Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA seorang raksasa tinggal di sebuah rumah yang semuanya terlihat begitu kecil. Raksasa itu seharusnya perkasa, tapi ia tumbang oleh virus influenza. Demam, tak enak makan, batuk, pilek. Semua itu membuatnya selemah anak kecil. Ia lalu datang ke dokter, dan dokter itu menuliskan satu kata di atas kertas resepnya: Tamiflu. Raksasa tak berdaya mengatasi flu, tapi Tamiflu bisa. Begitu kira-kira pesan iklan yang dipasang di situs resmi obat itu.
Roche, perusahaan farmasi raksasa asal Swiss yang memproduksi Tamiflu, mengklaim obat bernama generik oseltamivir ini mampu menekan perkembangan virus. Berbeda dengan obat flu bebas yang hanya mengobati gejala flu—batuk, demam, pilek, pusing—Tamiflu yang harus ditebus dengan resep itu bekerja pada pusat masalah: membunuh virus influenza. Bahkan Tamiflu dipercaya mampu mengatasi flu burung yang mematikan. Itulah kenapa Badan Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikannya dan banyak negara, termasuk Indonesia, menyimpan jutaan pil itu di dalam gudang.
Tapi kegagahan Tamiflu itu belakangan ini mulai diragukan. Adalah lembaga peneliti Nordic Cochrane Centre, Denmark, dan British Medical Journal, sebuah jurnal medis bergengsi Inggris, yang awalnya ragu akan khasiat tersebut. Mereka menganggap tidak cukup bukti untuk menyatakan Tamiflu bisa mengatasi virus influenza, apalagi flu burung.
Karena itu, Peter Gotzshe, ketua tim peneliti Nordic Cochrane, lewat British Medical Journal, meminta pemerintah di Eropa menggugat Roche dan meminta kembali duit yang sudah dikeluarkan untuk menimbun Tamiflu. "Uang itu sia-sia," katanya kepada kantor berita Associated Press. Masalahnya bukan hanya soal uang. Jika memang Tamiflu tidak sakti, lalu apa yang kita gunakan saat kasus flu burung meledak?
Pada 1989, sebenarnya perusahaan farmasi asal Inggris, GlaxoSmithKline, telah memproduksi Relenza (zanamivir). Cara kerjanya mirip Tamiflu, yaitu menghambat neuraminidase—enzim yang berada di permukaan virus. Karena dihambat, enzim ini tidak aktif melepaskan virus-virus baru, sehingga perkembangan virus bisa ditekan. Meski lahir lebih dulu, Relenza baru disetujui Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) untuk dipasarkan pada 1999, dua tahun setelah Tamiflu.
Tamiflu makin bersinar saat WHO mengumumkan pandemi flu babi (H1N1) pada 2009. Flu jenis ini pernah memicu pandemi flu Spanyol pada 1918 dan menewaskan 50 juta orang di seluruh dunia. Khawatir akan terjadinya pandemi baru dan mengikuti pedoman WHO, banyak negara menimbun Tamiflu untuk berjaga-jaga.
Tapi tidak semua negara percaya begitu saja pada klaim WHO dan memborong Tamiflu. Inggris, misalnya, agak berhati-hati. Mereka meminta Cochrane mengevaluasi obat tersebut. Lembaga penelitian asal Denmark itu ternyata tidak menemukan cukup bukti bahwa Tamiflu bisa mengurangi komplikasi pada penderita flu.
Keraguan tentang efektivitas Tamiflu makin menumpuk lantaran 8 dari 10 uji kontrol secara acak tentang efektivitas obat ini tidak dipublikasikan Roche. Sejumlah pertanyaan menggelayuti benak para peneliti itu: siapa mengerjakan apa, bagaimana pasien direkrut untuk diuji coba, mengapa beberapa efek samping tidak dilaporkan, dan sebagainya.
Karena itu, pada September 2009, peneliti Cochrane dan British Medical Journal meminta Roche menyediakan sejumlah data ilmiah tentang Tamiflu. Tiga bulan setelahnya, Roche berjanji mengeluarkan laporan 10 pengujian itu secara lengkap. Setelah ditunggu hampir tiga tahun, data yang diminta belum datang. Padahal, dalam dunia farmasi, uji klinis sangat penting untuk mengevaluasi efektivitas dan keamanan obat.
Belum lagi data itu dibuka, pada Maret 2011, WHO sudah memasukkan obat ini ke daftar obat-obatan penting. Selain flu biasa, menurut juru bicara lembaga ini, Gregory Hartl, oseltamivir memiliki cukup bukti ilmiah untuk menangani flu yang tidak biasa, seperti flu burung (H5N1). Sebagai negara dengan kasus kematian akibat flu burung lebih dari 100 orang, mau tak mau, Indonesia ikut menumpuk jutaan Tamiflu.
Tjandra Yoga Aditama, Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan, mengakui Indonesia masih memakai Tamiflu sambil menunggu perkembangan polemik hal ini. "Sejauh ini, untuk penyakit seperti flu burung, rekomendasi WHO dan berbagai pusat kajian penanggulangan penyakit masih memasukkan oseltamivir," ujarnya Senin pekan lalu.
Pada Februari lalu, Tom Jefferson dan Peter Doshi, keduanya peneliti dari Cochrane, sempat menanyakan sikap WHO itu. Mereka menilai kebijakan WHO tersebut tidak tepat karena hasil uji klinis belum terang. Untuk itu, keduanya meminta Hartl menjawab empat pertanyaan. Salah satunya apakah ia menanyakan kepada Roche tentang hasil uji klinis yang tidak dipublikasikan. Dalam jawabannya, Hartl menulis bahwa WHO telah menguji bukti-bukti ilmiah sejumlah obat flu, termasuk oseltamivir.
Untuk melengkapi jawabannya, Hartl menyertakan sebuah alamat situs Internet kepada Jefferson dan Doshi. Saat Tempo membukanya, kalimat awal tertulis "New guidance on clinical management of influenza infections (under development)" dan tertanggal 16 Januari 2012.
Karena tak kunjung mendapat jawaban dari Roche, pada Oktober lalu, Fiona Godlee, Pemimpin Redaksi British Medical, kembali menagih janji, tapi ia tak mendapatkan jawaban memuaskan. "Roche menolak bekerja sama," ucapnya dalam editorial di jurnalnya bulan lalu.
Tentu Roche menolak tudingan itu. Menurut Alexis Bicknell, pejabat senior hubungan masyarakat Roche, perusahaannya mematuhi semua persyaratan hukum mengenai publikasi data penelitian. Namun mereka tak selalu mengeluarkan data sampai di tingkat pasien karena alasan hukum dan kerahasiaan.
Doshi setuju ada hal-hal tertentu dalam proses pembuatan obat yang bersifat rahasia, tapi tidak untuk urusan data uji klinis. Sebab, data ini sangat bermanfaat untuk mengetahui apakah Tamiflu benar-benar ampuh. Dia yakin semua pemerintah yang menimbun Tamiflu berharap obat ini akan mengurangi komplikasi, memangkas masa rawat, dan menekan angka kematian orang yang terserang flu burung.
Roche sebenarnya sudah mempersilakan Cochrane mengakses 3.200 halaman yang memuat informasi tentang uji klinis. Detail laporan uji klinis yang menurut Cochrane belum dipublikasikan juga bisa diakses dengan password khusus. Lembaga lain, yakni Harvard School of Public Health, menurut Bicknell, sudah pula meminta data itu dan diberi akses setelah meneken persetujuan menjaga kerahasiaan.
Masalahnya, menurut Roche, Cochrane enggan meneken kesepakatan itu. "Cochrane banyak mengajukan pertanyaan dan meminta data lebih, tapi mereka menolak meneken kesepakatan kerahasiaan," kata Bicknell. Maka boikot dinilai sebagai seruan yang tak bertanggung jawab.
Untuk menjawab tudingan itu, awal bulan ini, Godlee pun menjalankan semua saran Bicknell. Ternyata, setelah mendapatkan password khusus, hasil uji klinis yang dipaparkan Roche tetap tidak lengkap. Mereka tetap tak menemukan bukti terhadap manfaat obat ini.
Menurut Chris del Mar, rekan Doshi di Cochrane yang juga peneliti dari Universitas Bond, Australia, meluasnya penggunaan Tamiflu bisa memperburuk situasi pandemi jika khasiatnya belum benar-benar teruji. Ia khawatir, setelah minum obat ini, seseorang akan merasa baik, lalu beraktivitas seperti biasa. Tanpa sadar, orang ini akan menularkan virus kepada orang-orang di sekitarnya sehingga virus flu meluas.
Sejauh ini memang belum ada kata putus. Baik Roche maupun lawan mereka sama-sama memiliki argumen kuat. "There’s no such thing as a little flu," begitu tertulis di situs resmi Tamiflu. Memang tak ada yang lebih merepotkan dibanding sakit flu—juga obatnya.
Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo