PANDANGAN PRESIDEN SOEHARTO TENTANG PANCASILA
Krissantono (Editor),
Centre Fot Strategic And International Studies (CSIS),
Jakarta Maret 1976,
Cetakan pertama, 81 halaman.
***
MASYARAKAT tanpa konflik, -- mungkinkah? Secara kodrati,
pertentangan selalu ada, bahkan diperlukan -- sejauh ia bisa
diarahkan sebagai perangsang dinamik yang sehat. Maka tampaknya
diperlukan ideologi, yang dalam banyak hal, mampu membiaskan
realitas-realitas yang hidup dalam masyarakat, membedakan yang
benar dari yang salah, menjelaskan betapa hari kemarin menyinari
hari ini dan hari ini merintis jalan bagi hari esok. Ideologi,
pegangan hidup, juga menjanjikan harapan-harapan, impian-impian.
Namun tentu saja ia juga bisa menimbulkan rasa jenuh, bosan,
jemu. Terutama bila dipompakan lewat retorik yang berlebihan. Di
IRT, sampai-sampai kaum moderat menolak 'merah' dan memilih
teknologi. Termasyhur ucapan Teng Hsiao-ping: "Saya tak peduli
kucing itu hitam atau putih, yang penting ia bisa menangkap
tikus" sikap yang tak seluruhnya benar. Wakil PM RRT yang kini
sudah dipecat itu bo}eh merenungkan kalimat ini. Membangun
jembatan tak dibutuhkan ideologi tapi untuk apa jembatan
dibangun -- dibutuhkan ideologi. Begitu kira-kira tulis Mr. Moh.
Roem, pensiunan politikus terkemuka, dalam sebuah koran beberapa
waktu berselang.
Roem ingin menjelaskan duduk soalnya setelah di sini sejak 1966
orang beramai-ramai menolak ideologi seraya memperkenalkan
pragmatisme: dalam pembangunan, yang penting kerja, karya. Maka
para teknokrat pun tampil. Dan 'liberalisme', 'demokrasi
parlementer' dan juga 'demokrasi terpimpin'?, digantikan oleh
'demokrasi pancasila'. Tak lama kemudian, rupanya pragmatisme
saja tak cukup. Perhatian pada ideologi kini dibangkitkan
kembali. Bukan ideologi partai, melainkan Pancasila -- yang juga
disebut 'ideologi'. Not by bread alone, tak cukup hanya (butuh)
roti saja. Lebih dari itu, jauh sebelumnya, almarhum Soekarno
bahkan renekankan perlunya super geloof (kepercayaan yang
besar) sebagai bangsa.
Tapi sebagai rangkuman budi pekerti, falsafah yang universil,
Pancasila memerlukan penjelasan. Maka mendahului diumumkannya
hasil penafsiran yang resmi, CSIS menerbitkan buku Pandangan
Presiden Soeharto Tentang Pancasila. Format sedang, jilid dan
kertas lumayan. Sumbernya: pidato-pidato, sambutan-sambutan,
amanat-amanat Presiden Soeharto. Buku ini memuat 2 bagian pokok:
pandangan tentang Pancasila keseluruhan dan tentang
masing-masing sila.
Beberapa yang menarik dikutip: "Agama akan kehilangan sinarnya
apabila masyarakatnya miskin, melarat dan lemah" (hal 35). "Kita
harus meniadakan segala bentuk kepincangan sosial dan
kepincangan dalam pembagian kekayaan nasional kita" (hal 71).
"Tujuan pola hidup sederhana ialah untuk memberi arah agar
segala kemampuan dapat digunakan secara efisien dan efektif
untuk membangun. "Gaya hidup mewah" adalah pemborosan, yang
tidak mencerminkan sikap prihatin bangsa yang membangun. Dan
yang paling penting, dengan pola hidup sederhana akan terbinalah
kesetiakawanan sosial, yang merupakan kekuatan utama untuk
meneruskan pembangunan itu" (hal 79).
"Biarlah perbedaan-perbedaan itu ada dan tetap ada. Yang kita
usahakan adalah bagaimana perbedaan-perbedaan itu dapat tetap
mempersatukan kita dalam persatuan yang indah, seperti indahnya
kesatuan warna-warni pelangi yang serasi" (hal 53). "Demokrasi
Pancasila bukan ditentukan oleh 'kemenangan jumlah suara', bukan
ditentukan oleh 'paksaan kekuatan' melainkan kebulatan mufakat
yang dikedepankan sebagai hasil hikmah kebijaksanaan" (hal 60)
"Demokrasi Pancasila tidak mengenal golongan oposisi" "untuk
menjmin selurus-lurus jalannya pembangunan maka kebebasan,
kreatifitas dan kritik sangat kita perlukan" (hal 61)
Mulat Sariro
"Kita harus menarik garis yang jelas antara Cina WNA dan WNI
keturunan Cina. WNI keturunan Cina, meskipun ia keturunan Cina,
tetapi ia adalah wrganegara Indonesia yang mempunyai kedudukan,
hak dan kewajiban sama" (hal 56). "Apabila golongan non-pribumi
telah memilih dengan sukarela Indonesia sebagai Tanah Air dan
Bangsanya, dan apabila golongan pribumi telah menerima mereka
sebagai bagian dari bangsanya sendiri, maka kerja sama antara
kedua golongan ini merupakan satu keharusan" (hal 58).
Pada bagian Penutup, buku ini tak lupa membentangkan falsafah
pengabdian yang diajarkan Sri Mangkunagoro I ialah Tridarma
yang- pernah pula diintrodusir oleh Presiden: Rumongso handuweni
(merasa ikut memiliki sesuatu yang menjadi kepentingan umum),
Wajib melu hangrungkebi (bertanggungjawab mempertahankan milik
bersama), Mulat sariro hangroso wani (berani meneliti diri
sendiri sampai di mana telah berbuat mempertahankan kepentingan
bersama).
Penulisan buku ini selain menyesuaikan diri dengan EYD, dalam
beberapa hal keaslian ejaan masih tetap dipertahankan sesuai
dengan sumbernya. Tapi memuat Pembukaan UUD 45 tak seluruhnya
tepat. Misalnya: rakhmat tertulis rachmat. Preambule itu
seharusnya dimuat lengkap dalam ejaan lama. Tapi ejaan lama atau
baru, toh beberapa kata yang aslinya berawalkan huruf besar
telah salah tulis berawal huruf kecil: kemerdekaan, persatuan
Indonesia, kerakyatan, permusyawaratan/perwakilan, keadilan.
Menterjemahkan kata policy sebagai kebijakan (sampai disebut 4
kali, hal 2 dan 3), sesungguhnya tak tepat. Barangkali ada
kecenderungan memperkenalkan pemakaian istilah baru yang 'enak'
meskipun sudah ada kata kebijaksanaan yang bukannya tidak pas.
Ada baiknya, sekali-sekali, membuka Kamus Umum Bahasa Indonesia
susunan W.J.S. Poerwadarminta, P.N. Balai Pustaka, Djakarta
1965, Tjetakan Keempat, Bagian pertama, halaman 137.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini