THE MISSION Pemain: Robert de Niro, Jeremy Irons Cerita/skenario: Robert Bolt Sutradara: Roland Joffe AIR terjun Iguazu dan pastor-pastor Jesuit ternyata merupakan ramuan yang unik untuk sebuah film cerita kolosal. Sutradara Rolland Joffe (ingat The Killing Fields) tampaknya sadar benar akan hal ini. Ia mempertentangkan keperawanan hutan tropis dengan gerak ekspansionis Spanyol dan Portugis ia juga menampilkan peradaban animis dari bangsa Indian suku Guarani, bersisi-sisian dengan peradaban Katolik Ordo Jesuit. Semua unsur yang ekstrem itu menjadi kian memukau karena suasana abad ke-18, dengan kapal-kapal besar, kereta-kereta kuda, budak-budak yang membisu dan pedang-pedang yang terhunus. Segalanya terekam dalam pemotretan yang bagus sekali (juru kamera: Christ Menges), sementara musik mengantarkan penonton pada nuansa magis dan suku Guarani yang hidup terpencil di dataran tinggi, jauh di atas air terjun Iguazu. Dengan tema pokok: bentrokan antara ekspansi Ordo Jesuit dan ekspansi kolonialis Spanyol dan Portugis, film ini ingin bercerita tentang banyak hal. Konflik antara Rodrigo (dimainkan Robert de Niro) yang mengandalkan kekuatan fisik, dan Bapa Gabriel, yang memilih damai dan pasrah, adalah refleksi dari sikap permusuhan yang diarahkan pihak penguasa kepada Ordo Jesuit. Ordo ini dicoba dihancurkan mungkin karena semangat antigereja yang pada abad ke-18 merajalela di Eropa. Fokus film ini terarah pada misi Jesuit di San Carlos -- sekarang kira-kira berada di kawasan perbatasan Argentina, Paraguay dan Brasil. Dengan adegan pembuka memperlihatkan seorang laki-laki yang disalib -- film ini serta-merta merenggut rasa ingin tahu penonton. Bagaikan Yesus, orang itu terikat pada salib seukuran tubuhnya. Ia dilemparkan pribumi Indian dari satu ketinggian di hulu sungai, terseret arus yang deras, dan akhirnya terbanting ke dasar air terjun. Orang di kayu salib itu adalah penyebar agama yang telah membayar tugas suci itu dengan nyawanya. Dialah penyandang the white man's burden, dalam pengertian yang bisa luas ataupun sempit, tergantung sudut pandang orang yang menilainya. Dalam film yang tahapan-tahapannya diantar oleh cuplikan dari catatan Altamirano -- utusan Paus yang ditunjuk untuk menghambat ekspansi Jesuit -- cerita sedikit banyak mewakili pandangan Gereja Katolik waktu itu. Tapi Altamirano berusaha menjadi pembawa cerita yang jujur. Dalam melaksanakan tugasnya, ia bukan tidak tergugah menyaksikan Ordo Jesuit, yang berhasil membina masyarakat Indian. Pribumi itu bukan saja dapat dikatolikkan, tapi menjadi perajin yang tekun, giat mengolah tanah, dan terampil. Mereka juga dibolehkan ikut menikmati cucuran keringatnya, sesuatu yang terlaksana karena tidak seluruh laba disalurkan ke dalam kas Gereja. Keberhasilan itulah agaknya yang memperkuat keyakinan Altamirano tentang hegemoni Ordo Jesuit. Dia melihat, bagaimana Jesuit bisa bertabrakan dengan hegemoni Spanyol dan Portugis. Ketika situasi semakin meruncing, maka semakin jelas tampak, bagaimana kepentingan politik mutlak berada di atas kepentingan moral dan agama. Hanya dalam film ini, moral masih mendapat tempat, sesudah persekutuan antara politik dan agama berakhir pada kehancuran dan porak poranda. Altamirano adalah tokoh di balik persekutuan itu, sosok Jesuit diwakili oleh Bapa Gabriel dari biara San Carlos, sementara Rodrigo Mendoza mewakili kekuatan moral. Terbiasa menggiring pribumi Indian dari pedalaman ke kota untuk diperjualbelikan sebagai budak, tokoh utama Redrigo adalah pribadi yang keras, dingin, namun bukan sama sekali tak mengenal cinta. Ia menyayangi adiknya, Felipe, dan mencintai Carlotta, pacarnya. Tapi selama Rodrigo menjelajah ke pedalaman, Felipe dan Carlotta diam-diam memadu kasih. Toh Rodrigo masih bisa menahan diri, sampai Felipe -- sesudah tertangkap basah -- menantangnya untuk duel. Si adik yang sangat tidak terlatih itu dalam beberapa detik tersungkur mati, sementara si kakak dihantui rasa bersalah. Bapa Gabriel kemudian membawa Rodrigo ke biaranya di San Carlos, ketengah-tengah pribumi suku Indian Guarani. Melalui proses penebusan dosa yang begitu dramatis, Rodrigo menemukan hasratnya kembali untuk hidup. Dan ia kemudian menjadi pastor. Tapi masa damai tak berlangsung lama. Ordo Jesuit harus ditumpas begitulah keputusan Altamirano. Tak satu yang lolos, baik biara yang sukses maupun biara San Carlos. Di luar dugaan, vonis ini ditolak mentah-mentah oleh kepala suku Guarani. Alasannya: ia tidak bisa menerima kehadiran Tuhan yang tidak bersahabat. Di pihak lain, Bapa Gabriel menerima vonis tanpa perlawanan, sesuai dengan doktrin Jesuit. Rodrigo? Pada detik-detik yang menentukan itu, ia bersama beberapa pastor lain memutuskan untuk bertindak. Ketika tentara bayaran Spanyol dan Portugis akhirnya mengarahkan moncong meriam ke arah permukiman pribumi Guarani, Rodrigo berdiri di sana, menghadang sehabis-habis daya. Persis seperti sang martir dalam adegan di awal film, Rodrigo juga kalah dan ditumbangkan. Ia dihajar peluru kaumnya sendiri, orang-orang putih yang mengatasnamakan agama untuk kepentingan penguasa. Memenangkan Palma Emas dalam Festival Film Cannes 1988, film The Mission dipersembahkan kepada mendiang Benigno "Ninoy" Aquino, yang tewas tertembak di landasan bandara Manila, lima tahun berselang. Mengapa Ninoy? Mungkin karena seperti Rodrigo, ia terpanggil untuk berbuat. Mungkin juga karena sejarah hanya diukir oleh perbuatan dan pengorbanan, pada saat doa dan kata-kata sudah tidak lagi relevan. Isma Sawitri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini