Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Berkeliaran di Rimba Jazz

Szwed asyik bercerita tentang legenda di seputar klub jazz. Pemusik, pelukis, dan pengedar obat bius berkumpul.

1 Desember 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Memahami dan Menikmati Jazz
Penulis: John F. Szwed
Penerbit: Gramedia
Edisi: 2008
Tebal: x + 275 halaman

PADA 1960-an, Slug Saloon adalah bar yang jauh dari kehidupan malam Kota New York. Lingkungan kumuh menjadikan tempat yang terletak di East 3rd Street, pinggiran Manhattan (Lower East Side), itu terlampau berbahaya. Untuk mengusir pedagang obat bius, pemilik klub ini mengundang Sun Ra’s Arkestra, yang menjerit di kegelapan yang nyaris total. Tak lama, penyair pun berdatangan, lalu pelukis, disusul selebritas (Salvador Dali muncul di suatu malam, dikelilingi para pembantunya yang membawa lilin).

Di klub ini pengunjung bisa menyaksikan Sonny Rollins memasuki bar dan tampil pada suatu malam, lalu pulang berjalan kaki, sambil tetap bermain; atau mendengarkan Ornette Coleman memainkan saksofon plastik; atau, di malam yang nahas, menyaksikan istri pemain trompet Lee Morgan menembak musisi ini di panggung.

Suasana malam seperti di Slug Saloon memberikan andil pada pertumbuhan jazz. Namun klub bukan sekadar tempat musisi unjuk aksi. Szwed, dalam buku yang diterbitkan Gramedia bulan lalu ini, meletakkan cerita dan legenda di seputar klub jazz sebagai momen-momen yang membentuk musik ini. Di klub jazz, musisi tumbuh dewasa; tempat kesalahan dimaklumi, keberhasilan dirayakan. Di sini musisi nongkrong, mendengarkan rekannya bermain, atau ber-jam session.

Bagian terbesar sajian Szwed membentang sejak Louis Armstrong hingga 1960-an—serta sedikit porsi untuk jazz era 1980-1990-an dan ”jazz Eropa”. Keti-ka itu, arus utama jazz masih mengalir baik, hingga di medio 1960-an rock and roll memperkuat cengkeramannya. Banyak klub jazz gulung tikar atau beralih ke rock, lalu jadi diskotek. Di masa jayanya, menurut Szwed, jazz merambah keluar lewat beragam representasi—rekaman, film, sastra, iklan, pakaian, pidato, makanan, dan minuman.

Tapi apa jazz itu sehingga pengaruhnya begitu luas? Louis Armstrong menjawab, ”Kalau kamu bertanya, kamu tidak akan pernah tahu.” Jazz bisa dikenali, meski tak mesti dijelaskan dengan kata-kata. Jazz menolak definisi. Buku ini pun menghindari definisi, tapi memaparkan unsur-unsur pembentuk jazz.

Szwed, sebelum bertutur perihal sejarah jazz, mengurai bentuk, sumber, aransemen, komposisi, dan improvisasi. Juga bagaimana ”cara” mendengarkan jazz. Ini sekadar pembuka untuk kemudian kita diajak menyusuri kisah kehebatan musisi jazz yang sanggup menciptakan momen luar biasa intens hingga penonton tergerak, melompat dari tempat duduk, atau berteriak spontan.

Tentu saja, diskusi ihwal improvisasi beroleh penekanan. Sudah lama improvisasi dianggap ciri khas jazz, walau banyak musik lain berimprovisasi dalam derajat tertentu. Ada benarnya pendapat Szwed: musisi jazz berlaku seolah jazz-lah satu-satunya jenis musik yang menitikberatkan kreativitas instan dalam permainannya. Musisi jazz berbicara melampaui apa yang dikomposisikan, melebihi interpretasi ala kadarnya, menuju tingkat kreativitas yang lebih inspiratif dan spontan. Mereka sanggup mencapai kondisi trans, berada di garis batas kesadaran dan ketaksadaran.

Szwed tak berusaha menyembunyikan aroma favoritismenya di buku ini. Sewaktu mengulas Fooling ”Myself” Quintessential Billie Holiday, Vol. 4, Szwed menulis: ”Saat mencapai bridge, dengan amat luar biasa ia bernyanyi begitu jauh di belakang beat sehingga seolah-olah lagu itu akan tercerai-berai. Dia memiliki kepekaan ketukan serupa dengan apa yang Mozart dan Chopin sebut sebagai tempo rubato, yaitu kemampuan untuk berkeliaran jauh dari iringan yang ketat namun akhirnya dapat kembali ke ketukan yang tepat.”

Kapasitasnya sebagai guru besar antropologi musik memungkinkan buku ini tersaji begitu renyah. Ada antusiasme personal, dan ini yang justru membuat kita sedia mengarungi karya Szwed hingga selesai. Sayangnya, Szwed menempatkan nyanyian jazz sekadar lampiran, walau ia menulis ”tak ada alasan untuk tidak menganggap vokal bagian penting dari jazz”. Mungkin ia tak bisa sepenuhnya menghindar dari pendapat pasar bahwa kontribusi terpenting dalam jazz diberikan oleh instrumentalis, dan jazz, pada intinya, adalah musik instrumental. Padahal, tak bisa ditampik, Louis Armstrong, Nat ”King” Cole, Sarah Vaughan, dan Ella Fitzgerald memberikan kontribusi yang hebat.

Tapi, sesudah semua itu, apa? Masihkah jazz menarik? Jawabannya mungkin seperti yang dikatakan Max Harrison: jazz tak bisa mengulang masa lalu sekaligus tak keluar dari masa lalu. Jazz selalu bertambah dan berubah dari yang telah ada. Pendeknya, akan selalu enak untuk dinikmati.

Dian R. Basuki, penulis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus