Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasijanto Sastrodinomo
ARKIAN, sekitar 30 tahun yang lalu untuk pertama kalinya saya naik bus kota di Jakarta. Itulah pengalaman pertama karena di tempat asal saya di Ngawi, Jawa Timur, ketika itu tidak ada bus kota. Angkutan umum kota yang lazim digunakan warga adalah dokar atau becak. Maka saya cukup kaget ketika harus berdesakan di dalam bus menembus kerumunan penumpang dalam situasi yang terasa keras. Nyata benar bedanya dengan dokar yang biasa saya tumpangi di kampung halaman—paling-paling berisi enam hingga delapan penumpang, termasuk sais yang menghela kuda.
Tak lama setelah bus bergerak, tiba-tiba kernet berteriak, ”Sakit, sakit! Ada yang sakit?” Saya terkejut, siapa gerangan yang sakit di dalam bus yang pengap itu. Begitu besar perhatian sang kernet sampai-sampai ia merasa perlu menanyakan kondisi penumpangnya. Saya baru paham kemudian bahwa teriakan kernet itu ternyata menunjuk pada halte di depan sebuah rumah sakit. Mungkin itulah praktek ”ekonomi bahasa”: mencopot sebagian unsur formal dari suatu struktur kalimat demi kesangkilan tapi masih bisa dipahami maksudnya.
Kalau mengikuti pelajaran bahasa di sekolah, teriakan kernet tadi mestinya berbunyi Apakah ada penumpang yang (akan) turun di halte rumah sakit? Tentu sulit dibayangkan bagaimana mungkin, dalam tempo yang amat memburu itu, kernet harus menyusun kalimat lengkap, baik, dan benar. Jauh berbeda dengan budaya naik dokar di kampung saya. Saat mendekati lokasi tujuan, penumpang—seorang ibu, misalnya—akan memberi tahu kusir (terkadang sambil menepuk pundaknya) dalam bahasa Jawa halus, ”Kula mandhap ing ngajeng gang langgar, njih, Pak”; terjemahannya, ’Saya turun di depan gang langgar, ya, Pak’. Pak Kusir pun menjawab, ”Inggih, Bu” atau ’Ya, Bu’.
Di kesempatan lain, saya ke Depok naik bus kota yang berangkat dari Pasar Minggu—juga untuk pertama kalinya. Melintas di daerah Lenteng Agung, kernet bus memekik, ”Zakaria! Zakaria!” Tentu ada halte yang menggunakan nama orang, pikir saya. Benar saja, seorang penumpang menyahuti teriakan kernet itu, bermaksud turun di depan mulut sebuah jalan sempit berjuluk Gang Haji Zakaria. Di luar imajinasi saya, sang kernet nyeletuk (kepada sopir), ”Ya, pinggir, yang punya zakar turun!” Sekali lagi saya kaget—bukan hanya karena lelucon saru sang kernet, tapi juga lantaran yang turun ternyata seorang perempuan yang mendekati renta. Maaf atas ketidaknyamanan ini.
Entah apa sebabnya, teriakan verbal—yang mungkin terasa kasar—antara kernet dan penumpang bus kota itu kini sering hilang. Gantinya adalah ”bahasa isyarat”: penumpang menggedor-gedor plafon bus sebagai tanda ia akan turun, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Kernet menjawabnya dengan menukul-nukulkan koin pada kaca jendela, sekaligus sebagai kode supaya sopir mengerem bus sejenak. Gedor-tukul pada bagian tubuh bus itu menimbulkan kebisingan, apalagi bagi penumpang yang kupingnya nempel pada kaca jendela yang diketuk-ketuk kernet. Jelas ”komunikasi” semacam itu jauh dari kesantunan yang pantas.
Di bus Transjakarta, saya menemukan situasi yang berbeda: terdengar suara lembut menyapa—layaknya suara pramugari yang mengucapkan selamat datang kepada penumpang pesawat terbang. Meski hanya rekaman yang diputar sopir, dan mungkin tergolong ungkapan yang berfungsi phatic ’fatik’ atawa semacam basa-basi (mengikuti John Hartley dalam Communication, Cultural and Media Studies, 2002), sapaan itu jelas menimbulkan rasa nyaman bagi penumpang. Saban menjelang tiba di suatu halte, suara itu kembali terdengar, semisal, ”Pemberhentian berikutnya halte Glodok. Perhatikan barang bawaan Anda dan hati-hati melangkah.”
Situasi seperti itu saya temukan kembali dalam kereta commuter line—begitu sebutan resminya—rute Jakarta-Bogor. Dari kabin lokomotif, awak kereta tak henti memberikan informasi kepada penumpang—khususnya yang baru naik dari tiap stasiun—tentang jenis kereta, tujuan akhir, dan harga tiket dengan bahasa yang runtut. Bahkan juga disebutkan pintu gerbong yang akan dibuka (sisi kiri atau kanan) ketika kereta tiba di suatu stasiun. Sungguh suatu layanan publik yang sangat informatif dan memberikan kepastian bagi pengguna jasa. Karena itu, sangat pantas dipuji tinggi.
Tiba-tiba saat itu saya merasa menemukan setitik keadaban dalam pelayanan publik, khususnya angkutan umum kelas rakyat. Maklum, selama ini banyak pemangku pelayanan publik kita tak fasih berbahasa alias tak komunikatif. Akibatnya, sering timbul salah alamat yang membawa kerusakan, seperti ”amuk penumpang” gara-gara kereta telat yang tak diumumkan secara jelas. Maka, lebih luas, suatu ”tindak komunikatif”—meminjam Habermas—layak dikembangkan agar terhindar dari kesalahpahaman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo