NAMANYA memang harum nyaris ke mana-mana berkat intan yang
dihasilkannya. Dalam jumlah, Afrika lebih banyak menghasilkan
namun perkara mutu, intan Cempaka tak ada duanya. Meski begitu,
nama Cempaka tak bisa ditemukan di peta yang biasanya dipelajari
di sekolah-sekolah. Sialnya Martapura lah yang menyandang nama
"kota intan", bukan Cempaka. Karena di Martapura bercokolnya
para jauhari dimasak dan dipasarkannya intan yang kemudian
bernama berlian itu. Kelak ia menghiasi leher jenjang para ratu,
jari manis, kuping atau pergelangan tangan nyonya hartawan,
entah di mana. Begitu jugakah suasana Cempaka yang sekarang
termasuk dalam rangkulan kota administratif Banjarbaru di
selatan Banjarmasin itu?
Bila kita datang siang-siang ke desa -- yang berkat dikatrolnya
Banjarbaru menjadi kota administratif -- menjadi desa kecamatan
ini, Cempaka sepi semata. Memang ada terlihat murid-murid dan
guru mereka di sebuah SD dan madrasah di sana. Ada pegawai di
kantor camat, puterpra dan sektor polri di kantornya yang masih
amat sederhana selebihnya Cempaka sunyi. Belakangan karena jalan
Peleihari lewat Cempaka sudah diaspal, desa ini pun mulai ramai
dilewati motor dan mobil. Desa yang berpenduduk 10.200 jiwa,
sejak matahari mulai tersembul sampai berangsur tenggelam,
sebagian besar berada di dalam lubang-lubang pendulangan. Lubang
dalam atau lubang surut. Bergelut dengan lumpur, air, pasir dan
batu.
Yang di lubang sedalam 18 - 22 meter, malah bergelut dengan maut
membuat terowongan jauh mengendap-endap dengan lilin menyala
menyusuri liang yang sewaktu-waktu bisa rontok menguburnya
hidup-hidup. Sekitar tahun 1968, beberapa orang pendulang di
sana mengalami nasib demikian. Namun mereka yang masih hidup tak
juga jera-jeranya. Karena di sanalah asap periuk mereka meski
kerja mendulang ini nyaris berjudi nasib. "Kalau mau menemui
penduduk atau mengumpulkan mereka siang-siang, hari Jum'at
saja", seorang penduduk menjelaskam Jum'at hari libur mereka,
sebab perkara sembahyang berjemaah Jum'at yang sekali seminggu
mereka pentingkan. Meskipun pada hari kerja biasa, sembahyang
zohor, asar (salah-salah magrib juga) nyaris terabaikan karena
terlibat asyik kerja. Karena itu orang Cempaka mengadakan
kenduri penganten bukanlah pada hari Minggu seperti penduduk
Martapura atau Banjarbaru. Warung-warung yang cuma beberapa biji
buka waktu malam. Belum dijamah listrik meskipun gardu listrik
transmisi PLTA Riam Kanan sebuah bercokol persis di hidung
Cempaka. Niat mau menikmati cahaya listrik di rumah-rumah
penduduk yang mampu memang ada. "Sudah mulai didaftar untuk
kemudian diajukan ke PLN", ujar seorang penduduk yang tampaknya
sudah tergoda benderangnya listrik di Banjarbaru yang cuma 5
kilometer dari Cempaka.
Sejak berabad lamanya, desa ini mengandalkan pendulangan intan
sebagai sektor ekonomi yang rrenghidupi desanya. Tapi jangan
dikira, bahwa keadaan sosial ekonomis penduduk Cempaka
secemerlang intan yang ditemukan. Rumah-rumah penduduk di tepi
jalan raya atau satu dua di belakangnya memang beratap sirap dan
berdinding ulin. Tapi yang dipojok atau terjepit di antara yang
beratap sirap, adalah gubuk doyong beratap rumbia, berdinding
pelupuh. Bahkan di masa pendudukan Jepang yang sulit sandang dan
gawat pangan, Cempaka nyaris kelaparan. Tak sedikit penduduk
yang sampai mencopot dinding, tiang, tongkat dan gelagar
rumahnya dijual berkeping-keping di pasar Martapura. Untuk bisa
menggantinya dengan beras dan kain. Pendulangan intan sepi.
Motor & Cengkeh
Setelah pendudukan Jepang berakhir, pendulangan intan mulai
ramai kembali. Harga intan melonjak. Lebih-lebih sekitar tahun
1960 - 1965, ramai-ramainya perdagangan intan, gengsi jejaka
Cempaka naik beberapa derajat di mata perawan Martapura. Lalu
motor Honda Yamaha dan Vespa -- membanjiri Banjarmasin, ia pun
hinggap juga ke rumah-rumah penduduk Cempaka yang kecipratan
rezeki nomplok. Ia jadi barang kebanggaan yang menaikkan standar
sosial antara mereka. Ada pengantin Cempaka yang tak mau lagi
bersanding di atas pelaminan tradisionil nenek moyangnya,
melainkan di atas Vespa yang diimpor dari Italia.
Tapi jika rezeki enggan hinggap, tak jarang motor, radio dan
bahkan jaket pun dilego di pasar loakan Martapura atau
Banjarmasin. Meski hanya sebentar dicicipi, harga dibanting
turun agar bisa membayar hutang: Adakah kesadaran untuk
menggarap sawah atau kebun yang bisa menopang kerja mendulang?
Belakangan setelah sering mengalami krisis-kantong, beberapa
pendulang terbuka matanya. Sawah-tadah hujan di anak desa
Tampurau, Bangkal dan Cempaka sendiri mulai digarap. Kebun karet
yang telah jompo ditebang, diganti dengan cengkeh dan kelapa.
"Saya mendengar siaran radio Malaysia, berkebun cengkeh baik
hasilnya", ujar seorang penduduk seraya menunjuk dengan bangga
pohon cengkeh dan kelapa di pinggir sawah tadah hujannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini