TERLAMBAT hanya beberapa menit, pintu sudah ditutup rapat. Di dalam gedung, penonton dilarang merekam. Dilarang memotret. Tak boleh merokok - apalagi kretek. Dilarang membawa makanan. Tak boleh mondar-mandir. Bahkan yang memakai jam tangan berbunyi biip . . . biip. . . harus dimatikan. Batuk pun jika perlu harus ditahan. Barangkali ini larangan yang pertama kali terjadi bagi penonton sebuah pertunjukan musik di Indonesia. Ketika Jumat pekan lalu Orkes Simfoni Jakarta (OSJ) mengadakan pergelaran di Balai Sidang Senayan, Jakarta. Bagi OSJ, pengalaman ini pun sukar terjadi lagi. Mereka bermain di hadapan sekitar seribu penonton terpilih dan hampir diam tanpa bergerak, di atas panggung berbentuk kubah yang menelan biaya Rp 14,3 juta. Dengan keheningan begitu, penampilan OSJ dengan konduktor F.X. Sutopo dan solis Adidharma terasa anggun. Padahal, semuanya ini - termasuk para penonton yang gratis itu - hanya sekadar "kelinci percobaan". Kerepotan itu tak lain untuk menguji akustik Balai Sidang, sebelum dipakai pergelaran orkes dari Amerika, New York Philharmonic Orchestra (NYP), yang akan main di tempat sama, 6 September nanti. Pemilihan Balai Sidang sudah diputuskan ketika Managing Director NYP, Albert K. Webster, datang di Jakarta, Januari lalu. Alasannya, bukan karena akustiknya lebih baik - ketimbang Studio V RRI tempat OSJ biasa berpentas, misalnya - tetapi daya tampung penonton lebih banyak. (TEMPO, 11 Februari). Urusan akustik akan ditanggulangi tersendiri oleh para ahli dari AS itu. Upaya penanggulangan akustik itu, pekan lalu, dipercayakan kepada Joseph H. Kluger, seorang pemain piano yang jabatannya manajer orkes di NYP. Kluger menjadi satu-satunya orang yang boleh mondar-mandir pada malam uji coba itu. "Saya cukup puas dengan panggung ini, bisa menampung 110 pemain kami," katanya, selesai OSJ membawakan nomor perdana, karya lincah Komponis Rossini Girl from Algiers. Ketika OSJ siap dengan nomor kedua, Violin Concerto No.3 dari Mozart, Kluger menuju balkon. Ia tampak geleng-geleng kepala ke arah penonton yang suka memutar-mutar tubuhnya. Maklum, kursi di Balai Sidang belum terbiasa pada musik klasik: berderenyit jika diputar. Dan kekecewaan Kluer memuncak ketika Adidharma mendemonstrasikan kemahirannya dalam solo biola, melompati nada dengan artikulasi yang prima. Tapi kali ini bukan karena penonton. "Dengung AC gedung ini cukup mengganggu," kata Kluger kemudian. Pada saat istirahat, sambil memberi kesempatan penonton yang tertahan di luar karena terlambat, Kluger berdiskusi dengan dua orang rekannya. Kesimpulan yang diambil, suara AC gedung ini akan diperkecil dengan menutup salurannya yang diperkirakan bocor. Selesai pergelaran, Kluger mengacungkan jempol kepada Sutopo yang berhasil memimpin orkes malam itu. Tak sia-sia Direktur Kesenian Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen P & K ini berlatih bersama OSJ selama enam kali, hanya untuk uji coba itu. Namun, Kluger yang simpatik itu sependapat dengan Sutopo dan Adidharma, Balai Sidang begitu buruk akustiknya untuk sebuah musik klasik. Untuk membenahinya, diperlukan biaya yang tak sedikit - penonton di belakang kurang jelas mendengar alunan biola. Jalan keluarnya, panggung yang dikerjakan di bawah pengawasan Ir. Tatan Pangestu dan Eduard Tjahjadi - dengan desain yang dikirim dari New York - akan dirombak sedikit. Karpet serta foam akan diganti, dari bahan yang bisa memantulkan suara. Sutopo memahami kesulitan yang dihadapi NYP. "Untuk musik klasik, hanya studio V RRI yang akustiknya memadai, sayang tak banyak penonton bisa ditampung," kata Sutopo. Sedangkan Teater Besar TIM, yang dibanggakan sebagai gedung pertunjukan terbaik di Asia Tenggara, akustiknya sangat payah. "Bulan lalu, ketika OSJ main di sana, rasanya mau nangis," kata Sutopo. Bagaimana dengan "gangguan" dari penonton? Kluger ternyata tidak begitu merisaukan, jika kelak dalam pergelaran NYP ada yang berisik. Apalagi, Zubin Mehta, salah seorang konduktor terbaik dunia saat ini yang memimpin penampilan NYP, dikenal tak begitu menghiraukan ulah penonton. Walau begitu, Kluger tetap berharap, "penonton hendaknya tetap menjaga disiplin seperti malam itu," katanya. Uji coba itu iuga semacam pelajaran, bagaimana menonton musik klasik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini