Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua puluh tahun bergaul dengan alga, Soemarno selalu mengalami hal serupa. Saban kali menyentuh tumbuhan itu, tangannya menjadi licin, seolah dilumasi minyak. Pengusaha pupuk organik asal Yogyakarta ini yakin betul, alga pasti menyimpan kadar minyak yang tinggi. Toh, yang diincar Soemarno dari alga adalah protein untuk pupuk. Jadi, urusan minyak tadi tak digubrisnya lebih lanjut.
Pada Mei 2006, pemerintah mengeluarkan keputusan bahwa tumbuhan jarak pagar dan kelapa sawit dimasukkan ke program nasional pengembangan biodiesel. Soemarno, 60 tahun, tiba-tiba teringat pada kandungan minyak dalam ganggang tersebut. Ide segar segera melintas. Dia ingin menambang solar dari alga, yang di tempatnya disebut lumut.
Ternyata ide ini bukan cuma ada di kepala Soemarno. Di benua seberang, Australia, para ilmuwan yang tergabung dalam South Australia’s Research and Development Institute (SARDI) menyimpan cita-cita serupa. Menurut temuan awal mereka, potensi tanaman ini untuk menjadi sumber biodiesel bisa berlipat. Jarak pagar dan kelapa sawit bahkan diduga tak ada apa-apanya dibanding si alga.
Sebuah proyeksi oleh ahli alga di oilgae.com menyebutkan, setiap hektare alga mampu mengalirkan 40.000-120.000 liter biosolar per tahun, 20-80 kali lipat yang dihasil-kan tumbuhan jarak pagar. ”Dalam tiga tahun ke depan kami berharap sudah bisa membuat proyek produksi,” kata juru bicara SARDI, Kevin Williams. Pada Juli lalu lembaga itu mengalokasikan US$ 1 juta (sekitar Rp 9 miliar) untuk penelitian ini.
Modal Soemarno untuk menyedot biosolar tentu jauh lebih kecil dibanding SARDI. Ia hanya menyisihkan 100 meter persegi—dari 100 ribu meter persegi lahannya—untuk bertanam alga. Dalam dua bedeng beralas terpal, ia membudidayakan alga hijau jenis Microsystis sp., Scenedesmus sp., Tetraselmis cui, Spirulina sp., dan Chlorella sp.
Kepada Tempo, Soemarno mengaku bahwa selama proses pembiakan, ia tak mengalami masalah berarti. Misteri yang harus dipecahkan adalah bagaimana cara mengilang minyak yang dikandung alga.
Misteri itu dapat dia pecahkan bulan lalu. Pemilik perusahaan pupuk CV Indmira di Pakem, Sleman, itu mencampurkan senyawa dengan keasaman tinggi—umpama asam klorida—ke alga. Lalu proses pemisahan minyak mulai dilakukan. Hasilnya? Minyak biodiesel (10 persen), air (10 persen) dan limbah (80 persen).
Ini sungguh kabar gembira, setidaknya bagi Soemarno. Karena, dengan kadar limbah 80 persen pun, dia tetap untung. Limbah itu tetap dapat dimanfaatkan sebagai bahan pupuk.
Ada lagi kabar yang lebih menggembirakan. Biodiesel buatan Soemarno ini serupa dengan biosolar yang dijual di pasaran. Tanda-tandanya, ”Saat kami dekatkan dengan api, minyak dari alga ini terbakar,” katanya kepada Tempo pekan lalu.
Saat dipakai di mobil, brumm..., kendaraan melaju lancar. ”Minyak alga ini bisa langsung dipakai,” ujar Fahmi Rosyadi, mitra kerja Soemarno.
Bayangan menjadi Mat Solar van Yogya segera terlintas. Kurang lebih inilah hitung-hitungan di kepala Soemarno. Setiap meter persegi bedengnya menghasilkan 3 kilogram alga yang dapat dipanen 10 hari sekali. Jadi, dari 100 meter persegi lahan percobaannya, dia dapat memanen 30 kilogram alga. Dari jumlah itu, tiga kilogram bakal menjadi biodiesel.
Artinya, jika ia bertani di lahan seluas 1 hektare, Soemarno dapat mengalirkan 10.800 kilogram biodiesel per tahun. Angka itu masih jauh dari targetnya: 40 ribu liter per hektare. Memang masih banyak yang harus dia sempurnakan. Misalnya, alga yang dia tanam masih cukup manja. Tumbuh mengambang di atas permukaan air, alga itu langsung rusak bila sekali saja terpercik hujan. Karena itu Soemarno kini sedang berburu alga yang lebih tahan terhadap perubahan lingkungan.
Ternyata dunia juga tengah memburu alga terbaik sebagai penghasil biosolar. SARDI umpamanya. Lembaga ini memprioritaskan penemuan alga unggul. ”Kami akan mulai (dengan) memilih alga dari alam, membawanya ke laboratorium, lalu menghitung angka pertumbuhan serta produksi minyaknya,” Williams membeberkan strategi lembaganya.
Mestinya Indonesia diuntungkan dalam perburuan alga unggul ini. Kita memiliki sekitar 5.000 jenis alga. Beberapa di antaranya mungkin dapat menghasilkan banyak biodiesel.
Tatang Hernas Soerawidjaja, Ketua Forum Biodiesel Indonesia, mengatakan kepada Tempo, soal lain yang tak kalah penting adalah menemukan teknik budi daya terbaik untuk menanam alga secara massal dan berkelanjutan. Sudah ada satu metode untuk ini, yakni metode sirkuit.
Pada teknik ini, alga ditanam di kolam memanjang mirip sirkuit balap. Di garis start, benih alga ditaburkan. Semakin dewasa, tumbuhan itu digeser ke arah garis finish. Pergeseran diatur agar saat menyentuh garis finish, alga telah siap panen.
Dia yakin, suatu ketika alga bakal menjadi sumber biodiesel penting. Ia memperkirakan, kejayaan tumbuhan ini dalam industri perminyakan bakal terwujud sebelum tahun 2025. Tahun ini telah ditetapkan sebagai Tahun Energi Terbarukan. ”Mestinya saat itu alga sudah menjadi sumber baru biodiesel. Jadi, penelitian serius mestinya sudah harus dimulai,” ujarnya.
Tatang, yang juga menjabat Ketua Pusat Penelitian Pendayagunaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan Institut Teknologi Bandung, sejalan dengan sejawatnya, Masrizal, Asisten Deputi Urusan Sistem Jaringan Ilmu Pengetahuan Kantor Kementerian Riset dan Teknologi. ”Memang, potensi alga sangat besar,” ujar Masrizal.
Ia mengatakan, jarak dan sawit terpilih sebagai tanaman untuk program nasional biodiesel karena penelitian kedua tanaman itu sudah lebih maju. Padahal kedua tumbuhan ini bukan tanpa kelemahan. Misalnya, minyak dari jarak pagar baru bisa dipanen setelah tahun kelima.
Silakan membandingkan dengan alga Soemarno, yang bisa dipanen 10 hari sekali.
Budi Setyarso, Syaiful Amin (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo