"DEMAM" bolehlah dibagi dalam dua bagian besar yang tergolong
penyakit dan yang tergolong politis. Sepanjang menyangkut
demam-penyakit, orang boleh berdemam kapan saja, apabila sudi.
Tidak ada aturan kapan boleh mulai. Yang ada, aturan bagaimana
cara mengobatinya. Siapapun, kapanpun, boleh mengidap demam apa
saja. Flu atau malaria atau gusi bengkak. Terserah mau pilih
salah satu atau ketiga-tiga sekaligus.
Lain halnya demam-politis. Berhubung demam yang satu ini bukan
sebangsa penyakit, nyata tersurat dalam istilahnya, orang tidak
bisa berdemam sesuka hati. Tidak bisa memutuskan atas keinginan
sendiri, begitu mau lantas segera menggigil. Atau tarik selimut.
Atau tengkurap. Sebab musababnya mudah dipaham, karena politik
itu -- dan ini sering dilupakan orang -- punya pula
aturan-aturan permainannya, seperti halnya pada sepakbola atau
alisan. Pada sepakbola, boleh mulai tendang sesudah bunyi
peluit. Dan tendangpun tidak boleh tendang kepala atau
selangkangan. Pada arisan, sesudah tarik nomor mesti setor
terus, tidak boleh mabur begitu saja. Begitu pula pada politik
berikut demamnya.
Salah satu contoh penting dari jenis demam-politik adalah demam
pemilu". Penduduk Indonesia sudah dua kali terkena demam ini,
tahun 1955 dan 1971. Sifat demamnya barangkali ada beda di
sana-sini, tapi inti pokoknya serupa. Demam 1955 bolehlah
disebut lebih liar, berisik meronta-ronta sampai tempat tidur
bergoyang kian kemari. Maklum, berkat sistim, orang rasanya
kepingin melulur habis kepala tetangganya. Demam 1971 ada beda.
Menggigilnya lebih tertib dan beraturan. Teriak-teriak ada juga,
namun tidak seberapa, karena baik suara maupun gerak-gerik bisa
diarahkan sehingga tidak sia-sia. Pendek kata, demam yang penuh
irama, ada gairah tapi sekaligus ada pola.
Sekarang, kapankah demam pemilu 1977 bisa dimulai, dan bagaimana
pula aturan-aturannya. Bagi mereka yang lebih suka akan hal-hal
teknis, sebetulnya sudah boleh mulai sekarang-sekarang. Malahan,
sudah boleh bergegas bulan lalu. segera sesudah Bustanil Arifin
dari bagian logistik membeberkan apa-apa keperluan materiil
pemilu di depan rapat Gubernur se Indonesia. Berapa jip, berapa
motor tempel, berapa mesin ketik, berapa mesin hitung, berapa
motor, berapa tape-recorder. Kemudian, berapa formulir barang
cetakan, berapa kotak-suara, berapa selot. Buat para leveransir
dan komisioner, waktu sudah sampai buat berdemam-demam. Tanpa
kelincahan mereka, demokrasi bisa terganggu jalannya.
Sebelum Menggigil
Bagi yang mau demam-politis, pelbagai aturan mesti dipahami
sebelum boleh menggigil betul-betul, baik yang mau demam itu
pemilih atau yang dipilih. Dia mesti baca baik-baik UU No. 15/
1969 dan UU 13 No. 4/1975 tentang Pemilu. Yang pertama ada 37
pasal, yang kedua 4 pasal. Sesudah rapi dibaca, silakan buka
Pasal-pasal UU No. 15/1969 sesudah dirubah dengan UU No. 4/1975.
Banyaknya juga 37 pasal.
Kalau kira-kira punya syarat, misalnya umur cukup dan tidak
tersangkut organisasi terlarang dan tidak gila, bolehlah terus
simak UU No. 16/1969 dan W No. 5/1975 tentang susunan dan
kedudukan MPR/DPR/DPRP. Buat pemilih, ini penting supaya
jangan beli kucing dalam karung. Buat yang mau dipilih, ini
penting supaya nantinya tidak keliru duduk. Mestinya orang
kantor, jadinya orang dewan.
Khusus buat Parpol dan Golkar, supaya tidak salah langkah, perlu
berpegang kuat-kuat pada UU No. 3/1975. Berpegang kuat- kuat pun
belum cukup, melainkan perlu pula meneliti Peraturan Pemerintah
No. 9/1976 yang maksudnya mengatur pelaksanaan UU itu, tapi
siapa tahu ada hal-hal baru yang tidak terduga sebelumnya.
Begitu pula aturan-aturan pelaksanaan yang lain, entah itu dari
Menteri atau bawahannya, yang biasanya akan datang
beruntun-runtun.
Sesudah baca-membaca ini selesai, tinggal lagi hitung hari serta
bulan. Kapan pendaftaran pemilih, kapan pencalonan, kapan
tanda-gambar disepakati, kapan kampanye. Pada tingkat-tingkat
ini sudah boleh demam ala kadarnya, tapi jangan sungguhan. Kaki,
gigi, kuping, boleh digerakkan berdikit-dikit serta tertib. Baru
sesudah sampai saat kampanye, demam yang tulen boleh
diperlihatkan, lengkap dengan segala ciri-cirinya yang lazim.
Itupun tidak bisa berlarut-larut. Seperti halnya ada mula tentu
ada akhir demam. Di inilah letak keistimewaan demam-politis,
segala-galanya bisa diatur dengan persis dan diawasi dengan
cermat. Akhir demam disusul dengan minggu tenang. Semua orang
dipersilakan duduk baik-baik, polos serta pasrah, seperti
anak-anak. Begitu hari pemilu tiba, marilah antri satu-satu,
jangan main serobot dan main kayu, karena ini urusan demokrasi.
bukan kemidi kuda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini