Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Bukan cuma roti

Pengarang: krissantono (ed.) jakarta: csic, 1976 resensi oleh : budiman s hartoyo. (bk)

24 April 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PANDANGAN PRESIDEN SOEHARTO TENTANG PANCASILA Krissantono (Editor), Centre Fot Strategic And International Studies (CSIS), Jakarta Maret 1976, Cetakan pertama, 81 halaman. *** MASYARAKAT tanpa konflik, -- mungkinkah? Secara kodrati, pertentangan selalu ada, bahkan diperlukan -- sejauh ia bisa diarahkan sebagai perangsang dinamik yang sehat. Maka tampaknya diperlukan ideologi, yang dalam banyak hal, mampu membiaskan realitas-realitas yang hidup dalam masyarakat, membedakan yang benar dari yang salah, menjelaskan betapa hari kemarin menyinari hari ini dan hari ini merintis jalan bagi hari esok. Ideologi, pegangan hidup, juga menjanjikan harapan-harapan, impian-impian. Namun tentu saja ia juga bisa menimbulkan rasa jenuh, bosan, jemu. Terutama bila dipompakan lewat retorik yang berlebihan. Di IRT, sampai-sampai kaum moderat menolak 'merah' dan memilih teknologi. Termasyhur ucapan Teng Hsiao-ping: "Saya tak peduli kucing itu hitam atau putih, yang penting ia bisa menangkap tikus" sikap yang tak seluruhnya benar. Wakil PM RRT yang kini sudah dipecat itu bo}eh merenungkan kalimat ini. Membangun jembatan tak dibutuhkan ideologi tapi untuk apa jembatan dibangun -- dibutuhkan ideologi. Begitu kira-kira tulis Mr. Moh. Roem, pensiunan politikus terkemuka, dalam sebuah koran beberapa waktu berselang. Roem ingin menjelaskan duduk soalnya setelah di sini sejak 1966 orang beramai-ramai menolak ideologi seraya memperkenalkan pragmatisme: dalam pembangunan, yang penting kerja, karya. Maka para teknokrat pun tampil. Dan 'liberalisme', 'demokrasi parlementer' dan juga 'demokrasi terpimpin'?, digantikan oleh 'demokrasi pancasila'. Tak lama kemudian, rupanya pragmatisme saja tak cukup. Perhatian pada ideologi kini dibangkitkan kembali. Bukan ideologi partai, melainkan Pancasila -- yang juga disebut 'ideologi'. Not by bread alone, tak cukup hanya (butuh) roti saja. Lebih dari itu, jauh sebelumnya, almarhum Soekarno bahkan renekankan perlunya super geloof (kepercayaan yang besar) sebagai bangsa. Tapi sebagai rangkuman budi pekerti, falsafah yang universil, Pancasila memerlukan penjelasan. Maka mendahului diumumkannya hasil penafsiran yang resmi, CSIS menerbitkan buku Pandangan Presiden Soeharto Tentang Pancasila. Format sedang, jilid dan kertas lumayan. Sumbernya: pidato-pidato, sambutan-sambutan, amanat-amanat Presiden Soeharto. Buku ini memuat 2 bagian pokok: pandangan tentang Pancasila keseluruhan dan tentang masing-masing sila. Beberapa yang menarik dikutip: "Agama akan kehilangan sinarnya apabila masyarakatnya miskin, melarat dan lemah" (hal 35). "Kita harus meniadakan segala bentuk kepincangan sosial dan kepincangan dalam pembagian kekayaan nasional kita" (hal 71). "Tujuan pola hidup sederhana ialah untuk memberi arah agar segala kemampuan dapat digunakan secara efisien dan efektif untuk membangun. "Gaya hidup mewah" adalah pemborosan, yang tidak mencerminkan sikap prihatin bangsa yang membangun. Dan yang paling penting, dengan pola hidup sederhana akan terbinalah kesetiakawanan sosial, yang merupakan kekuatan utama untuk meneruskan pembangunan itu" (hal 79). "Biarlah perbedaan-perbedaan itu ada dan tetap ada. Yang kita usahakan adalah bagaimana perbedaan-perbedaan itu dapat tetap mempersatukan kita dalam persatuan yang indah, seperti indahnya kesatuan warna-warni pelangi yang serasi" (hal 53). "Demokrasi Pancasila bukan ditentukan oleh 'kemenangan jumlah suara', bukan ditentukan oleh 'paksaan kekuatan' melainkan kebulatan mufakat yang dikedepankan sebagai hasil hikmah kebijaksanaan" (hal 60) "Demokrasi Pancasila tidak mengenal golongan oposisi" "untuk menjmin selurus-lurus jalannya pembangunan maka kebebasan, kreatifitas dan kritik sangat kita perlukan" (hal 61) Mulat Sariro "Kita harus menarik garis yang jelas antara Cina WNA dan WNI keturunan Cina. WNI keturunan Cina, meskipun ia keturunan Cina, tetapi ia adalah wrganegara Indonesia yang mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban sama" (hal 56). "Apabila golongan non-pribumi telah memilih dengan sukarela Indonesia sebagai Tanah Air dan Bangsanya, dan apabila golongan pribumi telah menerima mereka sebagai bagian dari bangsanya sendiri, maka kerja sama antara kedua golongan ini merupakan satu keharusan" (hal 58). Pada bagian Penutup, buku ini tak lupa membentangkan falsafah pengabdian yang diajarkan Sri Mangkunagoro I ialah Tridarma yang- pernah pula diintrodusir oleh Presiden: Rumongso handuweni (merasa ikut memiliki sesuatu yang menjadi kepentingan umum), Wajib melu hangrungkebi (bertanggungjawab mempertahankan milik bersama), Mulat sariro hangroso wani (berani meneliti diri sendiri sampai di mana telah berbuat mempertahankan kepentingan bersama). Penulisan buku ini selain menyesuaikan diri dengan EYD, dalam beberapa hal keaslian ejaan masih tetap dipertahankan sesuai dengan sumbernya. Tapi memuat Pembukaan UUD 45 tak seluruhnya tepat. Misalnya: rakhmat tertulis rachmat. Preambule itu seharusnya dimuat lengkap dalam ejaan lama. Tapi ejaan lama atau baru, toh beberapa kata yang aslinya berawalkan huruf besar telah salah tulis berawal huruf kecil: kemerdekaan, persatuan Indonesia, kerakyatan, permusyawaratan/perwakilan, keadilan. Menterjemahkan kata policy sebagai kebijakan (sampai disebut 4 kali, hal 2 dan 3), sesungguhnya tak tepat. Barangkali ada kecenderungan memperkenalkan pemakaian istilah baru yang 'enak' meskipun sudah ada kata kebijaksanaan yang bukannya tidak pas. Ada baiknya, sekali-sekali, membuka Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S. Poerwadarminta, P.N. Balai Pustaka, Djakarta 1965, Tjetakan Keempat, Bagian pertama, halaman 137.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus