BATIK tidak cuma bisa dipakai untuk baju Korpri. Medium ini ternyata bisa juga dikenakan pada plastik dengan hasil yang baru, dan berharga sebagai seni rupa. Ini setidaknya yang nampak mencolok di "Pesta Bisnis ala Swa" di Gedung Manggala Wana Bhakti, Jakarta, dua pekan silam. Tokoh yang tampil di belakang usaha ini adalah Tulus Warsito, pelukis dari Yogya yang tahun 1977 mengajar seni lukis batik di Universitas Yale dan Universitas Brown, AS. Pihak panitia memang menganggap pembaruan Tulus dalam perbatikan layak ditampilkan, dalam arena yang disebut bursa anak muda kreatif. Dan kita bisa setuju sekali. Pada awalnya memang kurang mengesankan, meskipun cukup menyegarkan. Warna-warna yang menggelegak merah, komposisi dominasi biru, dan panil-panil yang sampai menggelantung di bagian atas, mengisi kos Tulus. Ruangan sekitar dua kali dua meter itu memang terasa terlalu padat. Tapi Tulus, 35 tahun, menerimanya. "Saya ke sini 'kan diundang," katanya, "dan menggunakan tempat ini gratis." Di tangan Tulus, batik plastik tak cuma hasil pengolahan warna dengan teknik celup tutup, tapi bisa dengan teknologi pencetakan fiberglas. Juga memanfaatkan proses laminasi. "Ini karya seni rupa yang dibuat dengan bahan dan teknik batik konvensional, cuma masih ada proses lanjutannya," kata Tulus. Secara gampangnya, ada dua jenis karya Tulus, yang bisa digolongkan "seni terapan" dan "seni murni". Yang pertama adalah batik lukis yang terbuat dari kain dan diproses kembali dengan melapiskan plastik. Bisa dengan teknik laminasi, seperti melaminasi KTP dan ijazah. Bisa pula dengan teknik pengecoran fiberglas, terutama untuk lukisan berukuran besar yang tak terjangkau teknik laminasi. Pada yang fiberglas ini, hasilnya bisa bertekstur kasar, bisa mulus. Biayanya pun berbeda. Pada yang berpermukaan kasar, per meter (dengan ketebalan 1 milimeter) Rp 15 ribu. Untuk yang halus seperti kaca, per meternya Rp 24 ribu. Tak seperti teknik laminasi, yang ketebalannya tak mungkin diubah-ubah dan ukurannya terbatas 60 cm, pada pengecoran serat kaca, ukuran lebar dan ketebalannya bisa diatur. Semua itu berbentuk dua dimensi atau dekoratif. "Lebih merupakan komoditi untuk dijual, bukan semacam karya seni murni," kata Tulus. Hasilnya bisa buat menghias lampu atau sekadar ditempel di dinding. Harga jualnya per meter Rp 40 ribu sampai Rp 15, ribu. Selama ini yang membeli belum banyak. Tulus sendiri memasyarakatkan kebolehannya di bidang ini baru tahunlalu. "Untuk ke luar negeri, sifatnya masih merupakan barang sisipan di antara batik-batik lainnya," tambah Tulus. Seniman yang juga entrepreneur ini pemilik sebuah galeri dan sanggar batik (dengan 10 karyawan) yang sudah 1970-an mengekspornya. Pengalaman Tulus memang berwarna internasional. Pada 1975, misalnya, ia memenangkan kompetisi seni rupa yang diselenggarakan Museum Seni Universitas Oregon, AS. Segera karyanya dipamerkannya berkeliling AS selama dua tahun. Jenis karya Tulus yang lebih dekat ke "seni murni" merupakan karya batik yang meruang, yang lebih konseptual. Tak denggan sendirinya mengandung plastik, walaupun disebut "plastis". Kata Tulus, "Inilah karya seni murni, merupakan tumpahan utuh gagasan dan rasa seni saya." Salah satu hasilnya bisa dilihat. Di atas permukaan datar, terpampang sebuah tongkat bulat panjang yang nampak mengambang di atas dasar motif batik. "Ini saya sebut meruang ilusif, atau meruang optis, atau meruang tidak sesungguhnya," kata Tulus. Proses pembuatan karya jenis ini memang jauh lebih rumit ketimbang batik biasa. Semua harus dilakukan berulang-ulang melakukan teknik tutup-celup, supaya tercapai warna dan bentuk yang dikonsepkan. Karya Tulus ini agaknya sebuah jawaban atas kejenuhan terhadap karya-karya lukisan batik yang sudah kita kenal selama ini. Sebuah hasil penggalian yang layak diamati. Semuanya dimulai dari kekecewaan Tulus karena, katanya, "Para pelukis batik pada umumnya telah lelap dalam "batik dolar"-nya lewat dunia pariwisata." Padahal, di negeri seperti Amerika Serikat, medium batik sudah diupayakan lebih jauh dari sekadar sebagai seni lukis. Medium ini juga menjangkau seni poster, misalnya. Bahkan, menurut Tulus, di Jerman, Belanda, sampai Swedia, Norwegia, dan Denmark, para senimannya bersungguh-sungguh mengotak-atik batik. Buku tentang batik pun sudah mereka terbitkan. MC dan Priyono B. Sumbogo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini