Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tidurlah Sancho
Tidurlah dengan mimpi yang tanpa arah,
dengan lelap dalam sihir orang-orang yang tak berdaya
Tidurlah dengan ambisi yang mati...
Don Quixote, sang majenun, menyabarkan pembantunya, Sancho. Landung Simatupang dan Niniek L. Karim membawakan kalimat di atas seperti orang yang tengah meninabobokan. "Tidurlah Sancho dengan dengkur yang terduga. Kosmos telah melepasmu…." Kedua aktor tersebut bergantian menyajikan gumaman Don Quixote yang diciptakan Goenawan Mohamad. Gumaman yang ditujukan kepada Sancho, sang bujang, sampai Rocinante, sang kuda kurus. Kepada seorang padri dusun sampai kepada pengisahnya sendiri, Sayid Hamid. Suara organ Hammond dan piano yang dimainkan Azfansadra Karim dan Sri Hanuraga melatari pembacaan Landung dan Niniek, yang menyajikan suasana delusional.
Saat Niniek membawakan sajak Teater Boneka, yang berisi bagaimana Don Quixote tengah menonton sebuah pentas teater boneka yang mengisahkan orang-orang Moor menewaskan para kesatria, tiba-tiba Landung seperti setengah memekik. "Diam! Hentikan! Beri aku bagian yang tenteram dari kenyataan!" Musik tiba-tiba berhenti. Don Quixote, tokoh yang tengah dibawakan Landung, menghardik pertunjukan. Selanjutnya, Landung meneruskan sajak Goenawan:
Ia menghunus pedang, ruang itu termangu. "Para penonton harap tenang!" akhirnya sang penata lakon bersuara. "Tapi aku datang untuk membebaskan," jawab Don Quixote gemetar.
Malam itu, kalimat-kalimat Landung dan Niniek, meski membawakan sajak-sajak Goenawan tanpa teks, mengalir jernih, artikulatif. Kita bisa membayangkan bagaimana, dalam delusi beratnya, Don Quixote melakukan perjalanan ke dusun, ke ceruk bukit, gua, gurun, losmen. Pembacaan satu puisi dan puisi lain selalu diberi jeda sejenak, berupa keheningan dan kegelapan. Dalam jeda itu—di tengah kegelapan—kadang muncul ilustrasi video lukisan pasir karya Niar Lazza, pelukis pasir dari Bali, dalam bentuk video animasi.
Kita melihat, dalam sorotan itu, sebuah tangan menaburkan pasir ke sebuah kotak cahaya. Jari-jemari tangan tersebut lalu menggoreskan garis-garis putih yang tak terduga membuat suatu bentuk. Di satu bagian, misalnya, jari-jari itu membuat bentuk seperti elips. Baru ketika jari-jemari tersebut menambah bagian kanan-kiri elips dengan gambar "sayap-sayap", bisa dilihat itu gambar sebuah kincir, yang kemudian pelan-pelan menjadi sosok menakutkan dengan mata melotot. Itu adalah imaji bagaimana dalam khayalan Don Quixote kincir berubah menjadi raksasa.
Goenawan berasumsi pembaca sudah mengerti cerita yang ada dalam sajak-sajaknya. Kita tahu Don Quixote adalah kisah novelis Miguel de Cervantes di abad ke-17 mengenai seorang tua di Spanyol bernama Alonso Quijano yang terlalu keranjingan membaca kisah-kisah kepahlawanan. Ia kemudian membayangkan diri menjadi kesatria Abad Pertengahan. Ia lalu membaptis dirinya menjadi Don Quixote de la Mancha—Tuan Quixote sang penguasa La Mancha.
Ia memakai zirah. Ia membawa tameng dan tombak. Ia menunggang Rocinante. Dan ia memiliki bujang lugu bernama Sancho Panza yang mau menemani petualangannya. Sancho waras, tapi ia tak bisa melawan imajinasi tuannya. Ia mengalah saat tuannya mengira kincir angin sebuah gergasi. Sancho ikut saja saat tuannya membawa dia berkelana mencari kekasih sang tuan, bangsawan Lady Dulcinea, yang sejatinya tak ada. Ia diam saja saat tuannya mengira seorang pelacur di sebuah losmen kumuh sebagai sang Lady.
"Saya suka kesetiaan Sancho," kata Goenawan. Kesintingan-kemajenunan Don Quixote sendiri dalam sajak-sajak Goenawan tidak disodorkan secara fisik. Don Quixote di tangan Goenawan bukan seperti sosok pandir yang patut ditertawai. Juga bukan sosok yang tingkah lakunya konyol. Kedua komponis, Azfansadra Karim, alumnus Prince Claus Conservatorium, Groningen, Belanda, dan Sri Hanuraga, lulusan Conservatorium van Amsterdam, agaknya tahu watak sajak Goenawan. Musik mereka berdua cenderung minimalis menguatkan permenungan Goenawan.
Piano difungsikan membawa melodi dasar, sementara organ Hammond memberikan semacam sound effect. Bagi yang suka sound progressive rock 1970-an, akan terasa suasana psychedelic atau musik-musik "ber-mood bawah sadar" dari musik mereka. "Iringan musik bisa dimainkan dengan full orchestra, tapi kami percaya dua instrumen ini sudah cukup mampu," ujar Adra—panggilan Azfansadra. Keduanya berpendapat sajak Goenawan amat memiliki kekuatan bunyi, sehingga mereka menginginkan musik yang tak mengganggu bunyi sajak. "Karena bunyi bertemu bunyi, kita harus mencari celahnya," kata Adra. Ia menyebut aransemen musik banyak dipengaruhi Igor Stravinsky, yang melodinya simpel, gampang diingat.
Mereka membuat komposisi berdasarkan karakter setiap tokoh: Don Quixote, Sancho Panza, Dulcinea, dan Rocinante. Setiap tokoh diberi sebuah motif atau melodi sederhana. "Ini agar secara keseluruhan komposisi ada benang merahnya, enggak belang-blonteng," ujar Adra. Misalnya, dalam puisi Ia Menangis, saat Goenawan mendeskripsikan sosok Don Quixote yang tinggi, rapuh, terbawa cinta, dan Ke Arah Balkon, yang menggambarkan Don Quixote mulai sinting, ingin menyelamatkan seorang gadis di balkon, musik menggunakan motif Don Quixote. "Tapi, di Ke Arah Balkon, saya treat motif tersebut dengan chord progression yang berbeda sehingga tidak sama nuansanya dengan puisi pertama yang lebih sentimental," kata Adra.
Sementara pada kedua sajak di atas musik mengiringi gerakan karakter, dalam sajak Rocinante—sang kuda, yang dideskripsikan Goenawan "rambutnya suri, rembyak gelap"—"Musiknya jalan sendiri," Adra menambah informasi. Akan halnya dalam sajak Teater Boneka, musik mencoba menggambarkan suasana pertunjukan teater boneka. Pada sajak Justru, yang membicarakan soal tenung, mereka memberikan suasana mistis. "Kami masukkan chord progression yang enggak biasa," ujar Adra. Secara keseluruhan, musik cukup membawa penonton merasakan naik-turunnya mood.
Sebenarnya Niar Lazza awalnya tampil secara langsung menggambar di atas panggung, semacam performance. Hanya, karena pelukis pasir yang menetap di Bali itu akan melahirkan, akhirnya ia hanya dihadirkan dalam bentuk video. Tapi yang tersaji malah suatu pementasan yang sederhana tapi kuat. Di awal pentas, sosok Goenawan Mohamad juga ditampilkan dalam tayangan video tengah membuat sket dengan tinta. Buku puisi Goenawan sendiri dilengkapi ilustrasi sket yang dibuatnya mengenai sosok Don Quixote, Sancho, sampai moncong Rocinante. Mungkin, dalam pementasan, menarik proses sket ini ditampilkan di layar berselang-seling dengan lukisan pasir.
Ratnaning Asih, Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo