Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Bangkit dari Mati Suri

Terakhir digelar pada 1997, Jak Jazz muncul lagi. Salena Jones, Shakatak, Phil Pery, Monday Michiru ikut meramaikannya pada akhir pekan lalu. Masih belum siuman betul. Tapi cukup hurah.

27 November 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Balada tak pernah mati.

Mengenakan gaun putih berbordir. Sepatu putih. Dan berkalung salib. Salena Jones, 62 tahun, terlihat tak bisa menyembunyikan ketuaannya. Tangannya tampak berkerut. Sesekali matanya melihat teks di papan partitur yang dibawanya ke panggung. Tapi ia ekspresif membawakan lagu-lagu. Seolah seluruh tema lirik itu pernah dialami oleh hidupnya.

”Every time it rains, I think of you, and that’s the time, I feel so blue”.

Lagu Ray Charles itu dibawakannya dengan penuh penghayatan. Embusan napasnya yang berat sesekali terdengar. Kemudian mengalirlah ”romansa” yang kita kenal akrab. Every Body Hurts, Just the Way You Are, My Love, And I Love You So, Summer Time, Misty. Lagu-lagu itu aslinya adalah ciptaan Ella Fitzgerald, Billy Joel, Don Mc Lean, George Gershwin, dan sebagainya. Namun semua dapat ia tampilkan dengan gaya dan pembawaan ”perih” sendiri . Seolah semua kedukaan itu adalah miliknya.

Dan kedatangannya di Jakarta ini serasa ingin membagi cinta yang pedih itu kepada penonton. Seolah suka duka di belahan New York sana adalah juga kisah haru-biru di sudut Jakarta. Di tangan Salena, jazz seolah jazz yang bertutur. ”Jazz adalah sebuah jalan untuk mengungkapkan apa yang bergejolak dalam perasaan saya,” kata wanita ini, yang terlahir dengan nama Joan Elizabeth Shaw.

Demikianlah. Setelah ”mati suri” 10 tahun, Jak Jazz lahir dengan menampilkan swing yang romantis seperti Salena Jones. Ajang yang digagas Ireng Maulana ini berlangsung de-ngan rileks. Fotografer diperbolehkan merangsek, bisa sepuasnya memotret, tak dibatasi satu dua lagu. Pertunjukan di Istora Senayan itu bisa dinikmati di dalam dan di luar gedung. Motto Jazz in The Park membuat panitia menampilkan sekitar delapan panggung di lapangan parkir.

Sembari menghirup udara segar dan mengudap cemilan, perhatian penonton tersedot oleh siapa lagi kalau bukan Kazumi Watanabe, gitaris gaek dari Jepang. Ia bermain dengan dua gitaris lain, Jack Lee asal Korea dan Eugeno Pao dari Hong Kong. Mereka menamakan diri: Asian Super Guitar Project. Ketiganya dibantu permainan perkusionis asal negeri jiran Malaysia, Lewis Pragasam.

Konser mereka dibuka dengan lagu Offside. Komposisi mengalir dalam tempo lambat. Permainan ketiga gitaris terlihat tak terlalu atraktif. Tabuhan drum dan perkusi Lewis menjadi jembatan yang merekatkan tiga gitaris. Kepiawaian teknik masing-masing pemain muncul mencolok ketika mereka membawakan Libertango, sebuah komposisi karya master tango, Astor Piazzola.

Kesempatan pertama diberikan kepada Eugene Lee untuk bermain solo. Gitaris kawakan Hong Kong itu tak menyia-nyiakannya. Jari-jarinya lin-cah menari di atas grip gitar elektriknya. Kadang ia memetik, lalu mengocok. Atau mengkombinasikan petikan dan kocokan.

Kesempatan kedua sepenuhnya milik Kazumi Watanabe. Gitaris berusia 53 tahun yang sempat tampil bareng Lee Ritenour pada Jak Jazz 1988 itu langsung menunjukkan aksinya. Guru besar tamu di Senzoku Gakuen College itu lebih banyak bermain me-lodi tapi dengan kecepat-an tinggi. Luar biasa! Begitu Watanabe usai beraksi, Jack Lee langsung menyusul. Pimpinan grup band Asianergy itu tak kalah lincah-nya memainkan gitar listriknya.

Saat membawakan komposisi terakhir Spanish Friedrice, mereka melahirkan klimaks yang memukau. Sementara sejak awal ketiganya bermain sambil duduk, pada pengujung konser mereka berdiri—dengan permainan yang sahut-menyahut. Di lagu penutup itu, ketiganya seolah berdiskusi lewat melodi nan memikat dari gitar masing-masing.

Lalu ada Shakatak, grup lama dari London yang tak kehilangan taji. Dan, buaya-buaya jazz kita sendiri seperti Benny Mustafa, Benny Likumahuwa, Buby Chen yang turun gunung. Perhelatan akbar ini memang belum—meminjam istilah para kuliner—mak nyusss benar. Masih ”adem ayem”. Atau ”watak” Jak Jazz yang memang tak ingin ingar-bingar.

Perhelatan tidak didominasi oleh band yang mengandalkan gemuruh brass dengan seksi terompet sana-sini, yang energetik, bernuansa amat urban dan metropolis. Tapi oleh dialog gitar, piano, bas, biola, bahkan Latin combo dan blues-jazz yang diolah secara mendalam.

Jumat, Sabtu, Minggu pekan lalu menjadi hari yang cukup nikmat bagi penggemar jazz menggoyang kaki. Seperti lirik Just The Way You Are yang dinyanyikan Salena: ”… Don’t go trying some new fashion, Don’t change the color of your hair…. You always have my unspoken passion….”

Seno Joko Suyono dan Nurdin Kalim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus