BENUA Eropa punya rup-rupa bahasa. Dan bangsa-bangsa Eropa
punya rupa-rupa perlakuan untuk memelihara miliknya.
Di Jerman Barat misalnya. Acara-acara televisi di sana nyaris
semuanya disuarakan dalam bahasa Jerman. Baik itu acara pribumi
maupun sebuah film bedil-bedilan dari Hollywood. Jadi harap
tidak terkejut bila sang jagoan John Wayne mendadak sontak
begitu lancar "ngomong Jerman". Dalam tiap bentakan maupun
rayuan. Pengerjaan yang rapih seperti itu berlaku pula buat
flm-film yang diputar di gedung bioskop.
Kebiasaan bangsa Jerman memakai bahasa sendiri mungkin sama
tuanya dengan keunggulan mereka di bidang teknik. Beberapa
istilah, yang dalam banyak negara mengalami bunyi yang serupa,
ternyata lain nasibnya dalam bahasa Jerman. Seperti peti
bergambar yang lazim disebut televisi (television, televisie,
televisione .... ) oleh orang sana diberi nama das Fernsehen.
Artinya tetap sama: lihat jauh.
Rasa kebanggaan yang mendesak-desakkah ini? Entah. Yang terang
ada ampuhnya buat menghadang pengaruh luar di tengah-tengah
lantai kemajuan yang tiap detak semakin menanjak. Seperti
komunikasi, yang memungkinkan hubungan telepon langsung antara
kota-kota besar Eropa. Seperti pengangkutan, dengan mana berjuta
orang setiap musim panas melintas-lintas di Eropa mengenyam masa
liburnya. Termasuk yang menyeberang dari Kanada dan Amerika.
Masing-masing dengan seradak-seruduk dan jalan pikiran yang
dibekal dari negara asal.
Kegemaran memakai bahasa sendiri dilaksanakan pula oleh bangsa
Perncis dengan lebih tekun. Sehingga amat sukarlah menjumpai
penduduk Perancis yang dapat diajak berbincang dalam bahasa
lain. Sekalipun di kota dunia tersohor yang namanya Paris.
Padahal kerap timbul kesan bahwa mereka sesungguhnya mengerti
kata-kata Inggeris yang diajukan, untuk menanyakan jalan
misalnya. Dan cukup sanggup membalasnya. Tapi mereka menolak.
Maunya tetamu saja yang cascis-cus dalam bahasa Perancis.
Adat seperti ini dapat diurut asal-usulnya sampai pada abad ke
18 dan 19. Tatkala bahasa Perancis mengalami saat jaya-jayanya
di Eropa. Diakui dan dipakai dalam filsafat, sastra,
sampai-sampai menjadi bahasa terhormat para diplomat. Antara
lain berkat kemampuan pengungkapan abstraknya untuk merumuskan
pemikiran-pemikiran baru pada zaman itu.
Namun kerinduan pada gemilang lama bukan melulu milik Perancis.
Orang-orang kerajaan Inggeris pun pada sibuk mempertahankan
bahasanya yang "terlanjur" dipakai di seluruh dunia. Maka ketika
The Beatles lewat lagu-lagunya membikin bahasa Inggeris tambah
sering diucapkan di penjuru cakrawala, sang Ratu tanpa ragu
mengulurkan penghargaan kepada si empat gondrong. Sekali rengkuh
dua keuntungan. Para pemuja senang, rindu akan kejayaan pun
terpuaskan.
Akan negara kecil yang bernama Belanda nasibnya tidak semegah
itu. Sudah penduduknya cuma 13 juta, letaknya dijepit lagi oleh
tetangga dengan bahasa-bahasa raksasa. Inggeris (penduduknya
saja sekitar 56 juta), Jerman Barat (61 juta) dan Perancis (51
juta). Menghadapi takdir seperti ini, ketiga bahasa tadi pun
disediakan sebagai pelajaran di sekolah menengah di samping
bahasa sendiri. Biar aman, kalau ada tetangga yang ingin
mengobrol.
Ini bukan berarti orang-orang Belanda suka sekali berucap-ucap
dalam bahasa asing. Memang boleh juga penduduk negara datar itu.
Di universitas misalnya, seorang pofesor akan mendadak
mengernyitkan dahi bila memergoki kata asing yang tersesat dalam
kertas karya mahasiswanya. Dan bila kata itu cukup aneh, ia bisa
terbirit-birit lari ke perpustakaan membuka kamus gede. Lalu
menelepon rekan-rekan guru besar untuk meyakinkan teriemahan
yang jitu.
Dalam pidato atau ceramah, rasa penghargaan pada seorang pemuka
masyarakat dapat diam-diam berkurang manakala beliau ini gemar
menyisipkan kata-kata dari bahasa orang lain. Paling sedikit
akan mengundang gumam-gumam atau senyum-senyum kecil.
Majalah dan suratkabar pun jarang sekali memuat iklan yang
separuh atau seluruhnya memakai bahasa asing. Tentang sebabnya
bisa macam-macam. Pertama, perbendaharaan bahasa Belanda patut
diakui sudah keburu lengkap. Atau memang dekat dengan kerangka
bahasa asing itu. Sehingga bahasa sendiri cukup menjelaskan
maksud yang dikandung iklan. Kedua, bisa saja mereka
berpendapat: mana mungkin orang yang buta bahasa Belanda akan
membaca majalah Belanda? Dan ketiga, masyarakat sana agaknya
tidak begitu sudi dengan segala tipu rayu. Maklum, banyak
istilah mentereng dalam iklan yang unanya buat aksi-aksian
belaka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini