Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SESOSOK lelaki dengan riasan mengerikan muncul di tengah kerumunan penonton. Mendadak semua terkejut. Anak-anak kecil berlarian sambil menjerit-jerit ketakutan. Tapi, sesaat kemudian, para penonton tertawa-tawa. Kaget, geli, gemas, campur aduk. Begitulah suasana pertunjukan lawak Srimulat Surabaya di Lapangan Tandes, Surabaya, akhir Juli lalu. Malam itu Srimulat membawakan lakon Hantu Gedung Kosong.
Aksi ”hantu” di tengah kerumunan penonton memang sering dimunculkan Srimulat selama manggung keliling di kawasan pinggiran Surabaya dan Gresik. Ramuan hantu memang sudah menjadi andalan sejak Srimulat menampilkan cerita Ciuman Drakula pada awal 1970-an. Hingga kini ”jurus hantu” masih saja ampuh memberikan efek kejut sekaligus hiburan ke penonton.
Dalam pentas keliling sepekan sekali itu, Srimulat Surabaya kerap membawakan cerita berbau horor, misalkan Gendruwo Mantu, Mayat Berkaki Emas, Drakula Kembar, dan Wewe Gombel Bikin Gemas. Maklum, cerita setan-setan memang sedang tren. ”Penonton yang hadir selalu banyak ketika lakon horor,” kata Martopo Legowo, sutradara Srimulat Surabaya.
Nun jauh dari Lapangan Tandes, di Planet Hollywood, Jakarta, Srimulat Jakarta menjadi salah satu bintang dalam acara Semanggi Suroboyo 2009—acara kumpul-kumpul komunitas Surabaya di Jakarta—pertengahan Juli lalu. Pertunjukan dibuka aksi Polo yang ngudarasa atau monolog. Aksi solo ini sudah berhasil memancing tawa penonton. Guyonan yang dilontarkan sebenarnya biasa-biasa saja, semisal tentang honor yang kecil dari panitia; gaya orang daerah yang sok Jakarta. Tapi entah kenapa semua tertawa. ”Lihat tampangnya yang konyol sudah geli, humornya juga kayak di kampung,” kata Santi, seorang pengunjung.
Tawa makin menjadi setelah anggota lainnya, Kadir, Dudung, dan bintang tamu Doyok, nimbrung. Mereka saling cela dan melontarkan guyonan konyol khas Srimulat. Tak jarang mencela diri sendiri. Polo dan Kadir, misalnya, sering menyelipkan pengalaman ketika dipenjara—keduanya pernah menjadi terpidana karena menggunakan narkotik. Aksi mereka cukup berhasil. Tawa ngakak hadirin bergemuruh tanpa jeda dalam pertunjukan sekitar setengah jam. Pas dengan tajuk acara: Ngakak Sak Mulese atau tertawa sampai sakit perut.
Begitulah, belakangan ini Srimulat kembali naik pamor setelah sempat surut. Para anggotanya tak rela Srimulat terkubur. Kini mereka aktif lagi, baik di Surabaya maupun di Jakarta, keliling dari panggung ke panggung, dari lapangan desa sampai lokasi tongkrongan di perkotaan. Aksi panggung memang urat darah Srimulat. Begitu agak surut, segera manggung tak pilih-pilih tempat. Asal ada job, begitu istilah mereka.
Srimulat didirikan Teguh Slamet Rahardjo di Solo pada 1950. Nama Srimulat diambil dari nama istrinya, Raden Ayu Srimulat, yang menjadi sri panggung terkenal pada 1930-an. Begitu menikah, mereka membentuk kelompok musik keroncong Avond, yang kemudian berganti nama menjadi Gema Malam Srimulat, selanjutnya Srimulat Review, dan akhirnya Aneka Ria Srimulat. Teguh kemudian menyisipkan lawak dalam pertunjukan musiknya. Karena pengaruh dagelan Mataram, selanjutnya Srimulat kental dengan unsur lawak.
Srimulat manggung rutin di Taman Sriwedari, Solo, dan pada 1961 pindah menetap di Surabaya, menjadi pengisi tetap di Taman Hiburan Rakyat Surabaya. Seiring dengan perjalanan waktu, pamor Srimulat sebagai teater lawak yang memberikan lawakan gado-gado—pengaruh dagelan Mataram, ludruk, ketoprak—terus bersinar, sampai terbentuk cabang di Jakarta, Semarang, dan Solo. Begitu besarnya sambutan penonton, di era 1970-an, misalnya, parkir mobil di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, begitu padat pada saat pertunjukan Srimulat.
Srimulat masuk televisi mulai 1982, ketika TVRI Stasiun Pusat Jakarta menayangkan pertunjukannya sebulan sekali. Sejak itu Srimulat menikmati kejayaan sekitar lima tahun, sebelum pamornya meredup. Pelawak top seperti Kadir, Nurbuat, Rohana, Tarzan, Gepeng, Basuki, hengkang. Pentas di beberapa lokasi juga sepi penonton, hingga kelompok ini terpaksa bubar pada 1989.
Sesudahnya, Srimulat hanya sesekali menggeliat dalam pentas-pentas reuni warga Jawa Timur. Pada 1990-an, Srimulat tampil di stasiun televisi swasta. Keberadaan Srimulat sedikit menyembul sampai 2000-an, selanjutnya mati suri hingga belakangan ini.
Srimulat Surabaya, misalnya, hanya memiliki jadwal rutin pentas terakhir tahun lalu, saat main sepekan sekali di studio JTV, sebuah stasiun televisi di Surabaya. ”Setelah itu tak ada kegiatan,” kata Tohir, salah satu personelnya. Memang secara insidental Srimulat Surabaya masih memiliki agenda pentas sebulan sekali, tiap Jumat malam pekan keempat, di Taman Hiburan Rakyat Surabaya, sebagai bagian dari program Dinas Pariwisata Kota Surabaya.
Srimulat bergiliran dengan pertunjukan ludruk, wayang orang, dan ketoprak. Namun ketika manggung bulanan ini personelnya kerap tak lengkap. Beberapa pemain senior absen bergiliran. Sebabnya adalah honor yang cekak. Menurut seorang kru, jatah dana pentas dari pemerintah daerah hanya Rp 1 juta sekali pentas, padahal puluhan personel terlibat.
Nah, dengan manggung keliling ke Surabaya dan sekitarnya yang dimulai 24 Januari 2009 itu, personel Srimulat yang sudah lama menganggur menjadi lebih bergairah. Setiap pentasnya sejauh ini selalu dengan tim lengkap, termasuk yang senior seperti Didik Mangkuprojo, Kenthus, Bambang Gentolet, Eko Londo, Tohir, Vera, Mia, dan Tikno. Tak sulit mengumpulkan bintang kawakan ini, karena meski tanggapan sepi, mereka masih sering ketemu di THR. ”Kami juga sering telepon-teleponan,” kata Martopo.
Honor yang diterima saat manggung keliling ini lebih banyak dibanding pentas di THR. Jumlah: semua bungkam. ”Pokoknya cukup untuk makan dan beli rokok,” ujar Tohir. Manggung keliling ini dilakukan dengan menggandeng sponsor. Penonton yang datang tak dipungut bayaran, jadi tak aneh jika yang datang membeludak.
Lain di Surabaya, lain di Jakarta. Selain pertunjukan lawak off air, Srimulat Jakarta main di Global TV sepekan sekali, sejak sebulan lalu. Beberapa pemain asli Srimulat tampil, seperti Polo, Mamik, Nunung, Tessy, juga Tarzan. ”Untuk meramaikan, ada pelawak junior dan bintang tamu,” kata Polo.
Sebelumnya, pada saat vakum setelah tak ada lagi slot di stasiun televisi Indosiar pada 2000-an, para personel Srimulat beraksi sendiri-sendiri. Ada yang bermain di sinetron, layar lebar, juga bintang iklan. Begitu ada kontrak di Global TV sekarang, Srimulat pun bertekad tampil optimal. ”Dunia hiburan kan seperti swalayan, etalasenya, ya, televisi,” kata Polo.
Untuk melawak, Srimulat terus menambah jurus baru. Jika penontonnya segmen orang tua, jurus lawak nostalgia lebih mendominasi. Untuk penonton muda, mereka mencoba dengan lawakan yang melibatkan tren sekarang, seperti Facebook dan BlackBerry.
Polo menyatakan tetap optimistis Srimulat masih akan hidup di dunia hiburan, meski ragam hiburan makin banyak. Pasalnya, masih ada orang yang kangen pada Srimulat dan mencari hal-hal yang berbau tradisional. Dia mengandaikannya dengan fenomena maraknya dunia kuliner sekarang. ”Ada pizza, burger, kebab, tapi orang ya masih cari sayur lodeh, tempe bacem,” ujarnya. ”Srimulat juga sudah mengakar, kalau ada orang bercanda dibilang Srimulatan.”
Polo benar. Biasanya, bila sudah bosan dengan burger dan pizza, orang akan kembali ke sayur lodeh dan tempe bacem. Srimulat, meski sempat melewati masa tenggelam, tak pernah wassalam!
Harun Mahbub, Kukuh S. Wibowo (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo