NENEK Lim Cui Mui dan 5 cucunya bertangisan sepanjang pagi 5
Nopember yang lalu. Sebab Lu Tjhin Kie, ayah dari lima anak itu
dan isterinya Tjhong Dju Djan diajak dua lelaki yang kurang
begitu dikenal Lim. Kejadian itu tentu saja menggegerkan
tetangga, terutama para langganan usahanya. Polisi segera
mengepung segala lobang yang mungkin digunakan kedua penculik
itu untuk meloloskan liri. Hanya ciri-ciri kedua penculik yang
dijadikan bekal polisi untuk melangkah. Plus sedikit keterangan
bahwa anak dan menantu Lim diajak pergi untuk urusan jual beli
kayu.
Pagi hari itu masyarakat Pontianak dikejutkan oleh penemuan
mayat yang terbungkus karung goni. Lim dan cucunya segera menuju
rumah sakit umum Sei Jawi untuk mengenal lelaki dalam karung
itu. Tangis mereka kemudian bertambah keras lantaran sudah pasti
bahwa mayat yang terluka itu memang Lu, 39 tahun. Lalu di mana
Ny. Tjhong? Baru dua hari berikutnya nyonya yang berusia 31
tahun itu bisa ditemukan di lapangan terbang Supadio 10
kilometer dari Pontianak. Keadaannya juga mengerikan. Kalung,
liontin, cincin dan anting-anting sudah tidak ada di tubuhnya
lagi. Banyak orang, terutama yang Tionghoa, membanjiri rumah
sakit, dan gerimis bukan halangan bagi mereka untuk mengetahui
pembunuhan atas suami isteri itu.
Sampai Mati
Untuk sementara polisi menahan anak perempuan seorang penjual
minuman karena anak ini diduga erat hubungannya dengan Tjhong
Djuk Sin, salah seorang tersangka. Pemuda berambut gondrong yang
disebut terakhir ini tanggal 8 siang tampak datang ke penjual
minuman itu. Dengan berbagai alasan ia hilang tidak akan mau
diajak ke Rantor polisi tatkala si penjual minuman menganjurkan
demikian. Penjual minuman itu berhasil membujuk dan keduanya
lalu naik becak. Namun sebelum sampai tempat tujuan, yaitu
kantor polisi Tjhong yang punya alias A Nyi loncat dari becak.
Temannya sebecak tentu saja penasaran. Dengan jeritan ia meminta
bantuan masyarakat di sekitar pasar. A Nyi tidak kalah akal. Ia
pun ganti berteriak: "pencuri . . . pencuri", dengan tangan
mengarah ke penjual minuman. Namun sia-sia saja teriakan ini
karena polisi sudah siap-siap di sekitar pasar. Sedikit lebih
cepat massa bertindak dengan membikin A Nyi babak belur, baru
kemudian ia diamankan polisi. Begitu dongkol orang-orang kepada
A Nyi sampai-sampai ada yang meminta agar pemuda itu dipukuli
saja sampai mati. Dan malah ada juga yang bersedia membayar Rp 1
ribu untuk satu kali pukulan.
Dalam pengakuan sementara A Nyi membantah bahwa dia pembunuhnya.
Jarinya ditudingkan kepada Ng Tjin Djin alias A Djan. Lewat
wanita "kawan dekat" A Djan yang lebih dulu ditahan polisi,
lelaki berusia 30 tahun ini bisa digerebek. Ia sedang ngumpet di
WC ketika polisi datang jam 10 malam di rumah salah seorang
kawan A Djan. seorang Tionghoa pula. Waktu ditangkap A Djan
hanya mengantongi uang Rp 2 ribu dan satu arloji.
Kakinya Ditekuk
Lu menjadi akrab dengan A Nyi dan keluarganya karena ayah A Nyi,
yang bernama Loya, mengangkat Lu sebagai anak angkat. Alasannya:
Lu dalam belajar silat aliran Kung Fu lebih lihay dari A Nyi.
Berikut ini adalah pengakuan sementara dari A Nyi dan A Djan
yang sudah melakukan rekonstruksi untuk perkara pembunuhan itu
dengan diri mereka sebagai tertuduh. Keduanya saling berkenalan
ketika harga kayu di pasaran dunia cukup menggiurkan. Mereka
pernah bekerja di sebuah CV namun kemudian sama-sama jadi
penganggur. Habis sudah kawan-kawan yang tadinya suka menolong
karena belakangan mereka dikenal sebagai tukang tipu. Pandangan
A Nyi terhadap kawan-kawannya tinggal satu saja. Yaitu Lu yang
tinggal di Jalan Penjara Pontianak. Dalam omong-omong tanggal 4
sore, A Nyi nyeletuk: "Bagaimana kalau kita merampok saja?". A
Djan menurut saja, asal temannya itu yarlg mengatur. Sore itu
juga jam 5, A Nyi bergerak ke rumah Lu. Pokoknya beres, Lu
diculik - dengan dalih ada orang ingin jual kayu---lantas
hartanya dirampok. Pendekatan pertama meleset karena Lu masih
sibuk melayani langganannya. Yang kedua, sudah agak malam,
mereka berhasil membujuk Lu keluar. Dengan Vespanya, Lu
berangkat bersama A Nyi menuju suatu tempat di mana transaksi
dengan penjual kayu ditunaikan. Sedikit curiga juga Lu karena
lama ditunggu pembicaraan belum juga ketahuan ujung pangkalnya.
Ada niat Lu untuk kabur, namun A Nyi lebih cepat mencekik
lehernya dari belakang. Ditambah dengan tali yang diikatkan
kuat-kuat, Lu tidak berkutik lagi di situ yang tak lain adalah
warung A Nyi.
Keributan di warung ini sempat terdengar oleh beberapa orang
yang ada di sana. Tapi A Nyi dengan tenang menjawab bahwa ada
yang sedang mabuk. Begitulah, sehabis kehilangan nyawanya, Lu
dimasukkan ke karung goni. Kakinya sempat ditekuk karena maklum
saja karung itu tidak muat untuk seluruh tubuhnya. A Nyi
memanggil seorang pengemudi becak yang kebetulan lewat saja,
sedangkan di situ sebetulnya banyak becak yang memangkal. Becak
kemudian menuju ke arah jalan Merdeka. Yang mengawal karung itu
A Djan sedangkan A Nyi naik Vespa Lu. Perjalanan dengan becak
hanya separoh jalan Selanjutnya karung ditaruh di antara kedua
kaki A Nyi di Vespa dan A Djan numpang di belakang motor itu.
Hampir 7 kilometer perjalanan itu ditempuh dan ketika sampai di
Parit Baru maya dilemparkan ke kali dari atas jembatan.
Menghujani Tengkuk
Selesai pekerjaan pada tengah malam itu, dinihari mereka kembali
ke rumah Lu untuk mengambil uang. Masih naik Vespa. Kedatangan
kedua tamu itu makin menambah kecurigaan nenek Lim dan anaknya.
Dengan tenang saja A Nyi menjawab bahwa Lu sedang asyik memilih
kayu. Malah kepada yang empunya rumah disampaikan pesan Lu agar
Tjhong isteri Lu, menyerahkan uang berapa saja yang ada di rumah
kepada tamunya itu. Sayang akal ini tidak selicin yang
diharapkan. Tjhong dan Lim makin curiga saja atas ulah tamunya.
Timbul debat kecil di antara kedua wanita itu. Mereka saling
berdebat untuk berjumpa dengan Lu. Putusannya begini: Tjhong
berangkat dibonceng tamunya dan ibunya bertugas menjaga
cucu-cucu.
A Nyi dan Tjhong berangkat menuju lapangan terbang Supadio.
Ditunjukkan kepada Tjhong di mana suaminya berada. Ketika sampai
sekitar 200 meter dari jalan raya, A Nyi menemukan sepotong
kayu. Benda itu dipakainya untuk menghujani tengkuk N. Tjhong.
Wanita ini masih sempat berbalik ke arah A Nyi. Namun lelaki ini
mengulangi pukulannya. Tjhong terjatuh dan giliran perutnya yang
terkena kayu bertubi-tubi. Biar sudah tidak bisa berkutik,
Tjhong masih diikat batang lehernya dengan tali. Dari korban ini
A Nyi berhasil mengeruk perhiasan dan uang tunai Rp 10 ribu.
Jaket merah yang dipakai Tjhong tidak diambil tetapi diikatkan
ke lehernya. Setelah semuanya sip, barulah tubuh wanita ini
diseret menuju semak belukar yang jaraknya sekitar 50 meter.
Cukup tersembunyi.
Menuju Gereja
Bagaimana A Djan? Ia bisa lolos dari rumah Lu ketika Lim
terlena. Nenek ini ada berteriak: "pencuri . . . pencuri" tapi
keadaan masih sepi sehingga A Djan berhasil kabur. Ia kemudian
bertemu dengan A Nyi. Ada gagasan pada diri kedua lelaki itu
untuk lari ke singkawang. Namun apa daya bekal cuma Rp 10 ribu
saja. Tidak cukup. Dalam kebingungan itu mereka meninggalkan
Vespa Lu di sebuah rumah makan, di pinggir Sei Kapuas. Sejak itu
keduanya berpisah, namun sebentar saja. Sebab toh beberapa hari
berikutnya mereka bertemu kembali. Di Kantor polisi.
Hanya beberapa jam setelah terjadi pembunuhan itu A Djan menuju
gereja Protestan, Jalan Sisingamangaraja. Sebelum rekonstruksi
dilakukannya ia mengatakan kepada beberapa wartawan bahwa ia
datang ke gereja untuc minta ampun kePada Tutian. Saat itu,
katanya, ia sadar akan apa yang telah dilakukannya. Ia meminta
jalan yang benar untuk menebus dosa-dosanya. Lain halnya dengan
A Nyi. Ia berkeliaran saja di kota tanpa sadar bahwa polisi
sudah membuntutinya. Tapi tidak lama ia menjadi orang bebas.
Habis bertemu dengan calon mertuanya, yang menjadi penjual
minuman itu, A Nyi tertangkap oleh rakyat dan kemudian oleh
polisi. Di kamar tahanan baru ia sadar telah berbuat jahat.
"Saya tak menyesal, cuma saya kesal mengapa Lu punya duit cuma
Rp 10 ribu", katanya. Sedangkan menurut taksirannya Lu bawa duit
banyak. Dan jika memang begitu cukup untuk lari jauh-jauh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini