BAGI orang Jepang, mencintai bunga tidak harus berpaku pada ikebana. Sebagai keindahan rangkaian bunga, ikebana memang sudah menjadi klasik, akarnya saja sejak awal abad ke-6. Tapi, seiring dengan pembawaan orang-orang Negeri Matahari Terbit itu untuk selalu mengadaptasi kreasi-kreasi bagus dari negeri lain, mereka kemudian menoleh ke Meksiko untuk mendapatkan keindahan rangkaian bunga -- dalam karakternya yang lain. Dari Meksiko, negeri yang terkenal dengan jenis makanan lezat berkarbohidrat tinggi itu, orang Jepang menemukan warna-warni bunga yang terbuat dari tepung terigu. Dibanding bunga kertas atau bahkan yang dari kain sutera sekalipun yang sama sekali tak berkarakter dan berkesan murah itu, bunga tepung terigu rupanya dianggap memberikan tantangan dan rangsangan baru untuk berkreasi. Itulah yang sebagiannya kemudian dianggap layak dipamerkan di Istana Ballroom Hotel Sari Pasifik Jakarta, Senin hingga Selasa ini. Riwayat kreasi ini dimulai lebih dari 25 tahun lalu, ketika seorang pengusaha Jepang yang sedang di Meksiko terpikat pada kerajinan rakyat setempat, terutama bunga tepung itu. Ia lalu mengundang beberapa perajin tersebut untuk datang ke Jepang dan mendemonstrasikan keterampilan mereka. Orang Jepang, yang menganggap kerajinan ini sebagai kesenian baru, lantas mulai berbondong mempelajarinya. Dalam 10 tahun terakhir, kursus keterampilan ini bertambah laku, bahkan diselenggarakan di rumah pribadi, sekolah, sampai toserba. Hasilnya jauh lebih bagus, lebih indah seperti kebanyakan karya adaptasi mereka yang lain, dari sekadar transistor sampai teknologi canggih. Apalagi di Jepang, bunga itu tak sekadar hiasan. "Filosofinya, setangkai bunga dalam ruangan bisa membangkitkan rasa keruangan seperti berada dalam alam terbuka," kata Minoru Shirota, Sekretaris II Kedubes Jepang di Jakarta. Maka, orang seperti Nyonya Yoshiko Matsuaki, desainer ruang dalam (interior) yang bergabung pada Japan Migahong Group (Persatuan Guru Perangkai Bunga, yang terbesar di sana), menekuni pembuatan kesenian baru ini. Ia datang ke Indonesia pada 1978, mengikuti suaminya, tenaga ahli pada sebuah perusahaan kayu lapis. Yoshiko-san, 49 tahun, mulai enam tahun lalu menyebarkan kepandaiannya pada sjumlah wanita Jepang di sini dan beberapa ibu rumah tangga pribumi. Untuk belajar dua kali sebulan, seorang siswa dipungut Rp 25.000. Mengingat membuat bunga tepung itu susah, dari 40 siswanya hanya lima yang memilih bidang ini. "Pembuatan bunga in memang lain dengan ikebana, tapi penghayatannya sama," tutur Yoshiko-san. Bahan bakunya disebut pan nendo, yang putih dan liat seperti lilin. Dan itu diimpor dari Jepang. Bentuknya seperti bulatan sebesar peuyeum, tape singkong. Perekatnya sangat berperan untuk merangkaikan daun, kembang, dan rantingnya. Setelah dijemur di bawah matahari, lalu barulah disapu warna cat minyak atau akrilik. Rangkaiannya apalagi yang besar, jatuhnya mahal. Dari dua gelinding tepung saja, harganya Rp 10.000 dan itu menghasilkan tiga mawar ukuran sedang. Namun, itu bukan penghambat. "Di Jepang, seni kerajinan sangat dihargai, karena dibutuhkan ketekunan, ketelitian, di samping dikagumi rasa keindahannya," ujar Nyonya Sasaki, seorang murid Yoshiko-san. Tapi dalam pameran kali ini, tak satu pun bunga tepung itu dijual. Di Jepang, kerajinan ini boleh dibilang juga tak lazim dijual. Bukan tidak laku, hanya karena mereka lebih suka menyimpannya sendiri. Kalaupun hasil pamaren ini akan disumbangkan ke UNESCO dan untuk yatim piatu di sini, itu sumbernya dari penjualan bunga sutera yang dijual Yoshiko dan Group Kaenju (Flamboyan). Sebagai karya adaptasi, kendati sudah berusia seperempat abad, bunga terigu ini memang belum punya nama Jepang, kecuali hanya disebut dengan pan-flower. Barangkali bagi sejumlah ibu rumah tangga, menekuni kerajinan begini bisa membunuh waktu. Dan beda dengan Yoshiko-san. Selain tergila-gila pada bunga, kegiatan ini malah seperti membuat dia awet muda. Laporan Sri Pudyastuti R.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini