ANDREE Colson, seorang wanita. Ia memimpin orkes gesek Perancis
yang didirikannya sendiri pada tahun 1955. Tanggal 6 Pebruari
yang lalu, bersama 11 rekannya, tiga orang di antaranya pria,
Colson muncul di Studio V RRI Jakarta. Pembagian tugas dalam
rombongan itu enam orang memegang biola, dua biola alto, satu
cello, satu bass dan satu yang disebut harpsiscor. Semua
peralatan non elektronis.
Dengan pakaian serba hitam mereka membawakan karya T. Albinoni,
J.M. Leclair (telah ditranskripsi Renee Violier), Vivaldi dan
J. Turina. Untuk gongnya dimainkan karya Jacques Chailley yang
selama ini mensuplai ansambel instrumental Andree Colson.
Bagi kegiatan musik di Jakarta, pergelaran ini merupakan
informasl yang cukup berharga. Ini karena Colson di akui
sebagai wanita yang memberi nafas baru pada dunia musik ansambel
instrumental. Ia khusus mendalami musik klasik. Karya modern
sesekali ia mainkan juga. Tapi itu setelah dipadukan dengan
unsur klasik. "Saya tidak mencipta lagu sendiri, saya hanya
memainkannya," ujarnya kepada Marga na dari TEMPO.
Orkes ansambel Andree Colson termasuk satu di antara tiga atau
empat orkes yang pada masa ini dianggap terkemuka. "Kekhususan
kami boleh jadi karena kami berusaha menyalurkan perasaan
melalui gerak pundak, tangan dan jari jemari, bukan memakai
teknologi peralatan modern," kata Colson lebih lanjut. Di
samping tampil di dalam konser, Colson memiliki 6 buah piringan
hitam. Termasuk resitalnya sendiri untuk karya Vivaldi, Rossini
dan Mouret. Pada penampilan di studio V permaman perorangan
kelihatannya mantap kerjasama pun terasa kompak. Ini menunjukkan
adanya pengertian yang mendalam antara sesama anggota di samping
ketekunan pribadi-pribadi. "Untuk memperoleh itu, selama 24
tahun, kami hanya menambah 5 pemain "kata Colson pula. Ia
menunjukkan betapa berhati-hatinya ia menyusun kekuatan
grupr-ya. Waktu didirikan anggotanya hanya 6 orang plus
Beatrice Colson, puterinya sendiri.
Wanita itu kini berusia 55 tahun. Ia menjadi ibu dua orang anak.
Selain mengorganisir orkes itu, apakah ia juga bertindak sebagai
pemimpinnya "Kira sdma-sama menjadi pen-impin," ujarnya dari
kepribadian semacam itu, wajar kemudian jika ia mendekati
pengarang lagu Jacques Chailley untuk mengarang buat
ansambelnya. Chailley juga sering tampil mengaransir lagu-lagu
yang hendak ditampilkan. "Kami memang memainkan karya orang
lain, tapi jiwa dan penghayatan kami mempunyai peranan besar
dalam penampilan," kata Coison.
Rombongan ini sudah tetirah ke Amerika Serikat, Kanada, India,
Hong kong, Pilipina, Muangthai dan tentu saja di kawasan Eropa
sana. Mungkin karena ia seorang wanita maka ia jadi dekat sekali
pada alam. Itu pulalah yang terbawa di dalam orkes. "Kami selalu
menekankan kehalusan akan te tapi juga selalu berusaha untuk
dinamis dalam permainan," katanya. "Kami memilih warna dan
penghayatan pada hal-hal yang manis. Segala sesuatu tentang
alam, seperti rumput, hutan, ladang pertanian yang ada di tempat
kami, membangkitkan sesuatu yang khusus kepada rekan-rekan
saya."
Nyonya Colson memang hidup bersama seorang petani -- suaminya.
Mereka menempati sebuah rumah di daerah pertanian Vernou --
Perancis. Di sana ia juga mengundang para remaja yang berbakat
dari seantero penjuru dunia untuk belajar main musik. Pendidikan
itu sudah menjadi semacam lembaga. Bahkan entah dari mana
biayanya, ia juga menyediakan bea siswa bagi bakatbakat muda
itu.
Darah Yang Meruap
"Kami bukan hanya mengajar pengetahuan musik, terutama sekali
saya juga memberikan penghayatan musik kepada mereka," kata
Colson. Tentu saja ia tidak sembarang terima murid. Nyonya ini
mengaku benar-benar hanya memilih calon siswa yang berbakat
bagus dan trampil. "Di samping juga yang bisa menjiwai musik,"
kata Colson. Dari lembaga itulah ia memperkuat kelompoknya
dengan 5 orang anggota lagi. Di antaranya ada yang berasal dari
Amerika Serikat, Swiss dan Jepang. "Musik bersifat
internasional, untuk itu saya tidak membedakan kebangsaan
pemain," kata Colson lebih lanjut.
Yang dilakukan oleh nyonya yang gigih ini memang sangat
mengesankan. Terutama sekali karena ia tidak hanya hadir sebagai
tukang. Ia menghidupkan karya klasik, memberinya interpretasi,
mengisinya dengan darah yang meruap dari dunia pertanian
suaminya. Sesuatu yang barangkali dapat menjelaskan bahwa pada
musik tidak benar hanya musiknya yang penting. Manusia yang
memainkan musik itu juga tak kalah pentingnya. Dan dalam hal
ini, agaknya kita di Indonesia masih kalah. Kata orang kita
masih megap-megap untuk menguasai persoalan teknis. selum sampai
pada kondisi berekspresi secara bebas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini