PRAPAT berikut Danau Toba-nya makin sepi dari pengunjung.
Terutama para pelancong asing. Tahun lalu saja hanya tercatat
3191 turis asing datang kemari, yaitu hanya 50% dibanding tahun
sebelumnya. Akibat langsung adalah keresahan 9078 jiwa penduduk
Prapat yang selama ini secara langsung menggantungkan hidup
mereka dari kantong para turis. Bahkan bcberapa orang penduduk
mulai pergi merantau mencoba peruntungan di tempat lain. "Kami
tak tahu mengapa jumlah turis berkurang," ujar Manson Sirait,
Humas Kantor Bupati Sunalungun.
Mungkin karena tak tahu itu pula, maka kantor Bagian Pariwisata
di kantor bupati itu sepi sepanjang hari. Kantor ini tak luas, 3
x 2 meter. Pejabat yang ditempatkan di sini umumnya dikenal
sebagai buangan. Artinya seorang pejabat yang tak disenangi atau
dianggap tak penting dipindahkan ke kantor ini. Dan jelas di
dalam ruang 3 x 2 meter itu kegiatan cukup minus. Ketika kepada
seorang petugas di sini dimintai data-data atau brosur tentang
Prapat atau Danau Toba, dijawab sambil mengangkat bahu. "Nggak
ada bung, kami kurang diperhatikan," kata petugas itu setengah
tak peduli. Dan pejabat yang mengepalai kantor itu sendiri
ketika ditanyakan, dijawab "bapak sudah pulang" meskipun waktu
itu baru jam 12.00:
Tapi pengalaman nona Audry Chong, seorang pelancong dari Kuala
Lumpur yang ditemui Amran Nasution dari TEMPO di hotel Danau
Toba, mungkin merupakan sebagian jawaban mengapa tempat itu
semakin sepi dari pengunjung. "Kata orang, daerah ini angker,
banyak pencopet dan kastam (bea cukai) selalu minta duit,"
cerita Audry Chong. Ternyata tak demikian. Sebab di bandar
udara Polonia Medan semua berjalan lancar. Namun katanya, ia
amat kesal melalui jalan Medan-Prapat yang buruk itu. "Jalan ini
sangat buruk seperti di Thailand," ucapnya sambil mengungkapkan
bahwa tahun lalu ia melancong ke negara itu.
Memang rupanya di samping soal pro mosi yang kurang, jalan
penghubung Medan Prapat sepanjang 174 km itu cukup membuat jera
para turis. Bergelombang dan penuh lobang. Sehingga jangankan
untuk bersenang-senang, para turis itu harus cukup menderita
begitu sampai di tempat tujuan. Hal ini rupanya disadari Camat
Prapat, Kumpul Sinaga BA. Tapi katanya, tahun depan masalah
jalan itu akan diatasi. Sebab sekarang ini sedang dilakukan
pembuatan lapangan terbang perintis ke Sibisa di perbatasan
Kabupaten Simalungun dengan Kabupaten Tapanuli Utara - 10 Km
dari Prapat. Bila bandar udara itu sudah rampung, diharapkan
para pelancong akan dibawa langsung dari Polonia ke Prapat --
tentu dengan tambahan biaya.
Tapi pokok pangkal kesepian Danau Toba bagi Camat Kumpul tak
lain soal biaya juga. Misalnya, tak ada anggaran untu membina
kesenian rakyat yang semestinya secara teratur disuguhkan kepada
para pelancong. Tahun lalu APBD Sumatera Utara mencantumkan
biaya Rp 60 juta untuk pariwisata. Namun semuanya jatuh di
Lingga, Kabupaten Karo. "Kalau itu diberikan ke sini semua bisa
beres, kami sudah punya program," tambah Kumpul.
Turis Lokal
Di antara program itu disebutkan pembangunan sebuah daerah turis
murni di Prapat. Tanah seluas 40 Ha di seputar Danau Toba akan
dibersihka dari rumah penduduk serta perkantoran lalu dipindah
ke daerah perluasan kota Prapat. "Di sana nanti turis bisa
berbuat sebebas-bebasnya," kata Kumpul pula. Menurutnya,
mendirikan klab malam saja sampai sekarang tertunda terus karena
khawatir akan menimbulkan reaksi penduduk di sekitar itu. Dan
ini lagi rencana Kumpul: di sekeliling danau akan berdiri
bungalow-bungalow - oleh swasta tentunya. "Jalan ke puncak bukit
itu kami yang bangun," ucap camat itu sambil menjelaskan bahwa
jalan itu telah selesai dikerjakan atas biaya propinsi.
Soal biaya tampaknya hingga sekarang belum mendapat perhatian
dari pihak Pemda Kabupaten Simalungun sendiri. Padahal dengan
APBD sekitar Rp 1 milyar setiap talun, Rp 50 juta di antaranya
memercik dari sekitar danau ini. Jik sebagian saja dari
pendapatan itu dikembalikan lagi untuk membenahi daerah turis
itu, tentulah keadaannya tak akan seperti sekarang ini.
Satu-satunya sumber pendapatan daerah pelancongan ini yang dapat
diandalkan tentulah dari kunjungan para turis lokal. Tahun 1976
lalu jumlah mereka tercatat 73.032 orang. Tapi karena mereka tak
pernah nginap, maka bukan saja hotel-hotel dengan 65 buah kamar
di sana tetap kosong, tapi juga rezeki penduduk sekitar tak
begitu sibuk seperti tanun-ahun sebelumnya. Satusatunya
penghasilan tetap para pengusaha hotel di sana agaknya cuma dari
para WTS yang menyewa kaunar untuk begituan. Wanita-Nanita ini
ternyata cukup laris juga, karena di sana tak ada hiburan lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini