AFFANDI datang di Baili membawa 12 buah lukisan. Lukisan ini
dipili sedemikian rupa, atas anjuran Pimpinan Proyek
Pengembangan Pusat Kbudayaan Bali dan atas hasil "musyawarah"
dengan Dirjen Kebudayaan Prof. Dr. Ida Bagus Mantra dari
tahun pembuatan 1936 sampai tahun 1975. Ini dimaksud sebagai
perbandingn dan sekaligus memperkenalkan siapa Affandi di
hadapan pelukis-pelukis Bali. Pameran tunggal Affandi dibuka
tepat -- sudah diatur pada pembukaan Pekan Seni ke-II dari
Proyek Pengembangan Pusat Kebudayaan Bali, Denpasar. Hingga
Pekan Seni sendiri tenggelam dibanding pameran Affandi, walau
Pekan Seni dibuka resmi oleh Dirjen Kebudayaan sedang Pameran
Tunggal Affandi dibuka oleh utusan Gubernur- Drs Ngurah Ketu.
Belum merasa lengkap untuk mengenal Affandi melalui lukisannya,
Pimpinan Proyek mengundangnya pula untuk berceramah di
tengah-tengah pameran - dihadiri oleh puluhan pelukis yang
sebagian besar tergabung dalam Himpunan Pelukis Bali CITRA.
Ceramah ini berlangsung tanggal 17 Nopember lalu, dua hari
setelah pembukaan Pekan Seni
Sapatu Berlumpur
Ceramah berjudul 'Pandangan saya terhadap seni lukis saya
sendiri' Dan Affandi mulai berkisah tentang dirinya sendiri.
Pelukis yang lahir di Cirebon tahun 1910 ini mengatakan, semua
karya manusia yang dikaguminya adalah karya seni Besar kecil
kekagumannya merupakan ukuran besar kecil kesenian itu. "Orang
menjajakan jamu, orang mendayung sepeda, asal saya kagum dengan
caranya, itu adalah karya seni".
Tentang "faham yang dianut dalam melukis, ia berkata menganut
humanisme-alias kemanusiaan dan bukan keindahan. Artinya
sesuatu yang indah tapi tidak berbicara tentang kemanusiaan,
jangan harap tergores dalam lukisan Affandi. Contoh yang lebih
bisa mengerti dikatakan Affandi sebagai berikut. Gadis Yang
cantik, alam yang indah tapi tidak menggetarkan perasaan maka
terlewatkan. Ada sepatu berlumpur. Betapa punya arti lumpur itu
ia berbicara mengenai manusia, maka Affandi merasa perlu
menuangkan dalam lukisannya. "Saya ucapkan kegetaran itu, walau
saya tahu lukisan itu tidak laku. Bagi saya yang penting bukan
laku tapi dapatnya saya mengucapkan keluhan itu", ujar Affandi,
sambil menunjukkan beberapa karyanya.
Affandi bercerita. Seorang kolektor terkenal mendatangi
museumnya di Yogya. Setelah lama berkeliling melihat isi museum,
kolektor itu berkata: "Saya tak menemukan apa yang saya cari.
Saya ngeri melihat lukisan ini semua. Kenapa anda tidak melukis
padi menguning, wanita cantik, matahari terbit dan segala
keindahan alam lainnya?" Affandi menjawab: "Semua keindahan itu
sudah saya nikmati sendiri, malah keindahan alam seperti itu
sangat luar biasa. Tapi itulah, saya tidak tergetar untuk
melukisnya". Kolektor itupun pergi. "Itulah keberhasilan saya
yang hanya sekali ini saya jumpai. Saat itulah saya menang,
membuat seorang kolektor ternama negeri. Saya merasa telah
berhasil walau tak terima uang". Kata Affandi di tengah-tengah
pameran lukisannya.
Tany jawab dimulai. Bisa ditebak yang ditanyakan adalah
tanggapan Affandi terhadap permasalahan yang kini muncul di Bali
yang merupakan ekses samping dari kepariwisataan. Misalnya,
kolektor dan pemahat Ida bagus Tilem ingin meminta "nasehat"
bagaimana mengatasi kemerosotan seni lukis di Bali", karena itu
memang sudah suara umum. Tapi Affandi tidak percaya seni lukis
Bali (atau juga seni lukis Indonesia dan dunia) merosot.
Alasannya, seni lukis sekarang sedang melebar. Kalau dulu ada
segelintir pelukis namun tekun dan serius, dengan mudah kita
mengukur masalah mutu. Sekarang ada ribuan atau jutaan pelukis
yang tersebar diberbagai tempat. Sekian pelukis ini sebagian
besar pelukis muda yang tidak serius, ingin cepat kaya, dan
melukis asal melukis. Karya ini tersebar diberbagai art shop,
dilihat para turis asing atau domestik, atau para
kolektor,karena guide yang mengantarnya butuh komisi. Hasilnya,
lukisan klontong ini merajai pasaran. Maka ada suara seni lukis
merosot. Padahal Ida Bagus Made, Igusti Made Deblog dan masih
banyak lagi, masih tetap melukis serius walau karya mereka tidak
banyak dikenal, dan "walaupun sudah sering dikatakan mati oleh
guide". Lalu Affandi mengetengahkan 2 konsep pemecahan. Pertama,
pelukis muda harus tetap serius, jangan mengejar materi dan
kekayaan. Kedua pemerintah harus turun tangan dengan memberi
kesempatan pada pelukis serius untuk berpameran, semacam dalam
gedung Proyek Pengembangan Pusat Kebudayaan Bali ini. Selain dua
konsep ini, Affandi menitipkan harapan jangan suka menjiplak.
Atau menyalin lukisan orang lain. Ini merupakan gejala umum di
mana-mana, kata Affandi, walau di Bali sendiri gejala paling
besar. Seperti diungkapkan pelukis Alimin Tamin, Ketua Himpunan
Pelukis CITRA di Ubud terjadi suatu pelanggaran besar-besaran.
Ada semacam perusahaan yang sengaja meng-copy lukisan dalam
jumlah besar. Menurut Affandi, selain melanggar Hak Cipta juga
suatu dosa yang besar. Melukisnya, kata Affandi. Affandi sendiri
pernah menyalin lukisan Brugel yang tersimpan di Museum Louvre
(Paris) namun dengan izin. Dalam lukisan copy itu Affandi
menulis: Lukisan Breugel dicopy oleh Affandi. "Mari kita jujur".
ucap Affandi.
Selamatkan
Tentang konsep Affandi nomor dua Pimpinan Proyek I Gusti Putu
Raka SH menjawab: pemerintah sudah mengulurkan tangan. Denagan
berdirinya Proyek Pengembangan Pusat Kebudayaan Bali, karya seni
"serius" mendapat penampungan. Bukan cuma lukisan saja, juga
tari klasik, memaos (sastra daerah). Sedang karya seni
klontongan diatur oleh instansi yang melayani turis. "Masalah
sekarang adalah pengertian para seniman", ucap I Gusti Putu Raka
SH. Maksudnya agar para seniman menyerahkan sebuah karyanya
untuk disimpan di Proyek, agar pengunjung proyek bisa melihat
sesungguhnya karya seni di Bali tidak merosot. Ini sudah
dianjurkan dari dulu--dipelopori oleh pelukis tua renta I Gusti
Nyoman Lempad. "Sayang respons seniman masih kurang", kata Gusti
Pt. Raka SH. Affandi sendiri di awal pamerannya juga menyerahkan
sebuah lukisan mutakhirnya untuk disimpan di Proyek Pusat
Pengembangan Kebudayaan Bali. Berjudul: Kebun Bunga kana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini