Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Buddha Kurus di Museum Nasional

Universitas Nava Nalanda Mahavira, India, menggelar pameran jejak Buddha di Museum Nasional, Jakarta.

18 Mei 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok patung berwarna hitam itu membetot perhatian. Ia nyaris seperti tengkorak hidup. Patung itu duduk bersila dalam posisi telapak tangan menengadah di depan pusar. Wajahnya sangat tirus. Matanya juga seperti gowong, sangat menonjol tulang mata dan tulang pipinya. Badannya tinggal tulang dan kulit. Urat-urat darah menyembul di tulang-tulang dadanya. Perutnya mencelong dalam hingga membentuk rongga yang menekan punggungnya. Inilah sosok replika patung Buddha berpuasa.

Sosok patung ini terlihat menonjol di antara replika artefak Buddha yang ditampilkan dalam pameran "Buddha Carika-In the Footsteps of Shakyamuni Buddha" di Museum Nasional, Jakarta, pekan lalu. Beberapa replika artefak dari situs-situs penting Buddha ditampilkan dalam pameran ini, termasuk replika patung Buddha berpuasa setinggi hampir satu meter itu.

"Replika ini seukuran dengan aslinya di Universitas Nava Nalanda Mahavira. Kami tak berani membawa yang asli. Ada juga di Pakistan, tapi sedikit lebih kecil," ujar kurator pameran Dr Rana Purushottam Kumar Singh. Dia adalah pengajar bahasa Pali di Universitas Nava Nalanda Mahavira, penyelenggara pameran ini. Patung yang di Pakistan berasal dari Dinasti Kushan, Gandhara (Pakistan), pada periode abad kedua dan ketiga Masehi. Patung itu terletak di Museum Lahore, Punjab, Pakistan.

Cerita Buddha berpuasa ini, kata Kumar Singh, merupakan cerita yang banyak dikenal umat Buddha dan masyarakat luas. Buddha berpuasa berhubungan dengan kebangkitan spiritual dan pencerahan yang diperoleh sang Buddha. "Buddha berhenti makan dan minum dalam beberapa hari, beberapa bulan, hingga kurus. Tapi kemudian dia menyadari jalannya salah," ujar Kumar Singh.

Pada awal pencariannya, sebelum menemukan ajaran jalan tengah, Sidharta Gautama mempraktekkan meditasi serta hanya memakan sebutir beras dan biji wijen per hari. Hal ini membuat tubuhnya menipis hingga tinggal tulang dan kulit. Konon dia bisa menyentuh punggungnya dengan menekan perut. Seiring dengan perjalanan waktu, Buddha kehilangan tenaga untuk melakukan meditasi. Dia menyadari akan mati sebelum mencapai pembebasan dan berakhir dengan kekerasan. Hingga akhirnya dia menerima bubur susu dari seorang peternak.

Selain menyajikan patung Buddha berpuasa, pameran ini menampilkan replika artefak lain, seperti artefak relief mimpi Ratu Mahamaya, kelahiran Buddha dan tujuh langkah, Buddha Mudra Dharmachakra Pravartana, Dharma Chakra, serta patung tiga singa—lambang Kekaisaran Maurya yang dipimpin Raja Asokha mulai 273 sampai 232 Sebelum Masehi. Pameran ini juga mempertontonkan foto-foto situs penting perjalanan Buddha Shakyamuni. Tempat penting itu adalah Lumbini, Bodhgaya, Sarnath, Kushinagra, Rajgir, Shravasti, Vaishali, dan Sankasia. Vaishali, misalnya, merupakan situs tempat segerombolan monyet memberikan persembahan madu kepada Buddha.

Foto-foto situs Nalanda sebagai bekas pengajaran agama Buddha tertua juga ditampilkan. Universitas ini menghasilkan para archaya atau mahaguru yang disebar ke berbagai penjuru, termasuk Sumatera. Seorang guru dari Universitas Nava Nalanda bernama Archaya Atisa Dipankar belajar ke Sumatera di bawah bimbingan Dharmakirti.

Meskipun hanya menampilkan replika, pameran ini bisa menjelaskan bagaimana sosok Buddha dalam sejarah perkembangan agama Buddha, yang mulanya tak boleh dipatungkan. Saat Alexander Agung dari Makedonia menyerang India pada 326 Sebelum Masehi, banyak serdadu Makedonia yang terampil membuat patung tinggal di Gandhara. Seperti diketahui, para pematung Yunani biasa membuat patung dewa-dewi secara antropomorfis. Dari Gandhara-lah lalu muncul pertama kali sosok Buddha secara realis, termasuk Buddha yang kurus ini. "Patung ini gayanya perpaduan dari Yunani dan Gandhara," ucap Kumar Singh.

Dian Yuliastuti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus