VONIS mati jatuh lagi. Sekali ini di Pengadilan Negeri Padangsidempuan, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, dan menimpa Amir Gong dan Berlin, 23 Maret lalu. Pada sidang hari itu majelis hakim yang diketuai Yus Siregar berkeyakinan, kedua lelaki muda itu terbukti telah membunuh dua hajah kakak beradik yaitu Sariawan, 55 dan Salamah, 50. Pembunuhan dilakukan sebelum harta kedua korban berupa emas berlian dirampok. Dua terpidana lain, Ahmad Rivai, 18, dan Khairuddin, 18, yang turut membantu kejahatan masing-masing kena 10 tahun dan 5 tahun penjara. Beitu palu vonis diketukkan, pengunjung yang memenuhi ruang sidang bertepuk tangan. Rupanya, mereka menganggap hukuman yang dijatuhkan setimpal dengan perbuatan terpidana. Sebaliknya kepala para terpidana, yang sejak semula menyangkal tuduhan, menekur dalam. Mereka menganggap hukuman itu tidak adil dan tidak pada tempatnya. Karena itulah kedua terpidana mati kontan mengajukan banding ke pengadilan tinggi. Proses banding itu selanjutnya masih terus diurus pembela mereka, Dahlan Tanjung. Penyangkalan para terpidana, antara lain, karena barang bukti berupa emas berlian yang dituduhkan telah mereka rampok tak pernah diajukan ke muka sidang. Ramlan Lubis, 25, yang disebut-sebut sebagai penadah hasil jarahan dan diajukan sebagai saksi, juga menyangkal keras. "Kalau betul saya yang menadah, mana itu emasnya?" katanya gusar. Barang perhiasan yang dikabarkan hilang memang tak pernah diketahui berapa banyak dan bagaimana bentuknya. Tak ada saksi yang tahu, karena Sariawan dan Salamah yang tergolong paling kaya di Desa Iparbondar, Tapanuli Selatan, hanya hidup berdua. Kedua janda ini tak punya keturunan. Sebab itu, tidak ada yang langsung mengetahui ketika mereka dibunuh. Tahu-tahu esok harinya para tetangga menjumpai kedua hajah itu telah menjadi mayat yang berlumur darah. Pembunuhan itu terjadi pada dinihari, menjelang makan sahur, bulan puasa, Juli 1983. Setelah Gong, 22, dan kawan-kawan berembuk, begitu menurut tuduhan Jaksa Amri Taufik, mereka menuju rumah yang dihuni korban. Tujuan mereka: merampok emas berlian milik dua janda kaya yang sudah tua itu. Dari hasil sawahnya yang cukup luas, kakak beradik hajah itu memang hidup berkecukupan dan diketahui suka membeii perhiasan. Kata Jaksa, Gong dan ketiga kawannya masuk ke dalam rumah korban dengan jalan mencongkel jendela. Rupanya, mendengar suara berisik, Sariawan dan Salamah terbangun. Gong dan Berlin, begitu tuduh Jaksa, lantas menghantamkan linggis mereka ke arah kepala. Begitu kerasnya pukulan, sampai-sampai korban tak sempat mengaduh dan langsung tersungkur berlumuran darah di lantai. Bahkan, sebelah tangan Sariawan sampai remuk dan patah menjadi tiga. Kawanan pembunuh itu lalu dengan bebas mengambili emas berlian, kemudian menghilang dalam gelap. Esok paginya, penduduk pun gempar. Tapi dalam persidangan, Gong dan kawan-kawan membantah sebagai pelaku kejahatan tadi. Mereka, seperti sering dilakukan banyak terdakwa dalam sidang, menyatakan terpaksa mengaku sebagai pembunuh karena tak tahan siksaan polisi. Suatu malam, misalnya, seperti dituturkan Rivai, ia dibawa ke luar dari tahanan dan dibawa ke tepi sebuah sungai. "Di situ kepalaku dibenamkan ke dalam air sampai megap-megap. Setelah itu, polisi meletuskan pistol dekat kupingku," kata Rivai. Ia, seperti juga menurut Gong, dan Khairuddin, mengaku berada di rumah saat peristiwa pembunuhan terjadi. "Malah waktu itu saya sedang sakit," ujar Khairuddin. Sedangkan Berlin, 23, mengaku tengah berada di kebun karet dan baru esok harinya mendengar kabar tentang peristiwa tragis itu. Sayangnya, keterangan mereka tidak didukung oleh saksi-saksi, hingga majelis hakim meragukan kebenaran mereka. Apalagi keterangan Gong. Residivis yang sudah dua kali dihukum karena mencuri itu menurut Jaksa, berada di tempat kejadian saat pembunuhan berlangsung. Gong rupanya sedang sial. Begitu melarikan diri, bajunya tersangkut di pagar dan sobekannya ditemukan polisi. Sewaktu Kopral Dua Rusli dan Sersan Dua Viktor dari Polsek Panyabungan menggeledah rumahnya, mereka menemukan baju sobek penuh bercak darah. Ketika dicocokkan bekas sobekannya ternyata persis dengan yang ditemukan di pagar rumah korban. Gong pun ditangkap dan dari keterangannya para tersangka lain bisa dijaring. Untuk membuktikan adanya penyiksaan yang mereka alami di dalam tahanan, Gong dan temannya pernah meminta Calon Perwira (Capa) M. Karo-Karo dan Sersan Dua Landong dari kepolisian Tapanuli Selatan diajukan sebagai saksi. Kedua orang itulah, kata mereka, yang melakukan penyiksaan sebelum berita acara dibuat - dan terpaksa mereka teken. Namun, permintaan ini tak dikabulkan hakim. Alasan Yus Siregar: tak ada relevansinya dengan perkara. Lagi pula, keempat orang yang diadilinya selalu saja memberikan keterangan yang berbelit-belit, hingga ia meragukan itikad dan kejujuran mereka. Tentang hukuman mati yang dijatuhkan terhadap Gong dan Berlin, Yus menilai hal itu sudah sesuai dengan rasa keadilan. "Pembunuhan itu tak berperi kemanusiaan," katanya kepada TEMPO. Terhadap kedua orang itu, semula Jaksa menuntut hukuman masing-masing 20 tahun penjara. Sedangkan bagi Rivai dan Khairuddin 10 dan 5 tahun sama dengan vonis yang kemudian dijatuhkan. Gong dan Berlin merupakan orang pertama dan kedua yang tahun ini divonis mati pada pengadilan tingkat pertama. Tahun lalu, paling tidak ada tiga terdakwa kasus pembunuhan yang dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan. Rojai, 25, divonis mati oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara karena terbukti merampok dan membunuh. Ia disebut-sebut tak kalah hebat dibanding Kusni Kasdut atau Henky Tupanwael - keduanya sudah menjalani eksekusi (TEMPO, 5 Maret 1983, Hukum). Tahun 1983 juga, Puji Hadiatmoko, 22, divonis mati Pengadilan Negeri Malang karena telah menjagal tiga kenalannya dan membuang mayat mereka ke dalam sumur di belakang rumah. Lalu Sucianto, pengusaha pupuk dari Sragen, yang bersama anak dan istri serta ibunya dituduh membunuh pembantu mereka, Karsinem. Di Mahkamah Agung, hukuman Sucianto diperingan menjadi 7 tahun, setelah sebelumnya Pengadilan Tinggi juga meringankannya dari hukuman mati menjadi 13 tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini