminah, yang tidak tahu apa-apa, langsung jadi istri Marto tua. Memang Marto tua sudah berkali-kali minta istri. Protes dan teriakan Ruki hilang di angin lalu. "Di sini kuli baru tidak punya istri," bentak Mandor Kepala. Namun, Tuan Donk juga suka kepada Karminah yang mungil itu. Melalui mandor Muin, disuruhnya Karminah dan Marto menghadap. Si Tuan mengulurkan Rp 10 kepada Marto, dan mengatakan, "Kalau ada kuli baru lagi, kamu pertama-tama dapat perempuan." Marto pasrah. Karminah ganti tangan mela- lui prosedur yang sangat sederhana. Sebagai nyai, dia tidak usah mencangkul lagi. Memang besar risikonya kalau menolak. Pernah seorang buruh wanita berusia 15 tahun diikat pada tiang dengan telanjang bulat, karena dia lebih suka dengan pacarnya sesama kuli kon- trak daripada dengan pegawai Belanda Kemaluannya dibubuhi cabai dan dia dijemur dari pukul 6 pagi sampai pukul 6 sore., (H. Mohammad Said, Koeli Kontrak Tempo Doeloe, dengan Derita dan Kemarahannya, Percetakan Waspada, 1977). Kebiasaan berjudi dan bersenang-senang pada waktu gajian besar (tiap bulan) betul-betul menghancurkan mental kuli kon- trak dan menggiring mereka memperpanjang kontrak terus- menerus, tidak peduli penderitaan apa pun yang menimpanya. Sekali jadi kuli kontrak, tetap jadi kuli kontrak. Pihak perkebunan berhak mengadili sendiri dan menghukum mereka yang malas bekerja dan yang berusaha melarikan diri atas dasar Koeli Ordonnantie. Tuan kebun bisa memenjarakan kuli yang malas atas dasar melanggar perjanjian. Karena prosedur itu boros waktu, dan kuli lalu menganggur di tahanan, maka berkembanglah kebiasaan "main tendang pukul". Sesudah ditendang dan dipukul, mereka dipaksa lagi bekerja. Banyak kuli yang luka berat karena disiksa dan ada wanita didera di pantatnya yang terbuka (Koeli Kontrak). Pada masa kanak-kanaknya, sastrawan Mochtar Lubis (dalam cerita pendeknya Kuli Kontrak) menyaksikan penyiksaan yang mengerikan terhadap tiga kuli kontrak di belakang rumahnya. Sebelum perkaranya dibawa ke depan hakim, mereka dilecut karena telah menikam seorang opzichter Belanda, yang selalu mengganggu istri mereka. Jerit kesakitan melengking tajam membelah udara. Dan peristiwa itu dihadiri oleh sepasukan polisi, kontrolir orang Belanda, asisten wedana, dan dokter rumah sakit. Secara umum perlakuan terhadap kuli kontrak kemudian membaik berkat perjuangan orang-orang yang merasa terpanggil untuk membela mereka, terutama Van de Brand. Bagaimanakah situasinya kini? Keadaan tentunya sudah jauh berubah. Pemukulan secara sewenang-wenang tidak terjadi dan awas kalau istri kuli diganggu. Mereka berani melawan. Na- mun, suasana otokratis dan feodalistis masih menampakkan di- ri. Sifat takut dan segan para pekerja masih terasa, dan terdapat jurang sosial yang lebar antara buruh, mandor, asisten, dan administrateur. Itu nampaknya merupakan ciri pola kehidupan masyarakat perkebunan yang universal. Dari sudut upah, belum dapat dikatakan bahwa upah buruh perkebunan pada zaman kemerdekaan lebih tinggi daripada zaman Belanda, tetapi keadaannya pelan-pelan membaik. Yang jelas, gaji buruh perkebunan di Malaysia berlipat-lipat lebih tinggi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini