Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Bunga Kana Untuk Bali

Proyek pengembangan pusat kebudayaan bali mengundang pelukis Affandi untuk pameran dan ceramah. Masalah kemerosotan seni lukis bali dibahas pula. Sebuah karya Affandi diserahkan untuk proyek. (sr)

13 Desember 1975 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AFFANDI datang di Baili membawa 12 buah lukisan. Lukisan ini dipili sedemikian rupa, atas anjuran Pimpinan Proyek Pengembangan Pusat Kbudayaan Bali dan atas hasil "musyawarah" dengan Dirjen Kebudayaan Prof. Dr. Ida Bagus Mantra dari tahun pembuatan 1936 sampai tahun 1975. Ini dimaksud sebagai perbandingn dan sekaligus memperkenalkan siapa Affandi di hadapan pelukis-pelukis Bali. Pameran tunggal Affandi dibuka tepat -- sudah diatur pada pembukaan Pekan Seni ke-II dari Proyek Pengembangan Pusat Kebudayaan Bali, Denpasar. Hingga Pekan Seni sendiri tenggelam dibanding pameran Affandi, walau Pekan Seni dibuka resmi oleh Dirjen Kebudayaan sedang Pameran Tunggal Affandi dibuka oleh utusan Gubernur- Drs Ngurah Ketu. Belum merasa lengkap untuk mengenal Affandi melalui lukisannya, Pimpinan Proyek mengundangnya pula untuk berceramah di tengah-tengah pameran - dihadiri oleh puluhan pelukis yang sebagian besar tergabung dalam Himpunan Pelukis Bali CITRA. Ceramah ini berlangsung tanggal 17 Nopember lalu, dua hari setelah pembukaan Pekan Seni Sapatu Berlumpur Ceramah berjudul 'Pandangan saya terhadap seni lukis saya sendiri' Dan Affandi mulai berkisah tentang dirinya sendiri. Pelukis yang lahir di Cirebon tahun 1910 ini mengatakan, semua karya manusia yang dikaguminya adalah karya seni Besar kecil kekagumannya merupakan ukuran besar kecil kesenian itu. "Orang menjajakan jamu, orang mendayung sepeda, asal saya kagum dengan caranya, itu adalah karya seni". Tentang "faham yang dianut dalam melukis, ia berkata menganut humanisme-alias kemanusiaan dan bukan keindahan. Artinya sesuatu yang indah tapi tidak berbicara tentang kemanusiaan, jangan harap tergores dalam lukisan Affandi. Contoh yang lebih bisa mengerti dikatakan Affandi sebagai berikut. Gadis Yang cantik, alam yang indah tapi tidak menggetarkan perasaan maka terlewatkan. Ada sepatu berlumpur. Betapa punya arti lumpur itu ia berbicara mengenai manusia, maka Affandi merasa perlu menuangkan dalam lukisannya. "Saya ucapkan kegetaran itu, walau saya tahu lukisan itu tidak laku. Bagi saya yang penting bukan laku tapi dapatnya saya mengucapkan keluhan itu", ujar Affandi, sambil menunjukkan beberapa karyanya. Affandi bercerita. Seorang kolektor terkenal mendatangi museumnya di Yogya. Setelah lama berkeliling melihat isi museum, kolektor itu berkata: "Saya tak menemukan apa yang saya cari. Saya ngeri melihat lukisan ini semua. Kenapa anda tidak melukis padi menguning, wanita cantik, matahari terbit dan segala keindahan alam lainnya?" Affandi menjawab: "Semua keindahan itu sudah saya nikmati sendiri, malah keindahan alam seperti itu sangat luar biasa. Tapi itulah, saya tidak tergetar untuk melukisnya". Kolektor itupun pergi. "Itulah keberhasilan saya yang hanya sekali ini saya jumpai. Saat itulah saya menang, membuat seorang kolektor ternama negeri. Saya merasa telah berhasil walau tak terima uang". Kata Affandi di tengah-tengah pameran lukisannya. Tany jawab dimulai. Bisa ditebak yang ditanyakan adalah tanggapan Affandi terhadap permasalahan yang kini muncul di Bali yang merupakan ekses samping dari kepariwisataan. Misalnya, kolektor dan pemahat Ida bagus Tilem ingin meminta "nasehat" bagaimana mengatasi kemerosotan seni lukis di Bali", karena itu memang sudah suara umum. Tapi Affandi tidak percaya seni lukis Bali (atau juga seni lukis Indonesia dan dunia) merosot. Alasannya, seni lukis sekarang sedang melebar. Kalau dulu ada segelintir pelukis namun tekun dan serius, dengan mudah kita mengukur masalah mutu. Sekarang ada ribuan atau jutaan pelukis yang tersebar diberbagai tempat. Sekian pelukis ini sebagian besar pelukis muda yang tidak serius, ingin cepat kaya, dan melukis asal melukis. Karya ini tersebar diberbagai art shop, dilihat para turis asing atau domestik, atau para kolektor,karena guide yang mengantarnya butuh komisi. Hasilnya, lukisan klontong ini merajai pasaran. Maka ada suara seni lukis merosot. Padahal Ida Bagus Made, Igusti Made Deblog dan masih banyak lagi, masih tetap melukis serius walau karya mereka tidak banyak dikenal, dan "walaupun sudah sering dikatakan mati oleh guide". Lalu Affandi mengetengahkan 2 konsep pemecahan. Pertama, pelukis muda harus tetap serius, jangan mengejar materi dan kekayaan. Kedua pemerintah harus turun tangan dengan memberi kesempatan pada pelukis serius untuk berpameran, semacam dalam gedung Proyek Pengembangan Pusat Kebudayaan Bali ini. Selain dua konsep ini, Affandi menitipkan harapan jangan suka menjiplak. Atau menyalin lukisan orang lain. Ini merupakan gejala umum di mana-mana, kata Affandi, walau di Bali sendiri gejala paling besar. Seperti diungkapkan pelukis Alimin Tamin, Ketua Himpunan Pelukis CITRA di Ubud terjadi suatu pelanggaran besar-besaran. Ada semacam perusahaan yang sengaja meng-copy lukisan dalam jumlah besar. Menurut Affandi, selain melanggar Hak Cipta juga suatu dosa yang besar. Melukisnya, kata Affandi. Affandi sendiri pernah menyalin lukisan Brugel yang tersimpan di Museum Louvre (Paris) namun dengan izin. Dalam lukisan copy itu Affandi menulis: Lukisan Breugel dicopy oleh Affandi. "Mari kita jujur". ucap Affandi. Selamatkan Tentang konsep Affandi nomor dua Pimpinan Proyek I Gusti Putu Raka SH menjawab: pemerintah sudah mengulurkan tangan. Denagan berdirinya Proyek Pengembangan Pusat Kebudayaan Bali, karya seni "serius" mendapat penampungan. Bukan cuma lukisan saja, juga tari klasik, memaos (sastra daerah). Sedang karya seni klontongan diatur oleh instansi yang melayani turis. "Masalah sekarang adalah pengertian para seniman", ucap I Gusti Putu Raka SH. Maksudnya agar para seniman menyerahkan sebuah karyanya untuk disimpan di Proyek, agar pengunjung proyek bisa melihat sesungguhnya karya seni di Bali tidak merosot. Ini sudah dianjurkan dari dulu--dipelopori oleh pelukis tua renta I Gusti Nyoman Lempad. "Sayang respons seniman masih kurang", kata Gusti Pt. Raka SH. Affandi sendiri di awal pamerannya juga menyerahkan sebuah lukisan mutakhirnya untuk disimpan di Proyek Pusat Pengembangan Kebudayaan Bali. Berjudul: Kebun Bunga kana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus