Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rifwan Hendri
*) Praktisi media
"POSKO TV One: Pasar Pauh Kambar Padang Pariaman”. Demikian running text di layar televisi berita itu pascagempa mengguncang Sumatera Barat, 30 September lalu. Yang menggelitik dari kalimat di atas adalah upaya mengindonesiakan nama Pauh Kambar, satu daerah di Kabupaten Padang Pariaman, yang juga luluh-lantak terkena lindu berkekuatan 7,9 skala Richter itu.
Nama asli ibu kota Kecamatan Nan Sabarih (sering diterjemahkan menjadi Nan Sabaris) itu, sesuai dengan dialek sehari-hari masyarakat adalah Pauah Kamba. Artinya dalam bahasa Indonesia adalah mangga kembar. Kepopuleran nama itu bagi masyarakat Padang Pariaman seperti menyebut Mangga Dua bagi warga Jakarta.
Kata Pauah mungkin wajar bila diindonesiakan menjadi Pauh karena masih memiliki kesamaan arti. Namun, ketika Kamba menjadi Kambar, nama ini terdengar aneh. Lagi pula kata tersebut tidak mempunyai arti yang jelas karena tidak dikenal dalam bahasa Minang. Kalaupun kambar versi Indonesia dilekatkan pada nama tersebut, artinya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kura-kura. Tentu sangat meleset dari makna kata kembar.
Inilah salah satu contoh salah kaprah yang sudah lama terjadi di Sumatera Barat dalam hal menerjemahkan nama-nama daerah. Apalagi nama tersebut kemudian melekat ke nama sekolah, nama pasar, dan nama pusat kesehatan masyarakat.
Di Padang Pariaman, misalnya, ada daerah lain bernama Sungai Sariak. Sariak adalah sebutan untuk sejenis bambu. Artinya sungai yang di sisinya banyak terdapat pohon bambu. Namun warga, ataupun pejabat setempat, sering mengindonesiakan nama Sariak tersebut menjadi Sarik. Dalam bahasa Minang, artinya melenceng jauh dari bambu menjadi susah. Adapun dalam bahasa Indonesia kata sarik juga tidak dikenal.
Penerjemahan yang salah kaprah ini tampaknya sudah menjadi hal yang resmi. Lihat misalnya nama-nama nagari dan kecamatan di kabupaten serta kota di daerah ini. Masih di Kabupaten Padang Pariaman, Kecamatan Ulakan Tapakih berubah menjadi Ulakan Tapakis. Demikian pula Sungai Garinggiang menjadi Sungai Geringging. Tapakis tidak ditemukan artinya dalam bahasa Indonesia. Sementara itu, akan terasa lucu bila mendengar ”sungai kesemutan” karena geringging berarti kesemutan menurut KBBI.
Di Kota Padang, misalnya, ada Kecamatan Lubuak Bagaluang. Artinya adalah lubuk yang melingkar. Dalam administrasi resmi pemerintahan, nama ini berubah menjadi Lubuk Begalung. Sekali lagi, kalau memang perlu nama ini diindonesiakan, kenapa tidak menjadi Lubuk Melingkar saja, karena tidak ada arti begalung dalam bahasa Indonesia.
Meskipun kata lawas dalam arti lebar dan lapang telah diadopsi KBBI, rasanya tetap kurang tepat untuk menggantikan kata laweh untuk nama daerah Padang Laweh, Ladang Laweh, Bancah Laweh, dan Koto Laweh. Demikian pula pengindonesiaan koto menjadi kota, seperti Kabupaten Limapuluh Kota atau nama daerah Kota Baru. Hal yang sama juga terjadi pada kata aia yang diubah menjadi air untuk nama daerah Sulit (dari Sulik) Air, Air Angek, atau Jambu Air.
Ada yang menyatakan bahwa semangat penerjemahan ini adalah salah satu bentuk sikap terbuka dan inklusivitas masyarakat Minang. Dengan menerjemahkan nama tersebut diharapkan pemahaman dan interaksi dari pihak luar menjadi lebih mudah. Secara politis, penerjemahan nama-nama daerah juga gencar dilakukan pascapemberontakan PRRI Permesta 1958.
Munculnya nama-nama baru ter-sebut tentu sangat disayangkan karena bisa melunturkan makna aslinya. Ia tidak sekadar menjadi pembeda satu tempat dibanding tempat lainya, tapi lebih jauh dari itu, sebagai salah satu cara bagi masyarakat Minang untuk mempertahankan dan menjaga warisan sejarah serta kekayaan budaya setempat. Bila kata sederhana seperti nama daerah tersebut sudah tercerabut dari makna dan pengertian aslinya, tentu semakin berat mempertahankan berbagai ungkapan, pantun, pepatah, dan idiom Minang yang penuh metafora.
Sudah seharusnya nama-nama terjemahan itu dikembalikan ke bentuk khasnya. Termasuk Bukik Tinggi untuk Bukittinggi, Batu Sangka untuk Batu Sangkar, Tanah Data untuk Tanah Datar, Payo Kumbuah untuk Payakumbuh, serta puluhan, mungkin ratusan nama lain yang telanjur diterjemahkan di tingkat kabupaten, kota, kecamatan, dan nagari.
Paling tidak, ada sejarah yang melekat pada nama asli ini. Salah satu contoh nama Kecamatan Banuhampu di Kabupaten Agam. Banu berasal dari bahasa Arab, yang berarti keluarga atau keturunan. Adapun kata hampu berasal dari mampu sehingga arti lengkapnya keluarga atau keturunan orang yang mampu secara ekonomi. Nama ini lahir karena daerah Banuhampu memang sangat subur sejak zaman dulu dan terkenal sebagai penghasil palawija. Kesuburan lahan inilah yang membuat orang-orang Banuhampu kuat secara ekonomi.
Untunglah nama Banuhampu yang terletak di dekat Kota Bukik Tinggi ini terpelihara dan tidak ikut diterjemahkan menjadi ”banuhampa”, misalnya. Kalau begitu, tentu artinya menjadi sangat tidak jelas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo