Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH lebih dari dua bulan Paguyuban Warga Jantirejo menolak rencana pembangunan pusat belanja di bekas pabrik es Saripetojo, Solo, Jawa Tengah. Kelompok masyarakat yang berdomisili di sekitar pabrik itu menilai kehadiran mal hanya berdampak negatif bagi lingkungan. ”Di antaranya kebisingan, kriminalitas, pencemaran udara, dan kemacetan,” ujar salah satu tokoh masyarakat, Albicia Hamzah.
Puluhan pedagang buah yang berada di depan pabrik juga merasa cemas. Mereka khawatir usaha mereka mati jika mal nanti berdiri. ”Pedagang kecil seperti kami pasti tersingkir,” kata Sugimin, salah satu pedagang. Mereka turut berpartisipasi ketika kelompok masyarakat berdemonstrasi menolak pembangunan mal di lokasi pabrik itu. Ada pula yang membagikan barang dagangannya kepada para demonstran sebagai tanda solidaritas.
Bangunan pabrik es pertama di Solo itu sekarang tinggal kenangan. Sebagian besar dindingnya, setebal 30 sentimeter, telah hancur digempur alat berat. Hanya tersisa baja-baja pembentuk rangka bangunan. Masih terlihat bagian atapnya yang bergaya era awal industrialisasi membentuk rangka seperti konstruksi peron kereta. Ada pula kolam-kolam pencetak es dan pipa besar berwarna biru di dalam pabrik.
Pabrik itu seharusnya masih kuat kokoh berdiri meskipun berumur lebih dari setengah abad. Tapi pemiliknya, Perusahaan Daerah Citra Mandiri Jawa Tengah, mengaku rugi sehingga hendak menggantinya dengan pusat belanja atau mal. Upaya perobohan pabrik pada pertengahan Juni lalu tidak berjalan mulus karena aksi penolakan warga dan kelompok masyarakat. Perusahaan milik Pemerintah Provinsi Jawa Tengah itu pun terpaksa mengakhiri pembongkaran yang baru berjalan sebagian.
Akibat pabrik yang merugi, nasib bangunan-bangunan penunjangnya pun tidak kalah mengenaskan. Menara air, yang dulu memasok bahan baku utama pabrik, tidak ada satu bagian pun yang tersisa. Sulit menduga seperti apa bentuknya ketika masih kokoh berdiri. Kantor manajemen pabrik memang masih utuh, tapi kondisinya tidak terawat. Padahal, kalau diperhatikan, bangunan ini kental dengan gaya arsitektur kolonial Belanda, sehingga layak dilestarikan karena kental dengan sejarah.
Pabrik es Saripetojo berdiri di kawasan modern awal Kota Solo. Lokasinya berada di sebelah barat kota yang dulu disebut Karesidenan Surakarta itu. Luas lahan pabrik mencapai 1,24 hektare. Di dalamnya, selain pabrik, kantor manajemen, dan menara air, terdapat garasi, sekolah taman kanak-kanak, dan bedeng.
Pabrik tersebut merupakan gabungan dua pabrik es buatan Belanda pada 1880-an. Menurut pakar sejarah dari Universitas Negeri Sebelas Maret, Surakarta, Soedharmono, era keemasan pabrik dimulai pada 1921, ketika listrik masuk ke kota itu. Perusahaan listrik swasta bernama NV Solosche Electriciteit Maatschappij sangat membantu bisnis Saripetojo, yang ketika itu bernama Soloche Ijsen, karena lokasi kedua bangunan itu berdekatan. ”Jadi berdirinya pabrik seumur dengan PLN,” katanya.
Fungsi pabrik es menjadi sangat sentral pada masa itu, untuk mengawetkan barang-barang komoditas ekspor, seperti kopi, gula, teh, dan kopra. Barang komoditas itu tersimpan dalam gudang-gudang di belakang Stasiun Purwosari. Lokasinya berseberangan dengan pabrik es Saripetojo. Saat siap diekspor, barang akan segera diangkut dengan kereta menuju Semarang. Karena itu, Soedharmono menilai kehadiran Saripetojo menjadi bukti awal industrialisasi Solo. ”Saripetojo bukan sekadar pabrik es lilin,” ujarnya.
Ia mengatakan Saripetojo juga menjadi bukti di sekitar pabrik merupakan kawasan tempat tinggal golongan orang kaya. Bangunan-bangunan bergaya Indische atau gaya kolonial Belanda yang tropis dulu berjejer di sekitar pabrik. Namun sekarang sudah banyak yang hilang.
Selain itu, sekitar setengah kilometer dari pabrik tersebut terdapat kelompok pembatik kaya yang disebut Mbok Mase Laweyan. Kelompok ini terdiri atas para ibu rumah tangga yang menguasai perdagangan batik di kawasan Laweyan. Standar kemapanan mereka meniru golongan kaya Belanda di sekitar Saripetojo.
Untuk menunjukkan gaya hidup yang mapan, mereka memesan es lilin tiga susun atau trisilah ke pabrik es Saripetojo. Es lilin zaman dulu seperti es krim sekarang,” katanya. ”Semakin tinggi ciduknya, semakin mahal.” Awalnya hanya orang Belanda yang bisa menikmati es trisilah itu. Namun berangsur-angsur menyebar ke Mbok Mase Laweyan. Pamor es yang terus naik memicu munculnya industri minuman kemasan, seperti Lemonade dan Hercules. Pabrik minuman tersebut berada tidak jauh dari Saripetojo.
Dengan bukti sejarah itu, Soedharmono menyayangkan penghancuran pabrik es Saripetojo. Meskipun pabrik ini kehilangan pamor sejak akhir 1990-an, posisinya dalam membangun Kota Solo tidak boleh terlupakan. Sebab, Saripetojo adalah tetenger Solo yang perlu dikonservasi sebagai bangunan bersejarah atau tanda cagar budaya. ”Preservasi adalah jalan terbaik,” katanya.
Kantor manajemen, menurut Soedharmono, bisa bermanfaat untuk kegiatan seni dan budaya. Sedangkan pabriknya bisa dikembalikan ke bentuk semula menjadi bangunan cagar budaya. Ia tidak sependapat dengan keinginan Tim Pengkaji Saripetojo, yang mayoritas kalangan arsitek. Menurut dia, hasil tinjauannya terlalu teknis sehingga bisa menghancurkan keaslian kawasan. ”Inilah pertentangan antara sejarawan dan arsitek,” katanya.
Ketua Tim Pengkaji Saripetojo, Eko Budihardjo, mengatakan potensi revitalisasi di kawasan tersebut sangat besar. Rumah dinas manajer pabrik yang bergaya Hindia Belanda bisa menjadi museum. Sayang, sekarang kondisinya tidak terawat. Tembok rumah sudah mengelupas dan rumput liar tumbuh di sekelilingnya. Kolam yang berada di taman belakang sekarang terisi air dan lumut.
Kemudian bekas pabrik, menurut Eko, bisa menjadi hotel atau restoran. ”Bangunan aslinya tidak unik,” kata guru besar arsitektur dan perkotaan Universitas Diponegoro, Semarang, itu. Yang menonjol dari bangunan tersebut hanya aspek kesejarahan. Tapi, dari segi arsitektur, bentuknya tidak istimewa dan tidak ada ornamen yang menonjol. Apalagi pabrik seluas 1.300 meter persegi itu bukanlah bentuk aslinya. Bangunan tersebut telah mengalami beberapa kali renovasi setelah terbakar pada 1953.
Tapi ia tetap menyesalkan aksi penghancuran pabrik tanpa terlebih dulu menyelesaikan proses perizinan. ”Izinnya baru sampai pemanfaatan ruang, sudah dibongkar,” ujar Eko. Selain itu, ia menyesalkan keputusan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa tengah yang memutuskan situs itu sebagai peninggalan purbakala. Menurut dia, keputusan tersebut hanya membuat kawasan pabrik menjadi semakin terbengkalai karena tidak boleh dikonservasi atau revitalisasi. ”Harusnya Saripetojo jadi bangunan cagar budaya,” katanya.
Sampai sekarang Eko masih berunding dengan masyarakat, seniman, dan Pemerintah Kota Solo untuk menuntaskan masalah ini. Ia sependapat kalau Saripetojo tidak boleh menjadi mal. Tapi ia mengakui sulit menemukan titik temu dengan para sejarawan soal pemanfaatan kawasan tersebut.
Wali Kota Solo Joko Widodo beberapa kali menyatakan penolakan terhadap pembangunan mal. Dukungan dari masyarakat Solo pun menguat. Namun Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo tetap dengan pendiriannya dengan memberi izin pembangunan mal di Saripetojo. Bahkan ia sempat menyebut Jokowi—panggilan Joko—bodoh karena menentang kebijakannya. Eko berharap nasib Saripetojo bisa segera diputuskan setelah Lebaran nanti. ”Biar tidak berlarut-larut.”
Sorta Tobing, Ahmad Rafiq (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo