TATA BAHASA BAKU BAHASA INDONESIA. Penerbit: Departemen Pendtdikan dan Kebudayaan, 1988, 475 halaman SATU langkah baru telah diayunkan. Buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, yang sudah lama didambakan, kini telah lahir. "Ibarat tugu bagi prakarsa dan jasa penyusun demi pengembangan bahasa Indonesia," kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hassan, menyambut edisi perdana buku itu. Pada 28 Oktober 1988, buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia dan Kamus Besar Bahasa Indonesia diserahkan oleh Menteri Fuad Hassan kapada Presiden Soeharto. Buku ini tidak dimaksudkan menjadi buku pelajaran bahasa di sekolah. Dalam Prakata disebutkan, buku tata bahasa baku ini secara khusus ditujukan kepada orang awam yang terpelajar, yang, karena pendidikannya, ingin menyerasikan taraf pengetahuannya di bidangnya masing-masing dengan daya ungkapnya dalam bahasa Indonesia yang apik dan terpelihara. Berisi sebelas bab, buku ini menguraikan berbagai soal kebahasaan dengan istilah yang, diakui oleh para penyusun, agak sulit bagi orang awam. Diberikan contoh-contoh kata dan kalimat yang berterima dan tidak berterima dalam bahasa Indonesia. Dengan terbitnya buku ini, makin lengkaplah perangkat untuk pembakuan bahasa Indonesia. Pada 1972 Prcsiden menetapkan berlakunya ejaan baru. Perangkatnya berupa Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan, dikeluarkan tahun 1975. Pada tahun itu pula dikeluarkan Pedoman Umum Pembentukan Istilah, yang menjadi patokan menyeluruh bagi pemakai bahasa Indonesia guna memperoleh tata istilah yang mantap, cendekia, dan seragam. Setelah lebih dari satu dasawarsa kita memiliki kedua pedoman itu, masih terasa belum ada kemantapan dalam penerapannya. Ini juga berlaku bagi buku perdana ini yang diakui oleh para penyusunnya bahwa buku ini masih menunjukkan banyak rumpang (ompong) walaupun merupakan ramuan pendapat dan temuan ahli bahasa Indonesia yang mutakhir. Kelemahan penerbitan buku ini: kekurangcermatan pada cetak coba. Ada sejumlah keteledoran yang sebenarnya manusiawi saja. Namun, karena penerbitnya Departemen P & K, dan diperiksa oleh Kepala Pusat Bahasa dan para pakar bahasa lain, kekhilafan itu tampak lebih menonjol. Dalam pemenggalan suku kata, misalnya, ditemukan mempuny-ai, dis-ampaikan, dimaklu-mi, kedudu-kan, pembentu-kan, dan kebetu-lan. Ditemukan kenaikkan kejamakkan, dan pertunjukkan (tontonan), bahkan ada menunjukkkan. Para peminat tentu akan bingung membedakan sekali-sekali dan sekali-kali bila melihat contoh kalimat, "Naiklah bis kota sekali-kali". Penggunaan kata bis bukan bus agak membingungkan karena di dalam Pendahuluan dinyatakan apa pun lafal kata yang mengacu ke "mobil tumpangan yang dapat memuat orang banyak" hendaknya disepakati ejaan yang baku ialah bus dan bukan bis. Kurang mantapnya penerapan ejaan juga dapat dilihat dalam berbagai contoh. Misalnya Ayahnya dan Ayahmu, dengan A kapital, sedangkan huruf kecil ditemukan pada pak Suroso, nona Lilik, anda, dan Sidang Umum majelis Permusyawaratan Rakyat. Munculnya contoh dengan kata silahkan dan berternak dapat menghambat proses pembakuan. Di sepanjang buku ini terlihat kurangnya ketaatan pada asas penerapan ejaan. Misalnya pemakaian koma dalam rincian, dalam aposisi, dan dalam kata maka, dengan demikian yang berfungsi sebagai penghubung antarkalimat. Buku ini juga kurang mantap menerapkan pedoman pembentukan istilah. Selain kekhilafan kecil-kecil ini, buku tata bahasa baru ini "lupa" memasukkan banyak hal yang produktif dan sudah berlangsung agak lama. Tidak dapat ditemukan pembahasan kata antara yang menghubungkan satu hal dengan hal lain dengan kata dan, dan yang sering dipakai bersamaan dengan kata dengan, sampai, sampai dengan, hingga, melawan, dan tanda hubung. Sebuah kasus yang tidak dibahas, padahal bentukan ini produktif dan juga digunakan di dalam buku ini, adalah pemakaian jika dan kalau yang tidak berfungsi sebagai syarat. Ditemukan contoh: "Jika pada contoh (133) dan (134) kita dapati nomina kedua berdiri langsung di belakang verba, pada kalimat (135) kedua itu dapat dipisahkan oleh kata oleh. Ada penjelasan bahwa masing-masing berdiri sendiri tanpa nomina, sedangkan setiap atau tiap-tiap tidak. Namun, ditemukan uraian yang mengandung masing-masing kalimat dan masing-masing verba. Pembaca kurang memahami apakah kata seperti, yang berfungsi misalnya, dapat dipakai bersamaan dengan dan lain-lain dan dan sebagainya. Hadirnya tanda tanya pada akhir kalimat deklaratif "Namun timbul pertanyaan, apakah kohesi bentuk lahir menjamin kewacanaan?" merepotkan peminat karena di halaman lain disebutkan bahwa kata tanya seperti itu tidak membuat kalimat ditutup dengan tanda tanya. Pada uraian tentang hubungan semantis dan konsesif dalam sebuah kalimat, disebutkan bahwa sering muncul kalimat bersubordinator walaupun yang digabungkan dengan koordinator tetapi. Sayang, buku ini juga membuat kesalahan umum itu. "Meskipun dari segi makna kedua kata itu mirip dengan verba bantu akan, namun perilaku sintaktisnya berbeda." Juga ditemukan namun demikian yang dalam penyuluhan dinyatakan sebagai bentukan yang salah. "Mengingat akan perangainya itu, kata verba/plus/-nya dapat dipandang berkelas nomina verbal." Ini contoh kalimat yang menunjukkan, pemakaian verba transitif dan taktransitif belum mantap. Toleransi yang terlalu besar dan kekurangcermatan pemeriksaan akhir buku ini agak menghambat pembakuan. Dengan perbaikan kecil, misalnya keseragaman ejaan apapun -- apa pun, istri -- isteri, dan koreksi atas kesesuaian antara uraian dan contoh, buku ini sangat bermanfaat bagi proses pembakuan bahasa Indonesia, sambil menunggu hadirnya Kamus Baku Bahasa Indonesa. Slamet Djabarudi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini