Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ternyata tak mudah berbahasa Indonesia.
Misalnya ada yang bertanya: mengapa kita sebut kantor A mengurus ”perkebunan” sedangkan kantor B ”kehutanan” (bukan ”perhutanan”)?
Saya tak dapat menjawab.
Ternyata tak selalu gampang memahami kata-kata Indonesia.
Apa arti ”tegar”, sebenarnya? Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1976), kata itu berarti: ”keras kaku,” ”keras hati”; ”keras kepala”; ”tidak mau menurut”. Saya selalu menganggap kata ini terjemahan yang bagus bagi kata Inggris ”rigid”—untuk menunjuk sikap yang tak luwes dan sebab itu kurang baik. Tapi makin banyak yang memakai kata ”tegar” sebagai padanan kata ”teguh”—yang merupakan sikap yang baik.
Saya mencoba terus menjaga agar kata ”tegar” berarti ”keras kaku”. Alasan saya: jika kata itu jadi padanan kata ”teguh”, bahasa Indonesia akan kehilangan kata lain untuk mengartikan ”rigid”.
Tapi saya tidak yakin, akan berhasilkah saya.
Bahasa itu hal yang hidup, demikian kata orang yang arif. Sepatah kata beredar dari mulut ke mulut, dari kepala ke kepala, dari komputer ke komputer. Dalam pergerakan itu, risiko selalu ada: kata itu akan bergeser atau berubah artinya.
Bahkan Paul de Man, seorang teoretisi sastra, berpendapat bahwa bahasa secara hakiki mengandung kemungkinan untuk bersifat ”alegoris”. ”Alegori” berasal dari bahasa Yunani, allegorein, artinya secara harfiah, ”bicara yang sebaliknya”. Dalam pengertian umum, ”alegori” berarti ”bicara tentang satu hal” tapi maksudnya adalah ”hal lain”.
Tapi, jika demikian, bagaimana mungkin terjadi saling pengertian dalam berkomunikasi?
Ada beberapa cara. Yang pertama, dan yang paling penting, melanjutkan percakapan, seraya saling menjajaki arti kata yang dimaksud ”pihak sana”. Di situ pintu tak ditutup untuk perbedaan dan perubahan tafsir. Sekarang, misalnya, Majelis Ulama Indonesia menganggap ”liberalisme” semacam dosa. Tapi dapat ditunjukkan bahwa kata itu tak berarti sama bagi orang lain. Kata ”liberal” bagi para pemikir di kalangan Jaringan Islam Liberal tak sama dengan yang dipakai di kamus politik Inggris. Kata ”liberal” di Inggris 100 persen berbeda artinya dari yang dipakai di Amerika Serikat. Maka Majelis Ulama tak dapat memaksakan tafsirnya; tak seorang pun berhak menentukan arti yang final.
Cara yang kedua: membuat kesepakatan yang awet sedapat mungkin. Ada sepatah kata yang akhir-akhir ini mengusik hati saya, yakni ”emosi”. Misalnya, ”Kamu jangan emosi!” Dalam aturan tata bahasa, ”emosi” itu sepatah kata benda; kata sifatnya ”emosional”. Maka kalimat yang benar seharusnya, ”Kamu jangan emosional!”
Tentu saja pendirian itu dapat dibantah: dalam bahasa Indonesia acap kali kata sifat dan kata benda tak dapat dibedakan bentuknya. Misalnya: ”Orang sekampung itu rukun”—dan kata ”rukun” di sini sebuah kata sifat. Tapi juga bisa orang berkata, ”Rukun itu indah”—dan kata ”rukun” di sini sepatah kata benda atau yang dianggap benda.
Memang begitu. Namun, menurut hemat saya, tetap perlu dibedakan antara bentukan kata benda dan kata sifat—dan hasilnya agar disepakati. Sebab, bahasa mengundang dan memungkinkan juga sikap analitis: kata ”emosional”, jika kita simak dan kita urai baik-baik, tak sama dengan kata ”emosi”. Dan kita perlu membedakan kedua kata yang akarnya satu itu.
Bahasa membutuhkan ”pembakuan”, agar ada sedikit kepastian dalam arti. Ini terutama penting bagi bahasa keilmuan dan terutama dalam proses hukum. Bayangkan apa akibatnya seandainya masing-masing kita tak mempedulikan beda pengertian ”menggagahi” dengan ”menggagahkan”.
Bahasa memang sebuah bangunan ”salah” kaprah. Anjing kita sebut ”anjing” bukan karena bunyi kata itu cocok dengan si makhluk (yang dalam bahasa lain disebut dengan kata yang berbunyi lain, misalnya dog). Anjing kita sebut ”anjing” karena entah kapan dan dari mana telah terbentuk kesepakatan—tak peduli keliru atau tidak—buat memakai kata itu. Salah? Benar? Pendeknya: sudah kaprah, bahwa makhluk itu ”anjing”, dan bukan ”kucing” atau ”ayam”.
Dari sini tampak, bahasa hidup dengan saling pengaruh yang bergerak terus antara kesepakatan lama dan kesepakatan baru—juga antara ”hukum” yang menyebabkannya beraturan dan ”celoteh” yang menyebabkannya hidup, praktis, dan efektif.
Dalam bahasa Indonesia, proses itu memang masih membingungkan, terutama karena media massa bersikap seenaknya. Sementara itu para penyusun kamus dan tata bahasa seperti gagap terbata-bata.
Walhasil, apa boleh buat: kita perlu berikhtiar terus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo