Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Banyolan sudah hilang

Jack lesmana setelah mengembara di eropa dengan "the indonesian all stars",kembali menguji keboleh annya di tim. penampilan kali ini anti banyolan, tampak lebih serius. (ms)

10 September 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JACK Lesmana panjang akalnya. Setelah 'Gairah 77' yang sedikit mundur itu, ia memaksa orang teringat tahun 1967. Tatkala sebuah rombongan puncak pemain jazz pribumi mengembara dengan sukses di Eropah dengan nama 'The Indonesian All Stars.' Bersama Buby Chen: Maryono, Benny Mustafa, Perry Patiselano dan Benny Likumahuwa. Jack mengundang kutu-kutu jazz masuk ke Teater Besar TIM. Ini berarti selama malam 29 dan 30 Agustus yang lalu. Bioskop TIM yang ngendon di situ tidak aktif. Kenapa tempat ini dipilih -- bukan Teater Terbuka sebagaimana biasa - ada beberapa alasan. Miles Davis "Meskipun Teater Besar sebagai tempat lebih formil dan mapan, toh mereka datang untuk mendengar jazz," ujar Jack. Buby Chen yang asal Surabaya malah mengatakan ballwa antara penonton dan pemain ada keakraban. Sedang Bob Tutupoly yang juga ikut unjuk suara menyatakan, betapa agak merugikan kondisi Teater Terbuka - karena suara penyanyi bisa amblas dari barisan penonton paling belakang. Karcis pun mengalami tambahan angka. Sekarang dijual dengan harga Rp 1000 dan Rp 000. Angka ini naik menjadi Rp 3000 tatkala loket sudah tidak bisa menyediakannya lagi. Pada tukang catut rupanya telah mencium bau untung dalam penampilan ini sehingga mereka mulai pasang aksi (mungkin lain kali mereka akan digebukin para petugas karena hal macam ini amat dilarang di kawasan TIM). "Yah, di Teater Besar ini, yang beli karcis dengan harga demikian adalah orang-orang yang betul-betul ingin nonton jazz. Beda dengan di Teater Terbuka. Orang iseng pun bisa nonton dengan beberapa ratus rupiah. Masih mending kalau tidak mengganggu," kata Jack. 10 tahun yang lalu bas dipegang oleh Yopie Chen - kakak Buby. Malam itu Benny dan Perry bergantian menjalankan fungsinya. Lagu pertama yang dikocok bernama Ku Lama Menanti (Jack-Buby). Citar yang dipegang Jack kelihatan agak kewalahan meladeni piano Buby, sax Maryono, dram Benny dan bas Benny. Maryono sendiri bermain intens. Terutama setelah beberapa saat kemudian ia membuka karya Miles Davis yang bernama All Blues. Ia menyisipkan nafas lain. "Sebab saya lebih menyukai menafsirkan kembali menurut perasaan saya, apa yang dimaui Miles. Jangan lupa, alat ekspresi saya ini beda dengan milik Miles," kata Maryono dengan lugu. Berbeda dengan penampilan penampilan yang lalu, Jack kali ini anti banyolan. Acara yang disebutnya konser itu tidak mengikutsertakan si mulut lebar dari Bandung yang bernama Rudy Djamil. Pertunjukan berlangsung lebih serius. Meskipun ketika mengantarkan nomor Katz Und Mous hampir saja ia tergelincir membanyol Untunglah muka baru pembawa acara yang bernama Arthur John Horoni. tidak nimbrung. Sehingga tampang serius malam itu dapat dipelihara. "Di Teater Besar ini kita nggak guyon-guyon," kata Maryono. Broery 4 Hutauruk, dengan berpakaian seperti baru pulang dari Mexiko. mengambil alih panggung. Mereka: Rugun, Ida, Bornok dan Berlian Hutauruk meluncurkan lagu bernama Sinangga Tulo (Tapanuli). Dara-dara ini ternyata kewalahan melayani kebolehan jago-jago tua, meskipun keberanian mereka pantas juga diperhatikan. Terutama karena mereka kurang rileks - sebagaimana dinyatakan oleh salah seorang All Stars itu. Bagai seorang nayaga kerawitan, Buby kemudian menggarap piano. Ia menyelesaikan dengan baik nomor Gambang Suling (Ki Narto Sabdo) yang terhitung pelik. Maryono dengan saxnya menjaga rapat ketukan-ketukan Buby, sehingga malam yang seakan menguji kembali kebolehan para bintang itu terasa hendak benar-benar dibuktikan. Pada babak pertama hal ini mungkin belum tercapai. Baru babak kedua, arus yang lancar, kelembutan yang trampil, muncul dari nomor seperti Episthrophy (Thelonius Monk) dan Misty (Errol G). Kemudian muncul seorang bintang tamu bernama Greg Gibson - dari Kedubes Australia. Tepuk tangan panjang terdengar, waktu ia membawanomor blus dengan klarinet yang bagai orang berkejaran. Ulahnya mengingatkan kita pada serombongan pemain jazz Australia (Bob Barnard Jazz Band) yang mengunjungi Jakarta belum lama. Tak ada dalam rencana, Broery yang rupa-rupanya tetap merasa punya ikatan batin kuat dengan kelompok ini, meloncat ke panggung. Biasa. Gayanya tetap main-main di depan corong - sebelum memuntahkan suaranya yang memang jarang bandingannya. Lagu-lagu yang boleh dipujikan dalam penampilan itu adalah The Breeze And I, Gadis Manis Dari Pantai Seberang, Take Five. Adapun lagu Janger Bali, penutup yang semula diharap akan jadi klimaks yang meyakinkan, agak cacat pada beberapa bagian. Tapi sebagai satu kesatuan usaha bintang-bintang ini bolehlah. Sebuah pertunjukan yang lebih serius. dengan penonton yang antusias.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus