Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WORLD’S GREATEST DAD
Sutradara & Skenario: Bobcat Goldthwait
Pemain: Robin Williams, Daryl Sabara, Alexie Gilmore
DENGAN bayang-bayang sosok John Keating, seorang guru sastra Inggris yang menghidupkan puisi sebagai bagian hidup kita dalam Dead Poets Society, dalam film terbarunya ini, Robin Williams memperlihatkan dia seorang aktor besar. Dalam film World’s Greatest Dad, Robin Williams berperan sebagai Lance Clayton, seorang guru sastra Inggris sekolah menengah atas yang kelasnya hanya berisi tiga orang; ayah Kyle (Daryl Sabara), seorang remaja lelaki yang sangat kurang ajar; dan seorang penulis yang karyanya belum kunjung diterbitkan. Pendeknya, terbalik dari perannya sebagai John Keating yang penuh inspirasi, Clayton adalah seorang pecundang yang membenci dirinya sendiri.
Kyle, seorang remaja tak tahu diri yang cuma memperlakukan ayahnya seperti ATM berjalan, hanya mengisi harinya dengan pikiran porno. Seisi sekolah tak betah dan membenci Kyle. Kyle hanya punya satu teman, Andrew, yang berkawan hanya karena dia tak betah di rumah sendiri.
Suatu hari, karena gemar mencekik diri dengan tali untuk mencapai orgasme, Lance menemukan Kyle dalam keadaan tak bernyawa. Dengan hati hancur, Lance malah menulis sebuah surat perpisahan yang seolah-olah ditulis oleh Kyle. Dia terlalu malu untuk menceritakan kepada dunia bahwa Kyle tewas akibat kegemarannya bermasturbasi. ”Surat perpisahan Kyle” itu menjadi populer karena isinya mengharukan dan puitis. Kyle tiba-tiba menjadi populer dan menjadi tren post-mortem. Seluruh sekolah mendadak mencoba memahami sosok Kyle.
Dari peristiwa itu, Lance malah mengail ”aji mumpung”. Dia diam-diam menulis ”buku harian” yang seolah-olah ditulis oleh Kyle. Langsung ditawarkan penerbit dan sukses di pasaran. Nama Kyle (almarhum) menjadi fenomena. Lance memperoleh sukses melalui nama anaknya; melalui kematian anaknya.
Film drama komedi gelap ini bukan saja menjungkirbalikkan sosok Robin Williams (dalam film Dead Poets Society dan Good Will Hunting), tapi juga membuat kematian seperti sebuah lelucon yang pahit. Tak ada yang jujur tentang sosok Kyle justru setelah dia tewas. Dia menjadi ”pahlawan” karena sebuah kebohongan. Hanya Andrew, satu-satunya kawan Kyle selama hidup, yang tahu bahwa ada sebuah drama buruk yang tengah dibentangkan di atas panggung. Dan Lance, ayah Kyle, adalah ”sutradara” drama buruk itu.
Film ini justru berhasil karena Bobcat Goldthwait berani berterus terang tentang remaja buruk laku seperti Kyle yang memperlakukan ayahnya seperti kain pel belaka. Itu terlihat absurd, tapi percayalah, remaja seperti itu memang ada dan semakin banyak jumlahnya.
Robin Williams tampil sebagai pecundang nomor satu yang tak mampu mengubah nasibnya kecuali ketika putranya sudah tewas. Itu pun terjadi karena dia bertingkah laku seperti burung nazar. Warga sekolah: guru dan kawan-kawan Kyle, juga tak berbeda. Mereka gerombolan pretensius yang tiba-tiba saja ingin merasa dirinya sebagai kelompok peka yang ingin memahami sosok Kyle.
Mungkin film ini tidak mengirim rasa optimisme dan inspirasi untuk menjadi manusia yang terbaik. Tapi film ini adalah satu dari sedikit film yang jujur tentang hati manusia yang paling gelap. Bravo Goldthwait dan Williams!
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo