Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Tak secemerlang intannya

Desa cempaka, kalimantan selatan, terkenal sebagai daerah penghasil intan. karena itu lapangan kerja utama penduduknya adalah menambang intan. tapi keadaan desa itu sendiri belum masuk listrik. (ds)

24 April 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMANYA memang harum nyaris ke mana-mana berkat intan yang dihasilkannya. Dalam jumlah, Afrika lebih banyak menghasilkan namun perkara mutu, intan Cempaka tak ada duanya. Meski begitu, nama Cempaka tak bisa ditemukan di peta yang biasanya dipelajari di sekolah-sekolah. Sialnya Martapura lah yang menyandang nama "kota intan", bukan Cempaka. Karena di Martapura bercokolnya para jauhari dimasak dan dipasarkannya intan yang kemudian bernama berlian itu. Kelak ia menghiasi leher jenjang para ratu, jari manis, kuping atau pergelangan tangan nyonya hartawan, entah di mana. Begitu jugakah suasana Cempaka yang sekarang termasuk dalam rangkulan kota administratif Banjarbaru di selatan Banjarmasin itu? Bila kita datang siang-siang ke desa -- yang berkat dikatrolnya Banjarbaru menjadi kota administratif -- menjadi desa kecamatan ini, Cempaka sepi semata. Memang ada terlihat murid-murid dan guru mereka di sebuah SD dan madrasah di sana. Ada pegawai di kantor camat, puterpra dan sektor polri di kantornya yang masih amat sederhana selebihnya Cempaka sunyi. Belakangan karena jalan Peleihari lewat Cempaka sudah diaspal, desa ini pun mulai ramai dilewati motor dan mobil. Desa yang berpenduduk 10.200 jiwa, sejak matahari mulai tersembul sampai berangsur tenggelam, sebagian besar berada di dalam lubang-lubang pendulangan. Lubang dalam atau lubang surut. Bergelut dengan lumpur, air, pasir dan batu. Yang di lubang sedalam 18 - 22 meter, malah bergelut dengan maut membuat terowongan jauh mengendap-endap dengan lilin menyala menyusuri liang yang sewaktu-waktu bisa rontok menguburnya hidup-hidup. Sekitar tahun 1968, beberapa orang pendulang di sana mengalami nasib demikian. Namun mereka yang masih hidup tak juga jera-jeranya. Karena di sanalah asap periuk mereka meski kerja mendulang ini nyaris berjudi nasib. "Kalau mau menemui penduduk atau mengumpulkan mereka siang-siang, hari Jum'at saja", seorang penduduk menjelaskam Jum'at hari libur mereka, sebab perkara sembahyang berjemaah Jum'at yang sekali seminggu mereka pentingkan. Meskipun pada hari kerja biasa, sembahyang zohor, asar (salah-salah magrib juga) nyaris terabaikan karena terlibat asyik kerja. Karena itu orang Cempaka mengadakan kenduri penganten bukanlah pada hari Minggu seperti penduduk Martapura atau Banjarbaru. Warung-warung yang cuma beberapa biji buka waktu malam. Belum dijamah listrik meskipun gardu listrik transmisi PLTA Riam Kanan sebuah bercokol persis di hidung Cempaka. Niat mau menikmati cahaya listrik di rumah-rumah penduduk yang mampu memang ada. "Sudah mulai didaftar untuk kemudian diajukan ke PLN", ujar seorang penduduk yang tampaknya sudah tergoda benderangnya listrik di Banjarbaru yang cuma 5 kilometer dari Cempaka. Sejak berabad lamanya, desa ini mengandalkan pendulangan intan sebagai sektor ekonomi yang rrenghidupi desanya. Tapi jangan dikira, bahwa keadaan sosial ekonomis penduduk Cempaka secemerlang intan yang ditemukan. Rumah-rumah penduduk di tepi jalan raya atau satu dua di belakangnya memang beratap sirap dan berdinding ulin. Tapi yang dipojok atau terjepit di antara yang beratap sirap, adalah gubuk doyong beratap rumbia, berdinding pelupuh. Bahkan di masa pendudukan Jepang yang sulit sandang dan gawat pangan, Cempaka nyaris kelaparan. Tak sedikit penduduk yang sampai mencopot dinding, tiang, tongkat dan gelagar rumahnya dijual berkeping-keping di pasar Martapura. Untuk bisa menggantinya dengan beras dan kain. Pendulangan intan sepi. Motor & Cengkeh Setelah pendudukan Jepang berakhir, pendulangan intan mulai ramai kembali. Harga intan melonjak. Lebih-lebih sekitar tahun 1960 - 1965, ramai-ramainya perdagangan intan, gengsi jejaka Cempaka naik beberapa derajat di mata perawan Martapura. Lalu motor Honda Yamaha dan Vespa -- membanjiri Banjarmasin, ia pun hinggap juga ke rumah-rumah penduduk Cempaka yang kecipratan rezeki nomplok. Ia jadi barang kebanggaan yang menaikkan standar sosial antara mereka. Ada pengantin Cempaka yang tak mau lagi bersanding di atas pelaminan tradisionil nenek moyangnya, melainkan di atas Vespa yang diimpor dari Italia. Tapi jika rezeki enggan hinggap, tak jarang motor, radio dan bahkan jaket pun dilego di pasar loakan Martapura atau Banjarmasin. Meski hanya sebentar dicicipi, harga dibanting turun agar bisa membayar hutang: Adakah kesadaran untuk menggarap sawah atau kebun yang bisa menopang kerja mendulang? Belakangan setelah sering mengalami krisis-kantong, beberapa pendulang terbuka matanya. Sawah-tadah hujan di anak desa Tampurau, Bangkal dan Cempaka sendiri mulai digarap. Kebun karet yang telah jompo ditebang, diganti dengan cengkeh dan kelapa. "Saya mendengar siaran radio Malaysia, berkebun cengkeh baik hasilnya", ujar seorang penduduk seraya menunjuk dengan bangga pohon cengkeh dan kelapa di pinggir sawah tadah hujannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus