Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEER Holm Jorgensen, novelis dan bekas pelaut Denmark, menjenguk sebuah lapangan kontainer di muka Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, pada Kamis awal bulan ini. Inilah tempat pertama yang ditengoknya ketika tiba di Jakarta, kota yang terakhir dikunjunginya 43 tahun lalu.
Empat dekade lalu, di lokasi itu berdiri London Bar, tempat Peer dan para pelaut asing lain mampir ketika kapal kargo Clementine yang mereka tumpangi berlabuh di sana. ”Sebagian bangunannya dulu sudah rusak. Rumahnya masih ada. Lingkungannya kini sangat padat, tapi yang lainnya masih sama,” kata Peer, 63 tahun.
Kenangan masa lalu berkelebat di kepalanya. ”Saat itu saya berusia 19 tahun. Semuanya terkesan romantis. Tapi saya dapat mengingatnya dengan jelas,” kata pria kelahiran Aars, Denmark, itu.
Di bar kecil itulah Peer muda berada ketika kerusuhan politik pecah pada 30 September 1965. Kisahnya di bar itu muncul di dalam novelnya, Den Glemte Massakre (2007), yang edisi bahasa Indonesianya diluncurkan penerbitan Qanita (Grup Mizan) pada awal bulan ini dengan tajuk The Forgotten Massacre: Persahabatan dan Cinta di Tengah Tragedi G-30-S PKI.
Peer menulis novelnya berdasarkan pengalamannya selama dua tahun lebih berkitar-kitar di Indonesia, khususnya pada saat pecah peristiwa kelabu itu. Pada hari kejadian, dia mengaku tak tahu apa-apa. ”Kami hanya melihat tak ada buruh yang datang ke kapal, tapi ada banyak tentara berkeliaran. Kami kira itu situasi normal pada masa seperti itu,” katanya.
Sebagian besar adegan dalam novelnya terjadi di bar itu. Tokoh utamanya, Kasper, asisten koki di kapal kargo Clementine, dikisahkan terlibat cinta segi tiga dengan Nadia, peranakan Belanda-Padang yang bekerja di bar itu tapi lebih menaruh hati kepada Thomas, pelaut asing lain.
Meski judul besar novel ini tentang ”pembantaian yang terlupakan”, Kasper pada dasarnya tidak menyaksikan sendiri pembantaian tersebut. Satu-satunya peristiwa yang dialaminya langsung terjadi di tepi Sungai Musi. Sisanya adalah rumor dan cerita tentang pembantaian yang beredar di kalangan pelaut dari Jakarta, Surabaya, hingga Makassar.
Peer menyusun novelnya dalam dua kisah paralel. Satu tentang Kasper dan satu tentang rapat-rapat di markas Dinas Intelijen Amerika Serikat (CIA) yang membahas politik Indonesia. Alur kisah kedua ini dimainkan Ed Rossen, Direktur CIA untuk Timur Jauh, dan Jerry Spikes, mata-mata kawakan.
Dalam novel ini Rossen digambarkan sebagai otak di balik peristiwa 30 September. Untuk menghancurkan komunisme di Indonesia, Rossen merancang munculnya isu tentang rencana kudeta Dewan Jenderal pada Oktober 1965 serta membisiki Presiden Soekarno dan Letnan Kolonel Untung sehingga mendahului rencana itu. Dia pula yang mengatur agar para jenderal mendapat bantuan peralatan radio serta memperoleh daftar anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia yang disusun Ted Morton, agen CIA yang ditanam di Kedutaan Besar Amerika di Jakarta. Kisah kedua inilah yang menjadi fokus dan alasan Peer menulis novel ini. ”Saya percaya 90 persen bahwa peristiwa ini didalangi CIA,” katanya.
Menurut sejarawan Asvi Warman Adam, apa yang diungkap dalam novel ini sebenarnya sudah ada dalam dokumen-dokumen dan buku sejarah yang telah terbit. Novel ini, kata dia, juga memiliki kekeliruan dalam hal fakta, seperti kisah Soeharto mendampingi Soekarno di Halim Perdanakusuma. Padahal Soeharto tidak ada di sana. Juga kisah tentang mayat para jenderal yang ditemukan di selokan, bukan di sumur Lubang Buaya. ”Kelebihan buku ini adalah karena kisah itu disampaikan dalam bentuk fiksi, sehingga ceritanya lebih terasa,” kata Asvi.
Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo