Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Tragedi Sepasang Laki-Bini

Lu tjhin kie dan istrinya, terbunuh di tempat yang terpisah. Polisi pontianak berhasil menangkap 2 orang pelakunya yang berstatus penganggur. Mereka bertujuan merampok harta lu, tapi tak berhasil (krim)

13 Desember 1975 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NENEK Lim Cui Mui dan 5 cucunya bertangisan sepanjang pagi 5 Nopember yang lalu. Sebab Lu Tjhin Kie, ayah dari lima anak itu dan isterinya Tjhong Dju Djan diajak dua lelaki yang kurang begitu dikenal Lim. Kejadian itu tentu saja menggegerkan tetangga, terutama para langganan usahanya. Polisi segera mengepung segala lobang yang mungkin digunakan kedua penculik itu untuk meloloskan liri. Hanya ciri-ciri kedua penculik yang dijadikan bekal polisi untuk melangkah. Plus sedikit keterangan bahwa anak dan menantu Lim diajak pergi untuk urusan jual beli kayu. Pagi hari itu masyarakat Pontianak dikejutkan oleh penemuan mayat yang terbungkus karung goni. Lim dan cucunya segera menuju rumah sakit umum Sei Jawi untuk mengenal lelaki dalam karung itu. Tangis mereka kemudian bertambah keras lantaran sudah pasti bahwa mayat yang terluka itu memang Lu, 39 tahun. Lalu di mana Ny. Tjhong? Baru dua hari berikutnya nyonya yang berusia 31 tahun itu bisa ditemukan di lapangan terbang Supadio 10 kilometer dari Pontianak. Keadaannya juga mengerikan. Kalung, liontin, cincin dan anting-anting sudah tidak ada di tubuhnya lagi. Banyak orang, terutama yang Tionghoa, membanjiri rumah sakit, dan gerimis bukan halangan bagi mereka untuk mengetahui pembunuhan atas suami isteri itu. Sampai Mati Untuk sementara polisi menahan anak perempuan seorang penjual minuman karena anak ini diduga erat hubungannya dengan Tjhong Djuk Sin, salah seorang tersangka. Pemuda berambut gondrong yang disebut terakhir ini tanggal 8 siang tampak datang ke penjual minuman itu. Dengan berbagai alasan ia hilang tidak akan mau diajak ke Rantor polisi tatkala si penjual minuman menganjurkan demikian. Penjual minuman itu berhasil membujuk dan keduanya lalu naik becak. Namun sebelum sampai tempat tujuan, yaitu kantor polisi Tjhong yang punya alias A Nyi loncat dari becak. Temannya sebecak tentu saja penasaran. Dengan jeritan ia meminta bantuan masyarakat di sekitar pasar. A Nyi tidak kalah akal. Ia pun ganti berteriak: "pencuri . . . pencuri", dengan tangan mengarah ke penjual minuman. Namun sia-sia saja teriakan ini karena polisi sudah siap-siap di sekitar pasar. Sedikit lebih cepat massa bertindak dengan membikin A Nyi babak belur, baru kemudian ia diamankan polisi. Begitu dongkol orang-orang kepada A Nyi sampai-sampai ada yang meminta agar pemuda itu dipukuli saja sampai mati. Dan malah ada juga yang bersedia membayar Rp 1 ribu untuk satu kali pukulan. Dalam pengakuan sementara A Nyi membantah bahwa dia pembunuhnya. Jarinya ditudingkan kepada Ng Tjin Djin alias A Djan. Lewat wanita "kawan dekat" A Djan yang lebih dulu ditahan polisi, lelaki berusia 30 tahun ini bisa digerebek. Ia sedang ngumpet di WC ketika polisi datang jam 10 malam di rumah salah seorang kawan A Djan. seorang Tionghoa pula. Waktu ditangkap A Djan hanya mengantongi uang Rp 2 ribu dan satu arloji. Kakinya Ditekuk Lu menjadi akrab dengan A Nyi dan keluarganya karena ayah A Nyi, yang bernama Loya, mengangkat Lu sebagai anak angkat. Alasannya: Lu dalam belajar silat aliran Kung Fu lebih lihay dari A Nyi. Berikut ini adalah pengakuan sementara dari A Nyi dan A Djan yang sudah melakukan rekonstruksi untuk perkara pembunuhan itu dengan diri mereka sebagai tertuduh. Keduanya saling berkenalan ketika harga kayu di pasaran dunia cukup menggiurkan. Mereka pernah bekerja di sebuah CV namun kemudian sama-sama jadi penganggur. Habis sudah kawan-kawan yang tadinya suka menolong karena belakangan mereka dikenal sebagai tukang tipu. Pandangan A Nyi terhadap kawan-kawannya tinggal satu saja. Yaitu Lu yang tinggal di Jalan Penjara Pontianak. Dalam omong-omong tanggal 4 sore, A Nyi nyeletuk: "Bagaimana kalau kita merampok saja?". A Djan menurut saja, asal temannya itu yarlg mengatur. Sore itu juga jam 5, A Nyi bergerak ke rumah Lu. Pokoknya beres, Lu diculik - dengan dalih ada orang ingin jual kayu---lantas hartanya dirampok. Pendekatan pertama meleset karena Lu masih sibuk melayani langganannya. Yang kedua, sudah agak malam, mereka berhasil membujuk Lu keluar. Dengan Vespanya, Lu berangkat bersama A Nyi menuju suatu tempat di mana transaksi dengan penjual kayu ditunaikan. Sedikit curiga juga Lu karena lama ditunggu pembicaraan belum juga ketahuan ujung pangkalnya. Ada niat Lu untuk kabur, namun A Nyi lebih cepat mencekik lehernya dari belakang. Ditambah dengan tali yang diikatkan kuat-kuat, Lu tidak berkutik lagi di situ yang tak lain adalah warung A Nyi. Keributan di warung ini sempat terdengar oleh beberapa orang yang ada di sana. Tapi A Nyi dengan tenang menjawab bahwa ada yang sedang mabuk. Begitulah, sehabis kehilangan nyawanya, Lu dimasukkan ke karung goni. Kakinya sempat ditekuk karena maklum saja karung itu tidak muat untuk seluruh tubuhnya. A Nyi memanggil seorang pengemudi becak yang kebetulan lewat saja, sedangkan di situ sebetulnya banyak becak yang memangkal. Becak kemudian menuju ke arah jalan Merdeka. Yang mengawal karung itu A Djan sedangkan A Nyi naik Vespa Lu. Perjalanan dengan becak hanya separoh jalan Selanjutnya karung ditaruh di antara kedua kaki A Nyi di Vespa dan A Djan numpang di belakang motor itu. Hampir 7 kilometer perjalanan itu ditempuh dan ketika sampai di Parit Baru maya dilemparkan ke kali dari atas jembatan. Menghujani Tengkuk Selesai pekerjaan pada tengah malam itu, dinihari mereka kembali ke rumah Lu untuk mengambil uang. Masih naik Vespa. Kedatangan kedua tamu itu makin menambah kecurigaan nenek Lim dan anaknya. Dengan tenang saja A Nyi menjawab bahwa Lu sedang asyik memilih kayu. Malah kepada yang empunya rumah disampaikan pesan Lu agar Tjhong isteri Lu, menyerahkan uang berapa saja yang ada di rumah kepada tamunya itu. Sayang akal ini tidak selicin yang diharapkan. Tjhong dan Lim makin curiga saja atas ulah tamunya. Timbul debat kecil di antara kedua wanita itu. Mereka saling berdebat untuk berjumpa dengan Lu. Putusannya begini: Tjhong berangkat dibonceng tamunya dan ibunya bertugas menjaga cucu-cucu. A Nyi dan Tjhong berangkat menuju lapangan terbang Supadio. Ditunjukkan kepada Tjhong di mana suaminya berada. Ketika sampai sekitar 200 meter dari jalan raya, A Nyi menemukan sepotong kayu. Benda itu dipakainya untuk menghujani tengkuk N. Tjhong. Wanita ini masih sempat berbalik ke arah A Nyi. Namun lelaki ini mengulangi pukulannya. Tjhong terjatuh dan giliran perutnya yang terkena kayu bertubi-tubi. Biar sudah tidak bisa berkutik, Tjhong masih diikat batang lehernya dengan tali. Dari korban ini A Nyi berhasil mengeruk perhiasan dan uang tunai Rp 10 ribu. Jaket merah yang dipakai Tjhong tidak diambil tetapi diikatkan ke lehernya. Setelah semuanya sip, barulah tubuh wanita ini diseret menuju semak belukar yang jaraknya sekitar 50 meter. Cukup tersembunyi. Menuju Gereja Bagaimana A Djan? Ia bisa lolos dari rumah Lu ketika Lim terlena. Nenek ini ada berteriak: "pencuri . . . pencuri" tapi keadaan masih sepi sehingga A Djan berhasil kabur. Ia kemudian bertemu dengan A Nyi. Ada gagasan pada diri kedua lelaki itu untuk lari ke singkawang. Namun apa daya bekal cuma Rp 10 ribu saja. Tidak cukup. Dalam kebingungan itu mereka meninggalkan Vespa Lu di sebuah rumah makan, di pinggir Sei Kapuas. Sejak itu keduanya berpisah, namun sebentar saja. Sebab toh beberapa hari berikutnya mereka bertemu kembali. Di Kantor polisi. Hanya beberapa jam setelah terjadi pembunuhan itu A Djan menuju gereja Protestan, Jalan Sisingamangaraja. Sebelum rekonstruksi dilakukannya ia mengatakan kepada beberapa wartawan bahwa ia datang ke gereja untuc minta ampun kePada Tutian. Saat itu, katanya, ia sadar akan apa yang telah dilakukannya. Ia meminta jalan yang benar untuk menebus dosa-dosanya. Lain halnya dengan A Nyi. Ia berkeliaran saja di kota tanpa sadar bahwa polisi sudah membuntutinya. Tapi tidak lama ia menjadi orang bebas. Habis bertemu dengan calon mertuanya, yang menjadi penjual minuman itu, A Nyi tertangkap oleh rakyat dan kemudian oleh polisi. Di kamar tahanan baru ia sadar telah berbuat jahat. "Saya tak menyesal, cuma saya kesal mengapa Lu punya duit cuma Rp 10 ribu", katanya. Sedangkan menurut taksirannya Lu bawa duit banyak. Dan jika memang begitu cukup untuk lari jauh-jauh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus