Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Orang asing,ngomong asing

Belanda diapit oleh negara-negara yang berbahasa raksasa: inggeris, perancis dan jer-bar. dijadikan pelajaran sekolah menengah selain bahasa sendiri. dalam pidato, karya tulis atau iklan tidak ada istilah asing.

13 Desember 1975 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BENUA Eropa punya rup-rupa bahasa. Dan bangsa-bangsa Eropa punya rupa-rupa perlakuan untuk memelihara miliknya. Di Jerman Barat misalnya. Acara-acara televisi di sana nyaris semuanya disuarakan dalam bahasa Jerman. Baik itu acara pribumi maupun sebuah film bedil-bedilan dari Hollywood. Jadi harap tidak terkejut bila sang jagoan John Wayne mendadak sontak begitu lancar "ngomong Jerman". Dalam tiap bentakan maupun rayuan. Pengerjaan yang rapih seperti itu berlaku pula buat flm-film yang diputar di gedung bioskop. Kebiasaan bangsa Jerman memakai bahasa sendiri mungkin sama tuanya dengan keunggulan mereka di bidang teknik. Beberapa istilah, yang dalam banyak negara mengalami bunyi yang serupa, ternyata lain nasibnya dalam bahasa Jerman. Seperti peti bergambar yang lazim disebut televisi (television, televisie, televisione .... ) oleh orang sana diberi nama das Fernsehen. Artinya tetap sama: lihat jauh. Rasa kebanggaan yang mendesak-desakkah ini? Entah. Yang terang ada ampuhnya buat menghadang pengaruh luar di tengah-tengah lantai kemajuan yang tiap detak semakin menanjak. Seperti komunikasi, yang memungkinkan hubungan telepon langsung antara kota-kota besar Eropa. Seperti pengangkutan, dengan mana berjuta orang setiap musim panas melintas-lintas di Eropa mengenyam masa liburnya. Termasuk yang menyeberang dari Kanada dan Amerika. Masing-masing dengan seradak-seruduk dan jalan pikiran yang dibekal dari negara asal. Kegemaran memakai bahasa sendiri dilaksanakan pula oleh bangsa Perncis dengan lebih tekun. Sehingga amat sukarlah menjumpai penduduk Perancis yang dapat diajak berbincang dalam bahasa lain. Sekalipun di kota dunia tersohor yang namanya Paris. Padahal kerap timbul kesan bahwa mereka sesungguhnya mengerti kata-kata Inggeris yang diajukan, untuk menanyakan jalan misalnya. Dan cukup sanggup membalasnya. Tapi mereka menolak. Maunya tetamu saja yang cascis-cus dalam bahasa Perancis. Adat seperti ini dapat diurut asal-usulnya sampai pada abad ke 18 dan 19. Tatkala bahasa Perancis mengalami saat jaya-jayanya di Eropa. Diakui dan dipakai dalam filsafat, sastra, sampai-sampai menjadi bahasa terhormat para diplomat. Antara lain berkat kemampuan pengungkapan abstraknya untuk merumuskan pemikiran-pemikiran baru pada zaman itu. Namun kerinduan pada gemilang lama bukan melulu milik Perancis. Orang-orang kerajaan Inggeris pun pada sibuk mempertahankan bahasanya yang "terlanjur" dipakai di seluruh dunia. Maka ketika The Beatles lewat lagu-lagunya membikin bahasa Inggeris tambah sering diucapkan di penjuru cakrawala, sang Ratu tanpa ragu mengulurkan penghargaan kepada si empat gondrong. Sekali rengkuh dua keuntungan. Para pemuja senang, rindu akan kejayaan pun terpuaskan. Akan negara kecil yang bernama Belanda nasibnya tidak semegah itu. Sudah penduduknya cuma 13 juta, letaknya dijepit lagi oleh tetangga dengan bahasa-bahasa raksasa. Inggeris (penduduknya saja sekitar 56 juta), Jerman Barat (61 juta) dan Perancis (51 juta). Menghadapi takdir seperti ini, ketiga bahasa tadi pun disediakan sebagai pelajaran di sekolah menengah di samping bahasa sendiri. Biar aman, kalau ada tetangga yang ingin mengobrol. Ini bukan berarti orang-orang Belanda suka sekali berucap-ucap dalam bahasa asing. Memang boleh juga penduduk negara datar itu. Di universitas misalnya, seorang pofesor akan mendadak mengernyitkan dahi bila memergoki kata asing yang tersesat dalam kertas karya mahasiswanya. Dan bila kata itu cukup aneh, ia bisa terbirit-birit lari ke perpustakaan membuka kamus gede. Lalu menelepon rekan-rekan guru besar untuk meyakinkan teriemahan yang jitu. Dalam pidato atau ceramah, rasa penghargaan pada seorang pemuka masyarakat dapat diam-diam berkurang manakala beliau ini gemar menyisipkan kata-kata dari bahasa orang lain. Paling sedikit akan mengundang gumam-gumam atau senyum-senyum kecil. Majalah dan suratkabar pun jarang sekali memuat iklan yang separuh atau seluruhnya memakai bahasa asing. Tentang sebabnya bisa macam-macam. Pertama, perbendaharaan bahasa Belanda patut diakui sudah keburu lengkap. Atau memang dekat dengan kerangka bahasa asing itu. Sehingga bahasa sendiri cukup menjelaskan maksud yang dikandung iklan. Kedua, bisa saja mereka berpendapat: mana mungkin orang yang buta bahasa Belanda akan membaca majalah Belanda? Dan ketiga, masyarakat sana agaknya tidak begitu sudi dengan segala tipu rayu. Maklum, banyak istilah mentereng dalam iklan yang unanya buat aksi-aksian belaka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus