Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Kisah Mujahidah Bule di Jantung Al-Qaidah

Seorang perempuan Australia menjadi mujahidah di Afganistan bersama Usamah bin Ladin. Pernah mengajar di Pesantren Ngruki.

26 Oktober 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

THE MOTHER OF MOHAMMED
Penulis: Sally Neighbour
Penerbit: Melbourne University Press, 2009

SUARA azan mengantarkan Robyn Hutchinson ke Islam. Dan perempuan Australia ini pun menjadi muslimah. Dia mengganti namanya, dari Robyn Hutchinson menjadi Rabiah Hutchinson. Meski klise, Rabiah tetap mengejutkan ketika kemudian menjadi mujahidah yang berjuang selama 20 tahun di garis depan perang suci global.

Perjalanan panjang jihad Rabiah terekam dalam buku The Mother of Mohammed: An Australian Woman’s Extraordinary Journey into Jihad karang-an Sally Neighbour. Neighbour melakukan serangkaian wawancara mendalam dengan Rabiah. Wartawan investigasi ini butuh waktu lama untuk meyakinkan Rabiah buka suara menceritakan kisah hidupnya. Maklum, Rabiah hingga kini masih dalam pengawasan Dinas Keamanan Nasional Australia, ASIO. Untuk menggenapinya, Neighbour mewawancarai beberapa nama yang disebut oleh Rabiah. Dia juga mengunjungi sejumlah tempat yang pernah disinggahi oleh Rabiah, termasuk sejumlah tempat di Indonesia.

Rabiah memang menjalankan jihadnya di Indonesia pada 1972-1985. Rabiah pernah tinggal di Bali, Solo, dan Jakarta. Di Ibu Kota, bibit radikalisme Rabiah bersemi, tepatnya ketika dia bergaul dengan kelompok-kelompok pengajian. Di masa itu, pemerintah Soeharto menerapkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan yang kontroversial. Para aktivis Islam menjadikan pengajian sebagai sarana gerakan mereka. Rabiah bahkan pernah dicap sebagai musuh Soeharto. Rabiah lalu memutuskan memakai jilbab dan cadar hingga hanya mata birunya yang tampak.

Dalam gerakan usrah itu pulalah Rabiah mengenal Irfan Awwas, tokoh Majelis Mujahidin Indonesia yang dipimpin oleh Abu Bakar Ba’asyir dan Abdullah Sungkar.

Masa-masa sulit dialami Rabiah di Jakarta ketika dia bercerai dengan suami pertamanya, pria Indonesia anak petinggi Orde Baru, yang dinikahinya di Bali. Bersama dua anaknya, Devi dan Muhammad, dia harus tinggal di rumah petak di daerah kumuh Pondok Bambu, Jakarta. Karena nama anak keduanya itulah, kelak di kalangan mujahidin di Pakistan dan Afganistan, Rabiah dipanggil umm Muhammad, ibunda Muhammad, the mother of Mohammad.

Ada kisah menarik ketika Rabiah naik kereta api menuju Pesantren Ngruki, Solo, Jawa Tengah. Ia duduk di lantai, sedangkan teman-teman muslimahnya duduk di bangku. Teman-temannya bertanya mengapa Rabiah tidak duduk di bangku kereta, Rabiah balas bertanya, “Mengapa kalian duduk di bangku, sementara Nabi duduk di lantai?”

Di Ngruki, Rabiah mengajar bahasa Inggris. Di saat-saat luangnya, dia banyak berdiskusi dengan Ba’asyir dan Abdullah Sungkar tentang hukum Islam. Suatu kali Ba’asyir menerima Rabiah di kursi tamu rumahnya di Ngruki, Rabiah berkata kepada Ba’asyir bahwa duduk di atas kursi bukan cara Nabi. Rabiah juga mempersoalkan peci hitam yang dulu dipakai Ba’asyir. “Mengapa Ustad memakai peci yang merupakan lambang nasional,” begitu kira-kira kata Rabiah suatu hari kepada Ba’asyir. Kini Ba’asyir senantiasa memakai topi haji (kupluk).

Rabiah pernah menikah dengan tiga pria Indonesia. Dari pernikahannya itu, dia dikaruniai enam anak. Setelah sempat kembali ke Australia dan tinggal di sana selama lima tahun, pada 1985-1990, Rabiah berangkat ke Pakistan bersama lima anaknya.

Dari Pakistan, dia berjihad membantu kaum Mujahidin Afganistan melawan rezim Najibullah yang merupakan kaki tangan Soviet. Rabiah menjadi tenaga paramedis di Pakistan. Setelah pasukan Mujahidin berhasil merebut kekuasaan, jihad Rabiah di Pakistan selama sekitar lima tahun pun tamat. Rabiah dan anak-anaknya kembali ke Australia. Hingga buku ini diterbitkan, Rabiah berada dalam pengawasan Badan Ke-amanan Nasional Australia, ASIO.

Buku ini menarik dibaca karena bahan-bahannya diperoleh dengan teknik reportase mendalam dan ditulis dengan gaya bertutur. Membaca buku ini, kita seolah sedang membaca novel. Buku ini juga bisa menjadi bahan literatur untuk memahami daya tarik Islam sebagai agama sekaligus sebagai ideologi.

Usman Ks.
Alumnus Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus